But, I Still Want You

But, I Still Want You

nuraisyahr55

5

Langkahku tertatih memasuki lobi apartemen. Menabrak orang lain yang berlalu – lalang. Tidak peduli apa kata mereka, kepalaku sangat sakit. Tampaknya, sebentar lagi aku akan terkena demam tinggi.

            Dengan tangan yang gemetaran, aku mencoba menekan tombol lift. Pandangan buramku melihat dua-tiga orang menatapku aneh, pasalnya rambut hitam yang kusut, pakaian tipis dimusim dingin, bukankah cukup berbeda?

            Lift berdenting. Aku mencari kamar yang menjadi tujuanku sejak daritadi. Pintu ke empat? Lima? Ugh, lupakan. Ketuk saja pintu sembarangan, jika ia membukanya, dialah yang kucari.

            Sial, tanganku bahkan tak mampu diangkat lagi. Kugunakan kepala untuk mengetuk pintu. Hanya saja, pandanganku masih kabur, sebentar lagi aku ambruk dikamar seseorang. Dua-tiga kali ketukan, knop pintunya bergerak. Ah, dia membukanya.

            Kucoba mengerjapkan mataku. Sandal kuningnya masih sama seperti satu tahun yang lalu. Namun, warnanya mulai pudar. Aku ingin memanggil namanya. Mulutku bergetar hebat, padahal aku tidak meminum alkohol dimusim dingin seperti ini, tidak. Aku bukan pemabuk.

            “Jungkook...” Lirihnya.

            Dia memanggilku lebih dulu. Kenapa harus dia yang memulainya? Kenapa bukan aku? Air mataku menetes dipipi, mengalir, hingga berakhir didagu. Perlahan tapi pasti, ku dongakkan wajahku untuk menatap kedua amber khas itu.

            “Tolong aku...”

                                                                        ***

            Sinar matahari redup masuk melalui celah jendela. Mataku terasa silau walaupun masih tertutup. Jemari kecil meraba keningku. Aneh, tubuhku terasa hangat. Padahal, kemarin sudah jelas salju masih tebal dipinggiran jalan.

            “Hei, bangunlah.”

            Aku mengerang kecil, badanku terasa nyeri.

            Kudengar bunyi keramik yang bertabrakan dengan kayu. Ditambah lagi, ada aroma makanan berkuah, sup?

            Dia membantuku duduk bersandar ditembok. Saat kesadaranku pulih, senyum manisnya terpampang jelas. Satu hal yang tidak berubah, ambernya. Gadis itu membawakanku sup ayam dengan air putih yang nikmat.

            “Makanlah. Aku akan menyuapi mu.” Katanya dengan lembut. Aku mengangguk.

            Orang dihadapanku, sedikit berbeda. Terakhir kali kami bertemu, rambut hitamnya masih sampai ke punggung. Sekarang, rambut itu sejajar dengan lehernya. Warna bibirpun berubah. Sekarang ia tidak memakai lipstik kesukaannya berwarna peach, melainkan berubah menjadi bening dan mengkilap.

            Sesekali sup ayam yang masuk dimulutku mengingatkan bahwa masakannya sangat enak. Kulitnya, sekarang lebih pucat karena jarang keluar rumah. Kuku dijari itu, mengkilat tanpa cat sedikitpun. Dia benar – benar merawat diri semenjak aku pergi.

            Teleponnya berdering, membuatku sedikit kaget. Dia meletakkan mangkuk putih dimeja lalu mengangkat panggilan itu. Hanya saja, ia menjauh dari sini. Siapa itu? Pacar barunya?

            Dia kemudian kembali lagi. Senyumannya terlihat lebih lebar. Aku bisa lihat semangat yang menggebu – gebu. Benar, seseorang tadi adalah pacarnya.

            “Aku harus pergi, sekarang sudah terlambat. Mandilah jika selesai makan. Tinggalkan cucian piringnya untukku.” Ucapnya lalu menutup pintu kamar.

            Apakah ini karma? Dia meninggalkanku sendirian, seperti apa yang kulakukan dulu. Perutku bergemuruh, jadi kuhabiskan supnya. Berat jika keheningan menyelimuti seperti ini. Kuputuskan mandi lalu berkeliling disekitar apartemen.

