‘Cinta itu rasanya seperti coklat; kadang terasa pahit, tapi kadang terasa sangat manis.’
Ini bukan cerita cinta yang menakjubkan, atau pun yang super manis, atau pun yang penuh drama. Ini cuman cerita cinta yang dimiliki oleh seorang murid kelas 3 SMA yang kiranya sudah cinta-mati kepada orang asing yang sering ditemuinya di stasiun kereta cepat. Han Jiyoo, cewek dungu yang jatuh cinta kepada orang asing yang tampan itu, bahkan tidak pernah tahu siapa namanya, berapa umurnya, apa pekerjaannya, atau dimana dia tinggal.
Mereka berdua tidak saling mengenal, tapi, Jiyoo benar-benar berharap agar dia diberi kesempatan untuk mengenalnya.
Tidak ada yang bisa dilakukannya selain memerhatikannya dari kejauhan atau diam-diam melirik matanya yang berwarna cokelat gelap. Kalau keadaannya sedang bagus, Jiyoo akan membawa tubuhnya mendekat di tengah kerumunan orang yang hendak masuk ke kereta. Jarak di antara keduanya akan terkikis, lantas Jiyoo akan mulai kesulitan bernapas.
Jantungnya selalu saja berdetak dengan tempo berantakan saat keduanya berdekatan.
Uh.
Apalagi saat pemuda tampan yang sangat tinggi itu memegang sebelah tangannya ketika Jiyoo nyaris terjatuh—karena orang-orang terkesan sangat anarkis ketika berebut masuk ke kereta di pagi hari.
Tubuh Jiyoo ditarik oleh pemuda itu. Keduanya sempat bertatapan sekilas. Saat pintu kereta sudah tertutup, keduanya berdiri berhadap-hadapan. Jiyoo merasa sangat canggung, dan nyaris meledak, sedangkan pemuda itu masih kelihatan tenang—dan mungkin sedikit khawatir.
Pemuda itu kelihatan sangat pengertian.
“Kau tidak apa-apa?”
Setelah dua tahun mengenalnya, ini adalah kali pertama bagi Jiyoo untuk mendengarnya berbicara. Suaranya kedengaran sedikit serak, sangat berat dan manly, dan sanggup menyebarkan rona merah di wajah Jiyoo.
“Ti-tidak apa-apa,” Jiyoo menggigit bibir. Mungkin wajahnya sudah kelihatan seperti tomat matang. Memalukan. “Terimakasih.”
“Serius?” Pemuda itu mengikis jarak di antara keduanya. “Wajahmu kelihatan sangat merah.”
Kecepatan kereta tiba-tiba dikurangi. Tubuh para penumpang pun oleng ke depan, begitu pula Jiyoo. Dia bahkan terlalu terkejut untuk peduli akan apa yang dilakukannya saat orang-orang makin mendesaknya. Bibirnya tergigit begitu dia menyadari jika sebelah tangan pemuda itu memegang tiang penyangga, sedangkan tangan yang lainnya melingkar di punggung Jiyoo.
Kejadiannya nyaris persis seperti yang sering ditampilkan di drama.
“Maaf,” kata pemuda itu saat dia kesulitan menarik tangannya.
“Tidak apa-apa,” Jiyoo mendongak, sedikit menyesal karena efeknya amat luar biasa ketika dia memandang wajah tampan milik pujaan hatinya lewat jarak yang amat dekat. Rasanya menyenangkan dan mendebarkan, tentu saja. “Aku bisa saja mati terinjak-injak kalau kau tidak menolongku.”
Pemuda itu cuman memberi senyuman maklum dan masih saja berusaha menjauhkan tangannya yang semula melingkar di punggung Jiyoo. Kala dia berhasil melakukannya, Jiyoo mendesah kecewa. Kapan lagi momen langka yang melibatkan pelukan hangat ini akan kembali terulang?
Jiyoo menantikannya.
Pada sore harinya, di hari yang sama, dia tidak menemukan pemuda itu di stasiun. Lalu pada esok harinya pun, Jiyoo tidak berhasil menemukan batang hidungnya. Keadaan seperti itu terus berjalan hingga dua minggu lamanya. Jiyoo pikir, dia sudah kehilangan jejak dan juga harapan.
