Malam ini lebih dingin dari kemarin. Jangkrik bersuara sahut menyahut. Tak pernah kusangka harus kembali ke kelas di malam yang dingin dan sepi ini. Namun apa mau dikata, buku milikku tertinggal di laci. Padahal esok tugas harus dikumpulkan. Dan jadilah aku pergi sendirian.
Usai memungut buku ungu itu, lantas ku beranjak pergi. Mengambil jalan berbeda karena jaraknya dengan gerbang depan sedikit lebih dekat dengan jalan yang pertama.
Melintas tak jauh dari kamar mandi pria, telingaku mendengar suara tawa seorang gadis. Bukankah aneh jika itu terjadi?
Rasa penasaran mendorongku untuk mencari tahu. Bola mataku mengintip lewat celah pintu. Kuharap hanya firasatku saja.
Mataku terbelalak. Jantungku berdegup kencang. Ratih, gadis yang dipuja-puja laki-laki satu sekolah sekaligus teman sekelasku menggenggam pena yang berlumuran darah. Ratih memiliki paras menawan dan cerdas, ditambah lagi dia dikenal ramah sehingga sangat terkenal di kalangan laki-laki.
Seorang laki-laki terduduk di sebelah kloset. Wajahnya hancur, nyaris tak dapat dibedakan mana hidung dan mulut.
"Apa kakak tak ingin menyentuh tubuhku lagi?" Ucap Ratih sembari tertawa kecil.
Entahlah, biasanya senyum Ratih selalu menyejukkan hati. Namun kini, senyum itu mirip iblis. Tangannya penuh darah yang berbau amis.
Ia menancapkan pena pada mata si laki-laki. Kemudian menariknya kembali sehingga bola mata laki-laki itu tercabut dan menempel di pena. Jerit kesakitan terdengar lantang. Setelah beberapa saat, telingaku masih berdengung.
Rasanya perutku diaduk-aduk. Mual pusing, rasa getir takut bercampur. Melangkah ke belakang dengan sangat berhati-hati. Mencoba untuk pergi dari tempat berdarah itu. Siapa yang tak akan lari ketakutan jika berada di posisiku?
Tatkala kurasa cukup jauh, seketika kakiku berlari secepat yang kubisa. Mual yang kutahan sedari tadi akhirnya mencapai batas. Di selokan, mulutku mengeluarkan makanan yang setengah tercerna siang tadi.
Duduk lemas. Aliran darahku terasa begitu cepat. Keringat dingin bercucuran di tiap pori-pori wajahku. Mencoba menenangkan diri sendiri di malam yang mencekam. Bahkan kurasa tidur di kuburan tak ada apa-apanya dibanding pengalaman mengerikan tadi.
Aku bejalan bak orang linglung. Kuharap mampu menghancurkan ingatanku tentang peristiwa malam ini. Masuk kos 3x3 yang kuhuni sendiri. Mengunci pintu dan menjatuhkan ragaku pada kumpulan kapuk.
Tanganku masihlah gemetar.
“Apa yang harus kulakukan?” Batinku. Aku tak pernah mau berusrusan demgan polisi apapun masalahnya, juga tak memiliki kenalan yang bisa kupercaya. Ini baru hari ke-2 semenjak pindah ke sekolah ini.
Gelisah menjadi pendamping malamku. Rasa takut menjadikanku tak bisa terlelap. Bahkan hingga subuh pun mataku masih terbuka. Mampu kurasakan mata ini begitu merah, kelopaknya pun seakan memaksaku untuk segera menutup. Namun aku begitu takut untuk tidur dalam keadaan seperti ini. Tak menginginkan mimpi buruk datang menghampiri, atau membayangkan Ratih datang kemari membawa gergaji mesin untuk membunuhku.
Tatkala sinar mentari menyusup ke kamarku, tubuhku seakan enggan beranjak dari kasur. Kecemasan menguasai. Terbesit pemikiran tuk keluar dari sekolah yang dihuni psikopat gila itu.