                                                            ***

            Samar – samar langit mulai gelap, namun ia tak kunjung pulang. Ada apa ini? Dia keluyuran bersama pacarnya?

            Aku mengutuk diriku sendiri. Untuk apa aku marah? Toh, dulu aku juga begitu. Bedanya, dia tidak marah sedikitpun. Hanya saja setiap ku telpon, suaranya serak seperti seseorang yang terkena flu.

            Beberapa kali, aku menjelajahi apartemennya. Barang – barang disini tidak banyak berubah. Bahkan ada beberapa barang dariku, ia masih menyimpan itu. Apa dia benar – benar tahan melihat semuanya?

            Duduk disofa dengan cokelat panas dimeja, aku menunggumu pulang. Cepatlah kembali. Ada beribu hal yang ingin kujelaskan....

            Jika orang – orang berkata, waktu itu sangat berharga, itu memang benar. Aku sangat kecewa pada diriku sendiri, aku melepas seseorang yang selalu ada untukku. Jalanku berada diarah yang salah. Namun, Seokjin hyung bilang, belum terlambat untuk memperbaikinya.

            Pintu depan terbuka, aku yakin itu pasti dia.

            Benar. Dia masuk kedalam, lagi – lagi dengan senyuman. Apa ia tidak bosan tersenyum? Sepatunya terlihat basah, habis berpergian jauh?

            “Hai,” sapanya. “Apa demammu sudah turun?”

            Ini sulit, tapi aku harus bicara padanya. “Ya. Terima kasih sudah merawatku.”

            “Lalu apa yang membuatmu kesini?” Dia meletakkan tas lalu duduk disampingku.

            Sekilas kulihat, bibir mungil itu sudah tidak tersenyum lagi. Keseriusan nampak jelas diraut wajahnya.

            Aku tercekat ditenggorokan. Padahal sedari tadi tujuanku duduk disini untuk menjelaskan semua hal yang menjadi kesalahpahaman. Kepalaku menunduk, bagaikan anak kecil yang dimarahi oleh ibunya.

            “Aku...”

            Dia menghela napas pelan, “Apa?”

            Hening.

            Mengingat kesalahan yang ku lakukan, ini benar – benar keterlaluan. Pandanganku mulai kabur, sepertinya aku akan menangis. Sial, dia tidak boleh tahu aku rapuh. Baiklah, jelaskan semua lalu pergi dari sini.

            “Aku, harus pergi dari sini.”

                                                                        ***

            Sudah beberapa hari yang lalu semenjak kejadian itu berlangsung. Aku, lagi – lagi menghindarinya. Saat aku memutuskan untuk pergi, sebenarnya aku tidak betul – betul pergi. Aku ada disana, mendengar tangisannya yang perlahan – lahan pecah.

            Hatiku teriris mendengar itu. Satu tahun berlalu, apakah hari – harinya diisi dengan tangisan? Diam – diam aku juga menangis dibalik pintu. Beberapa jam aku duduk diluar, tangisnya berhenti. Yang kudengar hanya hembusan napas lalu suara karton yang berjatuhan. Takut jika ia mendapatiku diluar, aku memilih pergi dari sana.

            Sekarang, tujuanku adalah pulang ke rumah. Angin benar – benar berhembus kencang. Dalam bus, aku meratapi betapa bajingannya diriku. Meninggalkan permata demi sekadar emas murah yang ada ditoko.

            Beberapa hari yang lalu, Seokjin hyung memutuskan jika aku tidak boleh menginap di rumahnya lagi. Aku mengacau, katanya. Dia tahu benar jika aku ini pecundang. Ribuan nasihat menghampiriku saat ia tahu aku pergi tanpa menjelaskan apapun. Payah, bukan?

            Aku tidak tahu bagaimana kabar dia sehabis menangis. Akankah pacar barunya akan datang lalu memeluk dia? Menggantikan posisiku? Seharusnya aku ada disana. Mengelus rambutnya, berkata bahwa semua akan baik – baik saja.