Tapi, siapa sangka kalau keajaiban bisa tiba-tiba hadir dan memberinya kejutan spesial?
Pemuda itu kembali muncul; kali ini, dengan penampilan baru yang makin membuatnya kelihatan tampan dan mempesona. Rambutnya kelihatan lebih pendek dan rapi, benar-benar kelihatan cocok untuknya. Jiyoo memberanikan diri untuk melangkah mendekat saat mereka sudah turun dari kereta.
“Ajussi[1]!”
Pemuda itu tidak menoleh. Jiyoo melangkah lebih cepat dan berhasil menyamai ritme langkah kakinya. Pemuda itu menoleh dan memberi tatapan penuh tanda tanya saat mendapati kehadiran Jiyoo.
“Ajussi! Ini aku, cewek yang dua minggu lalu sudah kau selamatkan,” katanya, dengan tutur bahasa yang aneh dan kaku. “Ah. Aku cuman ingin berterimakasih dengan cara yang lebih benar.”
Rasa heran sudah tergantikan oleh binar yang lebih cerah. Tampaknya pemuda itu sudah mengingat betul wajah Jiyoo. “Aku tidak melakukan apa-apa. Tidak usah berlebihan.”
“Tidak,” Jiyoo memberi senyuman lebar yang manis—sesekali mengulum bibirnya dengan malu. Dia merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan sesuatu. Yang dia sodorkan untuk pemuda itu cuman beberapa potong cokelat buatannya—yang nyaris tidak berbentuk karena sudah dibawa kemana pun dia pergi selama dua minggu belakangan. “Terimalah rasa terimakasihku.”
“Wah. Kenapa kau sangat berlebihan?”
“Sudah kubilang ini tidak berlebihan,” Jiyoo masih saja menyodorkan cokelat buatannya yang dikemas di sebuah kantong berwarna merah muda yang manis. “Terima dan simpan cokelatnya untuk dirimu sendiri, ajussi.”
Pemuda itu tertawa. “Aku tidak setua yang kau pikirkan.”
“Benarkah?” Jiyoo kembali mengulum bibirnya. “Namaku Han Jiyoo, murid kelas tiga SMA Daejoon. Kalau ajussi?”
“Ah,” pemuda itu kelihatan sedikit keberatan saat hendak membalas perkenalan itu. Tapi setelah beberapa waktu tenggelam dalam kontemplasi singkat, dia pun melempar senyuman ramah. “Namaku Park Chanyeol. Kalau dipanggil ajussi, aku akan sangat tersinggung karena aku masih sangat muda.”
“Oh ...”
“Lebih baik kita berpisah dulu. Aku harus pergi ke kantorku dan kau harus pergi ke sekolah, ‘kan? Terimakasih cokelatnya.”
Di pagi hari itu, perpisahan mereka akhirnya diakhiri oleh lambaian tangan.
**
Jiyoo melihat ada peluang besar untuk menjalin hubungan dengan Park Chanyeol setelah mereka saling tahu nama masing-masing. Setiap harinya, mereka saling bertegur sapa sekaligus berbincang mengenai banyak hal menarik. Jiyoo teramat positif dengan apa yang sudah direncanakannya; bahwa dia akan mendapatkan hati Park Chanyeol secepat yang dia mampu.
Harapannya selalu berada di atas langit. Antisipasi terhadap patah hati dadakan seolah tidak pernah membuatnya gentar. Jiyoo yakin kalau dia akan mendapatkan akhir yang manis dengan Park Chanyeol. Jadi, buat apa merasa khawatir akan rasa sakit yang ditimbulkan oleh patah hati—yang kiranya tidak akan pernah muncul di antara keduanya?
Sayangnya, siapa pun tidak akan pernah bisa menduga kenyataan apa yang akan terjadi kedepannya. Jiyoo, yang sudah terlanjur tenggelam dalam harapan semu yang diciptakannya sendiri, kali ini harus rela merasakan sengatan menyakitkan di dada.
