COFFEE AND MEMO

COFFEE AND MEMO

Nikma Anggraeni

4.7

Hujan menetes deras dan gadis itu masih sulit tuk mengalihkan pandangannya dari sana. Embun yang menumpuk di jendela seperti kabut tebal yang bergumul memenuhi relung batin. Kemarin orang mengiriminya banyak pesan untuk menjaga hatinya baik-baik. Namun, apa daya kalau memang ia tak mampu?, Ia ingat bahwa semestinya perasaan tak boleh diletakkan terlalu dalam. Sakitnya nanti bukan main. Ini perkara serius, ia sedang tak berbicara soal perjalanan hidup membosankannya dalam dua puluh tujuh tahun terakhir, tapi bagaimana ia bisa hancur meski satu hal saja yang hilang darinya.

Kita tahu bahwa membuat janji adalah satu konsekuensi konkret yang tak mungkin bisa disangkal. dan ia melakukannya dengan pria itu. Tiap hari ia menghitung detik yang sekiranya mampu tuk menguatkan dirinya andai kata pria itu tak akan kembali. Ia menuliskan pesan singkat pada baris buku agendanya seperti banyak hal yang mungkin ia lupakan. Padahal ini tak sulit jika dipikir-pikir. Ada jutaan orang di luar sana yang baik-baik saja bahkan setelah mengakhiri hubungan mereka dengan pasangan masing-masing. Ia cuma punya satu; Park Chanyeol. Dan tak ada lagi setelah itu. “Aku akan menuliskannya di sini, oke?” itu katanya. Haera, gadis ini. Sering lupa akan hal-hal kecil. Itulah sebab ia selalu menulis untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu dan pria itu suka mengingatkan karena memorinya sungguh awet.

 

Hari bersinar dan napas melantun dengan melodi lambat. Pria itu gemar melakukan hal yang tak biasa. Ia tahu bahwa Haera suka dengan Americano; ya, sedikit berbeda dari banyak gadis yang mencintai Cappuccino atau Latte. Ia membayar puluhan gelas untuk diantar setiap pagi sebelum gadis itu keluar rumah. Bahkan Ia repot-repot menempelkan memo dengan barisan kata penyemangat yang entah Ia buat sendiri atau disalinnya dari internet. Tersentuh, tentu saja. Tapi Haera bukan tipe orang yang suka digombali. Ia agak kolot untuk sesuatu yang berbau kekinian. Ini pengalihan oke, Ia hanya tak tertarik pada kegiatan yang membuang-buang tenaga dan tak berarti apa-apa. Tapi bantahan juga, Ia menikmati semua kebaikan Chanyeol tanpa terkecuali.  

 

Suatu waktu, Chanyeol dengan tingkah bodohnya berhenti mengirim kopi pada hari ke-90,⸺Bukan Haera yang menghitung, tapi tertulis di memo yang terakhir Ia dapat, kalau kalian bertanya.⸺Entah, karena apa?, Haera sebenarnya tak mau mengambil pusing. Toh, pintu lemari pendinginnya sudah penuh dengan pesan-pesan manis itu. Ia berangkat dengan setelan kesukaannya kemudian berburu bus akibat menyantap roti yang terlalu banyak. “Tunggu!” Ia menoleh. Seorang pria berlari tepat ke arahnya bagai orang kesetanan. Ia menghentikan pintu bus hanya untuk memberi gadis itu segelas kopi yang masih hangat. Gadis itu bingung bukan kepalang, dirinya hendak berterima kasih tapi si sopir sudah berteriak bahwa Ia akan menjalankan bus dan Haera cukup menghela napas. Ia duduk di kursi belakang sambil menatap memo yang tertempel dengan tulisan bertinta biru. ‘Aku lupa mengirimimu americano. Semangat!’ ia tertawa. Chanyeol memang merepotkan. Ia seharusnya memperingati lelaki itu untuk berhenti membuang-buang uangnya karena ia punya banyak bungkus kopi instan di lemarinya. Tapi lupakan. Chanyeol tak pernah mau mendengarkan dirinya kalau soal itu.

 

Sesampainya di kantor, ia menyapa setiap orang yang ia temui. Entah yang dikenalnya atau tidak. Ia akan membungkuk sopan sembari melempar senyum ramah. Dan lagi-lagi, ia hampir saja terlambat masuk lift karena ditahan oleh salah seorang petugas kebersihan akibat menyerahkan segelas kopi lengkap dengan memo tentunya. Haera mengernyit. Pikirnya satu gelas sudah cukup; ia bukan tipe orang yang suka tidur sembarangan. Jadi kafeina berlebih itu tidak perlu. ‘Kau cantik hari ini’ itu yang tertulis. Haera menggeleng pelan, apa tidak ada kata yang sedikit lebih lazim? Semua orang juga tahu kalau ia gadis yang biasa-biasa saja, pujian ini tak termakan olehnya.