            Bus berhenti didepan halte. Dari jendela, kulihat gadis berambut cokelat dengan pakaian yang minim. Tidak asing lagi, dia adalah orang yang menghancurkan hidupku. Menarikku kejalan yang salah. Membuatku terbang lalu jatuh.. Hancur, terpuruk. Menyedihkan.

            Seharusnya aku turun disini. Tapi, dia ada disana. Aku tahu, dia berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Namun, dia tidak mendapatiku di rumah. Sehingga ia menungguku di halte bus. Ya, keputusanku kali ini sudah benar. Aku tidak akan menemuinya lagi.

            Hatiku bilang, aku akan turun di halte bus selanjutnya. Aku mengikuti kata hatiku..

            Pikiranku berkata, berharaplah jika semua akan kembali seperti semula. Aku rindu dia. Ku minta supir bus menghentikanku dipinggir jalan. Sore ini aku akan pergi ke depan apartemennya, walau hanya melihat dia dari kejauhan, it’s all enough.

***

            Udara semakin dingin, kueratkan jaketku dengan kedua tangan. Sudah dua jam aku berdiri didepan gedung bertingkat. Biasanya, jam lima dia akan kembali. Sampai saat ini, dia bahkan belum kembali. Ada apa?

            Lampu – lampu pinggir jalan sudah menyala. Bahkan orang lain sudah menenteng tas kerja, berjalan disebelah kiri. Kenapa dia belum kembali?

            Dari kejauhan, aku melihatnya. Ya, itu dia. Menenteng kantung plastik dari toko obat. Siapa yang sakit? Pacarnya?

            Dia menggunakan mantel pemberianku. Hadiahku untuk dia saat musim dingin datang. Kemudian ia berjalan masuk ke lobi, menyapa beberapa orang dengan senyuman sehangat jahe. Aku? Hanya bisa melihatnya dari jarak sepuluh kilometer.

            Badannya terlihat kurus belakangan ini. Apa ia sedang diet? Benar – benar keterlaluan pacarnya. Dia merubah gadisku sangat drastis. Aku bersumpah akan menghajar lelaki itu jika kami bertemu.

            Punggungnya hilang ditelan keramaian. Belum cukup melampiaskan rasa rindu, aku mengikutinya hingga kelantai tujuh. Dia sudah masuk ke dalam. Dengan hati – hati, ku dekatkan telingaku ke pintu.

            Senyap.

            Tidak ada siapapun.

            Tapi aku mendengar suaranya terbatuk. Dia terserang flu? Mungkin saat ini ia meringkuk dikasur dengan selimut tebal. Aku mengeluarkan ponsel lalu menelponnya. Tiga detik, telepon langsung diangkat.

            “Hai.”

            Suaranya lebih ceria, bukankah ia terserang flu?

            “Hai.” Balasku.

            “Kenapa menelpon?” Dia bertanya, sama dengan waktu ia bertanya mengapa aku datang.

            “Bisakah kita bertemu?” Aku benar – benar mengucapkan ini tanpa sadar. Namun, aku tidak boleh menariknya kembali.

            Samar – samar, dia menghela napas, “Baiklah, dimana?”

            “Tempat kesukaanku,” Ayo, sedikit lagi. “Jam tiga sore.”

            Dia tersenyum, aku bisa mengetahuinya. “Sampai jumpa disana, Jungkook.”

            Aku menutup telepon. Satu langkah sudah berhasil. Dia menyebut namaku dengan cara yang masih sama seperti pertama kami bertemu.

            Cepatlah datang, hari esok. Aku akan menemui gadisku.

                                                                        ***

            Jam empat? Aku terlambat. Ya, aku tidur sehabis menangisi perbuatanku. Dia menungguku satu jam. Akankah ia sudah pulang?

            Hujan mengguyur jalanan. Tidak deras, hanya setitik air. Disisi lain, tetap saja aku ingin menemuinya. Dua meter lagi tujuanku sudah terlihat. Pinggiran sungai tempat kesukaanku, benar – benar indah. Kau bisa melihat pemandangan kota sambil duduk dibangku besi pinggir jalan.