Ini semua terjadi di hari Minggu ketika dia dan teman-temannya pergi ke COEX mall. Sebuah kebetulan menarik keduanya mendekat. Han Jiyoo yang jalan bersama teman-temannya, bertemu dengan Park Chanyeol yang sedang jalan dengan seorang cewek cantik.
Park Chanyeol dan wanita itu sama-sama membawa se-cone es krim. Beberapa tas belanjaan dengan ukiran nama merk terkenal ditentang oleh tangan Chanyeol yang lain. Baik Chanyeol mau pun Jiyoo sama-sama terkejut saat berpapasan.
“Chanyeol, kau mengenalnya?”
Wanita yang memakai rok pendek itu memecah keheningan. Teman-teman Jiyoo mulai melempar tatapan tidak mengerti yang cuman ditujukan ke arah Jiyoo.
“Oh. Dia ...”
Jiyoo bahkan harus menahan napas saat dia mendapati gelagat kaku dari Park Chanyeol. Pemuda itu bahkan tidak bisa menyebutnya sebagai teman, atau paling tidak sebagai cewek-yang-sering-ditemuinya-di-kereta.
Well. Walau pun keduanya memang cukup akrab, bukan berarti mereka punya hubungan spesial, ‘kan?
“Sedang kencan, ya?”
Pertanyaan itu meluncur dari kedua bibir Jiyoo yang bergetar samar. Dalam hati, dia tidak menginginkan kalimat tersebut keluar begitu saja. Yang perlu dilakukannya cuman bersikap tenang, ‘kan?
Pada kenyataannya; bersikap tenang di hadapan orang yang kau sukai itu amat-sangat mustahil.
“Uh. Begitulah,” Park Chanyeol membenarkan, menimbulkan goresan sakit hati yang tidak bisa dihindari oleh Jiyoo. “Kau sedang menikmati hari liburmu, ya? Apa saja yang sudah kau lakukan?”
Jiyoo memutus kontak mata mereka, mencoba tersenyum tapi dia malah gagal. Air mata sialan sudah datang dan berkumpul di pelupuk mata. “Cuman jalan-jalan,” katanya singkat, pelan, dan nyaris tidak terdengar. “Aku .., maksudku, sampai jumpa.”
“Hei. Bagaimana kalau kutraktir es krim?” Park Chanyeol memberikan opsi yang tidak terduga. Teman-teman Jiyoo kelihatan senang sekaligus terkejut. “Bagaimana kalau aku mentraktirmu es krim? Ini pertama kalinya kita bertemu di luar stasiun atau kereta cepat.”
“Tidak usah,” Jiyoo memberi lirikan singkat ke teman kencan Park Chanyeol yang sungguh kelihatan cantik dan mempesona. Pantas saja keduanya memutuskan untuk pergi kencan; toh keduanya kelihatan sangat cocok. Seketika, harapan yang dimiliki Jiyoo pun merosot hingga mencapai batas minus. “Lanjutkan saja kencannya. Sampai jumpa!”
Di sisa hari itu, dan hari-hari selanjutnya, Jiyoo harus merasakan pahitnya sakit hati sendirian.
Kalau jatuh cinta sendirian, patah hatinya juga akan sendirian—dan itu akan sangat menyakitkan.
**
Jiyoo sudah berusaha keras untuk menghindari Park Chanyeol dengan mengambil jadwal kereta yang berbeda seperti yang biasanya diambil olehnya—dan juga Park Chanyeol. Pada minggu pertama, rencananya berhasil; dan diikuti pula dengan minggu-minggu ke selanjutnya.
Selama berbulan-bulan, Jiyoo tidak pernah lagi bertemu dengan Park Chanyeol. Perhatiannya pun coba difokuskan pada ujian masuk universitas. Pikirnya, semuanya akan berjalan dengan mulus.
Jiyoo belajar dengan keras untuk ujian masuk universitas, namun, perasaan romantis yang ditujukannya cuman untuk Park Chanyeol tetap tidak bisa hilang atau bahkan berkurang.
Setelah ujian masuk universitas berakhir, Jiyoo masih saja menangisi hatinya yang retak sana-sini.