 

“Oh, apalagi ini?!” Haera mendesah. Ada tiga gelas kopi di atas meja kerjanya. Sekarang tebak, siapa yang akan menghabiskan minuman sebanyak ini?!. Pundaknya merosot seketika. Ia menarik sandaran kursinya lalu duduk dengan kasar. Tangannya meraih satu per satu gelas lalu membaca memo yang tertempel. ‘Diam disana.’  Ia mengernyit. Memangnya ia ingin pergi ke suatu tempat?, ayolah Chanyeol. ‘Berbalik’ alis gadis itu naik setengah. Apa ia perlu melakukan ini? Sedikit ragu namun ia tetap menuruti. Lagian, bohong juga kalau ia tidak penasaran. Kursi putar miliknya berbalik 180 derajat dan terkejut sudah ia karena pria setinggi daun pintu itu kini berdiri di hadapannya. Sempat terbesit, apa mungkin ia semacam manusia super yang bisa berpindah tempat kesana-kemari dengan mudah? Tapi tidak. Haera pasti sudah gila kalau benar-benar menganggap Chanyeol sedemikian rupa.

 

“Hei?” Chanyeol menyapa. Ia melambaikan tangannya berulang kali seraya tersenyum begitu lebar. Giginya yang putih terekspos menyusul lubang di pipinya yang lebih dulu menampakkan diri. “Kau tak ingin membaca memo yang terakhir?” tanyanya. Ah, Haera bahkan lupa soal itu. Tolong catat lagi perkara daya ingatnya. Ia tersadar kemudian meraih gelas terakhir tanpa memutar kursi. Sesaat, ia terdiam. Berteman lama dengan Pria bak tiang listrik itu membuatnya tak sadar kalau ia juga bisa bersikap serius ditengah kebiasaannya tuk bercanda. Apa Haera melewatkan sesuatu?, ini tidak seperti membiarkan masakanmu menggosong di atas wajan atau air yang mendidih hingga mengering. Chanyeol terlalu serius saat ia mengirimkan puluhan kopi tiap pagi, lalu memberi pesan-pesan yang tak pernah gadis itu cerna dengan baik. Semua Haera tempelkan pada pintu lemari pendingin entah untuk menghiasinya atau sekedar sengaja.

 

“Jangan bercanda, Park Chanyeol” katanya waktu itu. Ini bukan penolakan omong-omong. Otaknya hanya lambat merespon akibat keterkejutan yang tak tampak. Ia cukup bagus dalam menjaga ekspresi dan seketika semua orang yang berada dalam ruangan itu menatap horor ke arah mereka berdua. Disangkanya Haera akan terhanyut lalu berdiri dan memeluk Chanyeol kemudian berkata ‘aku juga mencintaimu’ layaknya balasan yang harus ia jawab pada kertas itu.

 

Mereka sama-sama diam. Chanyeol hampir putus asa untuk pertama kali. Ia tahu kemungkinan tuk gagal pasti ada, dan ia sudah menyiapkan hatinya mantap. Lenguhan menembus rongga penapasannya. Hampir saja ia berbalik. Namun sayang, kelereng hitamnya menangkap gadis itu saat ia membuka penutup gelas terlebih dahulu. Ia takut-takut akan hal yang mungkin gadis itu perbuat setelahnya. Dan ya, Haera meneguk setengah dari kopi yang hampir mendingin itu kemudian memutar kembali kursinya, membelakangi orang-orang yang menatap harap ke arah ia dan Chanyeol. “Lain kali jangan habiskan uangmu untuk hal bodoh seperti ini.” ujarnya. “Katakan saja langsung.” Lanjutnya lalu tersenyum tipis.

 

Setelah itu semua orang bersoarak. Bahkan sang manajer yang berdiri di dekat pintu kerjanya langsung berlari dan merangkul Chanyeol layaknya teman akrab. Padahal ia suka mengomeli lelaki itu akibat keteledorannya yang kian hari kian menjadi. Semua bahagia dan seterusnya Chanyeol mengiriminya kopi dengan bonus sepotong donat.

 

Semua indah, dan ia berharap tak ada hari esok untuk membawa satu kepedihan yang sudah-sudah. Hatinya kalut, rasa sedih telah sedingin ujung kuku dan pedihnya menyayat bagai teriris kertas. Air matanya meluncur. Ini hampir malam saat ia melirik lagi jam analog yang terpasang di dinding. Ia meraih lututnya lagi kemudian memeluknya erat. Tak boleh ada pesan singkat yang manis untuk setiap pagi. Ia tak suka. ‘Berjanjilah untuk tidak menangis,  Ji Haera. Karena aku akan selalu ada untuk menjagamu’, Chanyeol itu jahat kalau soal berjanji. Haera jadi sulit menepati meski ia sudah mengatakan ‘iya’. Kemampuan gadis itu hanya sebatas bibir gelas. Air matanya meluncur.