            Andai salju tidak menutup semuanya, bonsai hijau mungkin akan menghiasi pinggiran jalan ini. Ah, dia sudah ada disana. Dia berdandan cantik. Rambutnya diurai, menggunakan sweater pink dengan celana jeans denim. Mantel itu, masih sama dengan yang kemarin.

            Aku berdiam diri, melihatnya dari kejauhan. Pipinya merona, seperti saat aku mengucapkan “kau cantik.” setiap kali kami bertemu.

            Pikiranku kembali melayang saat ia tersenyum melihatku dengan gadis lain. Ia bahkan tidak menangis, rona dipipinya masih sama. Hatiku benar – benar sakit mengingat kenangan ini. Disinilah hubungan kami berakhir satu tahun yang lalu.

            Sialnya, bahkan aku tidak mengucapkan maaf. Hanya langsung pergi dengan gadis lain. Meninggalkan dia, duduk sendirian hingga langit mulai gelap.

            Sekarang aku tidak bisa menghampirinya. Dia melirik jam dipergelangan tangan, lalu pergi dari sana. Lihat Jungkook, apa yang kau lakukan? Lagi – lagi, rencanamu hancur.

            Karena dirimu sendiri.

                                                                        ***

            Aku meringis ditengah kesunyian. Lambungku kambuh. Baru saja aku ingat, aku tidak makan selama beberapa hari. Mungkin, berat badanku turun tiga-empat kilogram.

            Seokjin hyung, dia memeriksaku. Ada beberapa obat yang ia tinggalkan. Lingkaran hitam dimataku mulai nampak. Malam kuhabiskan dengan berkhayal apa saja. Bibirku mulai pecah – pecah. Nyaris seperti mayat hidup.

Pandanganku mengarah ke jendela. Hujan sangat deras diluar sana. Kuputuskan untuk keluar ke apartemennya. Jika kemarin aku gagal, hari ini harus berhasil.

                                                            ***

Napasku menderu padahal aku bahkan tidak berlomba lari. Bajuku basah kuyup. Hujan sangat deras, aku menggigil.

Baru saja hendak mengetuk pintu, dia keluar dengan sweater rajut. Pasti ia merasa hangat dengan pakaian itu. Ambernya menatapku dengan prihatin. Tatapan itu melumpuhkanku. Aku lari dari sana.

Tunggu, dia mengejarku. Kakiku berlari ke lapangan disamping apartemennya. Dia juga mengikutiku. Napasku mulai berderu lebih kencang. Aku ambruk begitu saja diatas salju yang mulai mencair. Dinginnya bahkan tidak mengusikku sama sekali.

“Jungkook !” Dia berseru.

“Tidak, jangan bantu aku berdiri.” Perlahan tapi pasti, aku berdiri dengan kepala yang berdenyut. Hujan semakin deras mendengarku berkata seperti itu.

“Oh Tuhan, kau darimana saja?” Dia setengah berteriak, suara hujan memang lebih keras.

Rambut pendeknya mulai basah. Sweater rajut itu bahkan tidak terasa hangat lagi. Aku gagal menjaga dia. Haruskah aku lari lagi? Tapi, dia mencengkram lengan atasku. Jarinya juga terasa dingin. Oh, ia akan terkena flu lagi.

“Maafkan aku.”

“Apa kau bilang? Ayo masuk dulu, hujannya deras sekali.” Dia menarik pergelangan tanganku.

Aku menggeleng, tetap bertahan ditempatku, “Maafkan aku!” Ucapku lagi, namun lebih keras.

Ia tertegun beberapa saat. Ya, ini pertama kaliku berkata maaf.

“Maaf, selama ini aku egois padamu,” Mataku akhirnya basah, tapi hujan menutupi semuanya.

“Hei, tidak apa – apa.” Dia mengusap pipiku.

            “Apa maksudmu? Aku menyakitimu! Aku pergi dengan gadis lain! Aku mendengarmu menangis dipintu! Kau sakit karena ku beberapa hari yang lalu. Kau membeli obat karenaku, bukan?” Aku menepis tangannya dengan kasar.