“Ah, sial,” Jiyoo mengerucutkan bibir dan mengumpat di antara deru napas ketika menyadari jika air mata baru saja hendak menetes dari sudut mata. Kala memikirkan perasaannya, Jiyoo selalu saja menjadi sosok yang super emosional.
Kemarin adalah hari kelulusan. Jiyoo merasa bahagia karena dia sudah meninggalkan gelar sebagai murid SMA. Pikirnya, semua urusan menyakitkan yang berhubungan dengan masa SMA juga harus segera diakhiri; termasuk perasaannya, atau cinta bertepuk sebelah tangan yang selama berbulan-bulan ini sudah menyiksanya.
Sore ini, dia baru saja menghadiri pesta kelulusan dengan teman-teman sekelas yang memang ditunda sehari. Acaranya sangat menyenangkan dan Jiyoo memang merasa sangat terhibur. Tapi, begitu acara berakhir dan teman-temannya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, Jiyoo kembali terjebak dalam masa patah hatinya.
“Sial. Sial. Sial. Dungu. Idiot. Berhenti mengeluarkan air mata, cewek menyedihkan,” Jiyoo mendongak sembari mengedip-ngedipkan kelopak mata. “Aku tidak semenyedihkan itu. Aku tahu itu. Aku ...”
“Hei.”
Jiyoo terlunjak—bukan karena dia tiba-tiba disapa, tapi karena gendang telinganya baru saja dicium oleh suara familiar yang selama ini diam-diam dirindukannya. Matanya yang memerah terbelalak, rasa terkejut tidak lagi bisa disembunyikan. Nampaknya, Park Chanyeol juga terkejut.
“Kau tidak apa-apa?”
Jiyoo mundur selangkah selagi kepalanya memberi anggukan. “Tidak apa-apa,” balasnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Jiyoo mengedarkan pandangan, mengetahui fakta jika dia sedang berdiri di tengah trotoar di Dongdaemun; sendirian dan sangat emosional. Seketika, Jiyoo makin merasa bahwa dirinya memang sangat dungu. “Aku baru akan pulang ke rumah.”
“Tapi kau mengambil jalan yang berlawanan dengan arah ke stasiun.”
“Aku tidak naik kereta.”
“Kenapa?”
Jiyoo cuman mengangkat bahu. “Nah. Selamat jalan.”
Jawaban yang tidak nyambung itu makin membuat Park Chanyeol terheran. Dengan langkah yang lebih cepat, dia mengambil langkah ke kanan dan secara otomatis menghalangi Jiyoo untuk pergi. “Kemana saja selama ini? Aku tidak pernah melihatmu di stasiun atau di kereta.”
“Sudah kubilang kalau aku tidak lagi naik kereta.”
“Ayo ngobrol sebentar.”
Ajakan itu tidak bisa ditolak dengan mudah oleh Jiyoo. Park Chanyeol memaksanya, dengan cara yang sangat lembut, untuk duduk di dalam sebuah kafe yang berada dekat dari tempat mereka bertemu. Sekarang, rasa-rasanya Park Chanyeol berusaha memanjakannya dengan seloyang pizza, semangkuk es krim rasa coklat, dan juga segelas susu rasa coklat.
Tapi, Jiyoo sama sekali tidak tergoda.
“Ada hal yang terjadi, ‘kan? Di antara kita?” Pertanyaan itu sudah tiga kali dilontarkan oleh Park Chanyeol dan belum mendapatkan jawaban yang tepat dari Jiyoo. “Biasanya, kau ‘kan sangat ramah dan ceria kalau sudah bertemu denganku. Tapi kenapa tiba-tiba ...”
“Apa?” Jiyoo menginterupsi, lebih-lebih karena dia terkejut dengan kalimat Park Chanyeol barusan. “Aku .., kalau sudah bertemu denganmu .., jadi lebih ceria? Yang benar saja,” sahutnya sambil mengerutkan bibir.
“Oke. Kita luruskan saja masalahnya. Kau tiba-tiba menghilang setelah kita bertemu di COEX di sore hari itu. Benar, ‘kan?”