“Aku laki-laki. Jika memang harus terjadi maka terjadilah,” ucapku pada diriku sendiri. Berusaha menenangkan diri, mencoba tuk tak takut pada kematian.
Jadilah aku pergi sekolah dengan perasaan bercampur aduk.
“Hei, apa pendapatmu tentang si malaikat sekolah?”
“Maksudmu Ratih? Tentu saja saja di adalah wanita idaman satu sekolah. Cantik, cerdas, ramah, kaya. Apa yang kurang darinya? “
Tak sengaja kudengar obrolan sekelompok siswa laki-laki yang tengah susuk di kursi taman. Dilihat dari bet, sepertinya mereka merupakan kakak kelas 11. Dalam batinku berujar, “Malaikat katamu? Mungkin yang benar adalah iblis.”
Mencoba tak terlibat dengan orang lain. Begitulah aku. Pendiam dan tak pandai bersosialisasi sehingga tak banyak yang mengenalku selain teman sekelas.
Masuk dan duduk di bangku paling belakang. Bulu kudukku berdiri tatkala mendengar suara tawa yang berkumandang kemarin malam. Aku langsung tau siaoa pemilik tawa itu, Ratih. Iblis itu masuk kelas bersama 2 temannya, Lita dan Fara. Besenda gurau bersama layaknya sahabat pada umumnya.
Yang benar-benar tak kumengerti adalah bagaimana ia bisa tertawa lepas dan dengan santainya masuk sekolah dan bercanda dengan teman-temannya usai kejadian kemarin. Ia bertingkah seakan tak pernah terjadi apapun. Itu sungguh menggangguku. Mungkin dia telah terbiasa melakukan hal semacam itu.
Bel masuk berbunyi. Seperti biasa, Ratih selalu dusuk di bangku paling depan. Disusul semua murid yang menempati bangku yang masih kosong.
Guru masuk. Seorang wanita yang masih muda, mungkun 25 tahunan. Aku belum tau nama beliau karena aku murid baru.
Di tengah pelajaran, speaker pengumuman yang terletak di pojok depan atas kelas berbunyi. Sontak siswa diam mematung untuk mendengarkannya
Pengumuman untuk semua siswa. Diberitahukan bahwa salah satu teman kalian bernama Galih Somorangkil, kelas 12 P3 telah meninggal dunia. Teman sekelas harap menjadi perwakilan sekolah untuk datang ke rumah almarhum. Sekian, terima kasih
Seketika langsung terbayang kejadian kemarin. Perutku rasanya benar-benar tak nyaman. Aku nyaris mutah. Untungnya tangan kananku sigap menutup mulut.
“Ada apa, nak?” Bu guru menatap lurus ke mataku. Langsung aku tau bahwa ia tengah bicara denganku.
“Tidak. Saya tidak apa-apa, bu.”
“Jika kau merasa tak enak badan, kau boleh ke UKS.”
Aku mengangguk. Beliau melanjutkan pembelajaran.
“Kau yakin tak apa-apa, Dino?” Lita menanyaiku.
“Ya.” Jawabku singkat.
Tak sengaja ku lihat tatapan Ratih yang mengarah padaku begitu dingin. Rasanya tubuhku membeku. Pelipisku mulai dialiri keringat. Coba kualihkan pandanganku tuk menyingkirkan rasa getir yang kurasakan.
***
Sebenarnya aku ingin segera pulang. Sialnya, perutku tak bisa diajak musyawarah. Jadilah aku bertapa di WC.
Melintas dekat kelas. Nampak Ratih dan Lita duduk di sebuah meja yang letaknya paling depan. Nuansa kuning begitu terasa hari ini ketika petang menjelang.
“He! Kemarilah!” Panggil Lita.
Aku langsung tahu bahwa ia memanggilku katena tak ada orang lain di sana. Sebenarnya begitu takut untuk menjawab. Sungguh ingin ku segera pulang. Namun aku berpikir, jika kutolak tawaran Lita. Bisa jadi Ratih akan marah karena telah menyakiti perasaan temannya. Dan jika dia marah... kemungkinan besar iblis itu akn membunuhku.