            “Tidak, tidak, jangan begitu. Kumohon.” Dia mulai berkaca - kaca. Kedua mata ambernya menatapku sayu.

            “Kau selalu memohon seperti ini, kau itu betah disakiti, bukan?”

            Dia terdiam, hanyut dalam tangisan.

            “Kenapa kau tidak pergi? Kenapa bertahan pada seseorang yang membuatmu sakit? Kenapa tersenyum saat melihatku dengan gadis lain? Kenapa menungguku selama setahun?” Tanyaku dengan nada tinggi, mengeluarkan semua pertanyaan yang ada dalam benakku. “Kenapa,” kutarik napas sebentar, lalu memberanikan diri untuk berkata hal yang paling menyakitkan, “Kenapa kau jatuh cinta pada orang yang salah?”

            Tangisnya semakin menderu mendengar ini. Aku melangkah pergi dari sana. Dia menyambar jari telunjukku. Ia menggenggam erat jariku, menggeleng, seakan – akan menyuruhku untuk tetap disini.

            “Kenapa menahanku pergi?”

            Dia menunduk, “Kenapa kau datang lagi?”

                                                                        ***

            Kami sama – sama terdiam di ruang tamu. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Sibuk dalam pikiran masing – masing. Aku merasa risih seperti ini.

            “Dia membuatku berpaling, karena hari itu aku menolongnya dipersimpangan. Hari itu, aku muak dengan hubungan kita. Kau... Kau selalu berkata maaf walau aku yang membuat kesalahan. Itu menggangguku setiap malam.”

“Semuanya berjalan lancar semenjak kita berpisah. Kami melakukan hal – hal yang romantis. Kencan, menonton bioskop, dan berbelanja di kedai. Hari itu, dia tidak menghubungiku. Aku khawatir, lalu aku mencarinya ditengah malam. Kami putus setelah aku mendapatinya dengan seseorang di klub.” Jelasku. Napasnya tercekat saat mendengar semua ini.

            “Aku kembali padamu, setelah dua hari tidak tidur. Aku bodoh, karena meninggalkanmu. Seharusnya kita membicarakan hal ini bersama, tapi aku menghindar. Sama dengan caraku pergi setelah satu tahun kita tidak bertemu. Aku,” Hatiku mulai teriris mengatakan ini, “Aku terlalu takut untuk menyakitimu lagi.”

            Dia menangis, bahunya naik turun karena terisak, “Lalu kenapa datang disaat aku tidak membutuhkanmu lagi?”

            Perkataannya barusan, menghantam dadaku. Diam – diam aku menangis, aku terlalu rapuh untuk bersuara. “Aku bodoh sudah meninggalkan permata disini. Aku selalu lari dari masalah. Kau tahu aku tidak bisa.”

            “I’m so afraid, you will leave me again. But, I still want you.

            “Kau bebas memanggilku siapa. Aku akan menghargainya. Tapi, please, don’t smile on me. Because I can’t come to you.”

            Dia mendongak, matanya kosong. Mulutnya bergetar.

            “I can’t hide that I’m ugly. So, what I can do?” Ucapku sambil menghapus air mata.

            Kupeluk tubuh mungilnya. Dia bahkan belum pernah menunjukkan tangis ini didepanku. Aku lega karena semuanya telah kusampaikan.

            Aku tahu ini sakit. Bahkan aku tidak meminta untuk dimaafkan.

            “Apa kau telah menemukan seseorang yang menjadi penggantiku?”

            Dia menggeleng.

            Aku membawanya keluar. Orang – orang melihat kami menangis sepanjang lobi. Masa bodoh, aku sudah menantikan saat ini. Hujan masih turun dengan deras, membuat salju dipinggir jalan meleleh.

            Kami basah lagi. Dia menepis cengkramanku, membuatku berhenti lalu berbalik kearahnya.

            Jantungku benar – benar berdegup kencang. Kupu – kupu seperti menari dalam perutku. Aku menunggu sejenak hingga ia menatapku dengan serius.

            Tatapan mata kami bertemu. Aku tersenyum, dia benar – benar masih sama seperti dulu.

            “Jadi milikku lagi, ya?”

                                                            - Selesai -