“Lalu, apa masalahnya? Tiba-tiba saja aku tidak lagi ingin naik kereta, jadi aku berhenti pergi ke stasiun, lalu kita tidak lagi saling bertemu. Dimana letak masalah yang kau maksud, ajussi?”
Park Chanyeol mengatupkan bibir, sedikit terlihat emosi ketika gadis berumur 19 tahun di hadapannya malah memanggilnya ajussi. “Hei,” panggilnya, sambil menyorongkan tubuhnya di atas meja; mengikis jarak di antara wajah mereka. “Kau menyukaiku, ‘kan?”
Skakmat. Bom di dada Jiyoo akhirnya meledak. Gadis itu ingin melontarkan penolakan, tapi lidahnya sudah terlanjur terasa kaku.
“Aku sudah mengetahui rahasiamu ini bahkan sebelum kita saling ngobrol di kereta. Katakan padaku, sejak kapan kau mulai senang mencuri pandang ke arahku atau memandangiku? Aktingmu itu memberitahu segalanya, tahu.”
“La-lalu, lalu, kenapa?! Sekarang ‘kan kau sudah punya pacar, jadi tidak usah memperdulikanku!”
“Aku peduli karena kupikir aku juga menyukaimu, bocah,” Park Chanyeol mengatakan hal seperti itu dengan segenap nada serius. Untuk yang kedua kali, Jiyoo terserang stroke singkat. “Karena kau masih sangat bocah, masih kelas 3 SMA, kupikir aku harus melupakan perasaan yang sangat konyol ini. Iya, ‘kan? Aku sudah 27 tahun dan tidak seharusnya ..”
“Oppa[2]!” Jiyoo menginterupsi dengan cepat. Kedua bola matanya berkilau oleh harapan yang sudah lama coba dipendamnya dalam-dalam. “Bukannya kau sudah punya pacar? Bagaimana dengan unni[3] cantik yang kau ajak jalan di COEX waktu itu?”
“Well. Dia cuman teman kencan. Kita tidak pergi kemana pun setelah kencan itu berakhir.”
“Heol,” Jiyoo kembali merasa dungu; karena menyadari jika ternyata apa yang dirasakannya sama sekali bukan cinta bertepuk sebelah tangan. “Aku patah hati setelah tahu kalau kau punya teman kencan!”
“Siapa yang menyuruhmu membuat konklusi sepihak?” Park Chanyeol tidak mau kalah. Bintik-bintik rona merah mulai kelihatan menyebar di kulit wajahnya.
“Uh. Lupakan tentang hal itu,” kata Jiyoo. “Jadi, kita harus pacaran, ‘kan?”
Park Chanyeol menganga, terkejut setengah mati. “Kau .., ‘kan masih 19 dan aku 27 ...”
“Siapa yang peduli?! Kau ‘kan juga suka padaku!”
Kepercayaan diri milik Han Jiyoo akhirnya kembali meroket, menghancurkan rasa patah hati yang semula sering menguasainya. Setelah masa pahit yang menyakitkan terlewati, pada akhirnya Jiyoo dan Chanyeol bisa meneguk rasa manis dari perasaan romantis yang mereka rasakan dan tujukan kepada masing-masing pihak.
“Oppa. Kau suka padaku, ‘kan?” Jiyoo kembali menyadarkannya dengan suara rengekan yang manis.
“Oke,” kata Park Chanyeol. Gurat bahagia langsung menyempil di wajahnya begitu dia mendapati senyum lebar yang dilukis oleh bibir milik kekasih barunya yang imut. Gelombang kebahagiaan itu pun membuatnya merasa hangat. “Baiklah. Kita mencobanya sama-sama.”
Well.
Baik Jiyoo mau pun Chanyeol tidak pernah menyangka kalau kisah keduanya akan berakhir di titik yang mereka harapkan. Pada awalnya memang terasa pahit, tapi mereka bersyukur karena bisa kembali dipertemukan oleh takdir dan diberi kesempatan untuk mencicipi rasa manis dari kebersamaan yang tidak terduga ini.
END