 

‘Lupakan Chanyeol’

 

Bahunya bergetar bagai diguncang gemuruh. Bibirnya terkatup rapat saat alisnya tertekuk dalam. Mau mencari kemana lagi? Ia tak bisa menemukan orang yang sama dengan si bongsor itu. Semua kopi yang ia punya sudah ia lempar ke dalam tempat sampah. Ia tak akan pernah suka meminum likuid pahit itu lagi. Seleranya berubah seiring senja yang bersinar keemasan. Hujan sudah berhenti dan buku agenda yang selalu ia bawa terjatuh dari pegangannya. Semua lembaran terbelai angin sebelum terbuka entah pada halaman ke berapa. Gadis ini absonan. Ia tak suka pada hal yang menguras tenaga dengan percuma. Tapi, ia menghargai Chanyeol atas segala kerja kerasnya. Ia berusaha tuk menerima apapun yang laki-laki itu lakukan. Ia tahu segalanya.

 

Ya, segalanya.

 

Pengecualian untuk, sakit Jantung lelaki itu.

 

Haera menyesali banyak hal. Seharusnya ia curiga sejak lelaki itu berhenti mengiriminya kopi di pagi hari. Seharusnya ia menyadari bentuk tulisan lelaki itu yang semakin memburuk. Seharusnya ia menatap dalam pada wajah lelaki itu karena ia kian menirus. Ia harusnya peka saat lelaki itu terbatuk hingga napasnya bersambung dengan bunyi nyeri yang menusuk telinga. Ia bodoh, dan terlalu acuh tak acuh. Ia tenggelam bersama pekerjaan yang menumpuk sampai tak sadar kalau Chanyeol selalu menulis sebuah pesan kecil di ujung kertas agenda miliknya. Ia mengingatkan untuk gadis itu segera melupakan semua kenangan manis mereka layaknya apa yang ia minta pada kopi terakhir yang ia kirim. Namun, Chanyeol tak pernah tahu, gadis itu suka membaca semua pesan yang ia sampaikan setiap pagi saat hendak menuju kantor. Ia tak tahu kalau subuh datang, dan disusul fajar, gadis itu selalu terperangkap kalut yang menggila.

 

Mereka bilang ia terlalu cinta. Tapi Haera tak bodoh untuk membedakan sebuah obsesi dengan perasaan tulus yang terlampau banyak. Semua ini menyakitkan jika ditanya. Kepalanya berputar bagai roda yang tak memiliki rem. Kendali hilang, saat setiap hari terasa menusuk bak jarum yang ditikam habis menembus kulit. Ia ingat, lelaki itu tersenyum dalam peti matinya. Tapi ia tidak ingat kalau hatinya baik-baik saja hingga sekarang. Pernah sekali ia berdoa. Memohon sambil berteriak kepada Tuhan bahwa ia lelah dengan keadaan yang tak pernah bisa kembali pada masanya. Tapi mustahil, alih-alih mendapat jawaban atas keputusasaannya, yang ia dapat hanyalah stres tiada akhir. Ini sulit. Ia benci akan kegelapan, disana hampa dan tak berdasar. Namun ia suka saat satu kejora bersinar terang menghapus lara. Chanyeol mewujudkan itu. Ia seterang baskara sampai-sampai gadis itu tak yakin kalau ia telah melayang hingga ke dirgantara.

 

Napasnya tercekat, ada bisikan yang terukir halus di ujung lidah. Tiada yang tahu bahwa ia tengah menangis hingga tersedu-sedu. Memukul dada dengan tanpa ampun. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tahu karena Chanyeol sudah memberi ratusan peringatan bersama pesan yang ia beri. Ia selalu mengingatkan dengan menulis di sudut kertas agendanya. Bahkan ibu dari pria itu juga turut memberi tahu saat peti matinya masuk ke dalam tanah, saat nisan ditancapkan dan ia terisak dihadapan puluhan orang.

 

Ia tak pernah belajar untuk sakit hati, karena pria itu mengenalkan terlalu banyak kebahagiaaan. Dan terlalu banyak membuat ia menyesali segalanya. Ia harus berharap sedikit saja, Ia harus mencintai sedikit saja. Karena saat berpisah, sulit tuk melepaskan.

 

Haera terhenyak. Harapnya terucap lemah, hampir tak terdengar. Saat ini ia berada pada titik terendahnya, nyaris gila dengan keadaan. Semua seperti ilusi yang tiada habis. Ia ingatkan pada dirinya, jangan lagi ada tentang lelaki itu. Tapi sulit, selalu ada napas yang susah ia hela, selalu ada kata yang menyangkut di tenggorokan, dan selalu ada mata yang sukar tuk menutup.

 

“Aku mencintaimu.”

 

End.