Jadilah aku menuruti Lita. Menelan ludah serta menahan ketakutan yang kualami. Tapi aku tak terlalu khawatir. Lita di sini, jadi Ratih tak akan melakukan sesuatu yang aneh karena tak ingin dibenci temannya.
“Ada apa?” Tanyaku seraya melangkah mendekati gadis itu.
“Aku tak terlalu paham pelajaran tadi. Bisa aku ke rumahmu untuk belajar?”
“Kenapa kau tidak meminta Ratih mengajarimu?”
“Dia sangat sibuk untuk belajar sendiri, jadi—“ Kalimat Lita terpotong. Telinga kanannya tiba-tiba putus dan jatuh di atas meja yang didukinya. Disusul jeritan “Aaaaaaah!” darah mengalir deras. Turun hingga dagunya.
Lita turun dari bangku. Di belakangnya berdiri Ratih yang memegang sebuah cutter.
“Apa yang kau laku—“ Ratih menjambak rambut di puncak kepala Lita. Menggoreskan cutter di wajah temannya sendiri hingga membuat mata kiri Lita terbelah dan mengalirkan darah.
Aku begitu takut. Bahkan untuk berteriak. Lita mengibaskan kepalanya berharap lepas dari Ratih. Membuat darahnya terciprat ke arahku. Namun aku tetap bergeming. Mungkin jika aku beeteriak atau lari, Ratih juga turut membunuhku.
Lita roboh. Ratih duduk di perutnya. Jemarinya merogoh saku baju. Mengeluarkan sebuah jangka yang terlihat masih bagus. Tak ada gunanya mengagumi benda itu sekarang. Karena jangka itu digunakan untuk menusuk tenggorokan Lita. Membuat darahnya memancar keluar dengan deras. Membasahi baju putih dan wajah Ratih yang cantik.
Iblis itu benar-benar melampaui logika manusia dan menghancurkan nurani. Bagaimana dia bisa membunuh sahabatnya sendiri dengan cara yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat sembari tertawa. Aku yakin pasti gadis ini sudah gila.
Lita mulai lemas. Tubuhnya tak lagi kejang seperti sebelumnya. Kelihatannya ia mulai hilang kesadaran. Sayang, hal itu tak menghentikan kekejaman Ratih. Jangka yang berlumuran darah ditancapkan pada uluh hati Lita. Menariknya kebawah secara kasar hingga sebagian ususnya keluar.
Rasanya kerongkonganku menyempit. Mual. Sekali lagi, kututup mulutku dengan kedua tangan. Ratih lekas berdiri dengan tubuh yang penuh darah dari sahabatnya.
Aku tak tahan lagi. Kutekan rasa takut dan bersiap untuk mati. Aku tak ingin mati sebagai pria pecundang. Jika memang harus mati, aku ingin tau alasan Ratih, sang malaikat keji melakukan ini semua.
“Ratih!” panggilku. Telah kusembunyikan ketakutan di sekujur tubuhku.
Dia berbalik dengan senyum diatas wajahnya yang ditempeli butiran-butiran darah. “Ya,” jawabnya ramah.
“Kenapa kau melakukan semua ini?”
“semua?”
“Kakak kelas kemarin, dan Lita.”
“Kakak kelas kemarin, ya?” telunjuk menyentuh dagunya. “Dia jahat. Menggodaku di toilet. Jadi aku membunuhnya.” Senyum terukir di wajahnya. Begitu manis meskipun berhias darah.
“Lalu Lita. Bukankah dia sahabatmu?”
Senyum gadis itu sirna. Kini raut wajahnya menunjukkan amarah dan kebencian. “Karena si jalang itu dekat denganmu.”
“Lalu apa masalahnya?” ucapku sedikit berteriak.
“Karena...” Ratih tersenyum kembali. Sesaat aku berpikir mungkin ia memilik kepribadian ganda. “Aku mencintaimu, Dino.”