Apa yang diharapkan atas hubungan yang telah berjalan bertahun-tahun dan segala keseriusan dua pihak? Ya, menikah.
Narae, wanita matang dan berkecukupan, menginginkan hubungan mereka tidak seputar ini saja. Tiap hari bertemu karena mereka tinggal bersama, sudah cukup memberi pengakuan pada dunia jika mereka saling gila satu sama lain, diberi restu oleh seluruh umat. Mereka sudah memiliki semuanya, namun Ia menginginkan sesuatu yang lebih–tak lebih karena Ia egois?
“Ngomong-ngomong tentang orang tua, Joon, kau ingat untuk menjemput Ibumu sore nanti, kan?”
Namjoon mengangguk tanpa melirik Narae. Ia menempelkan ponselnya di telinga, menunggu dering konstan itu berubah menjadi suara seseorang yang dihubunginya.
“Kau menelpon siapa, sih?” Narae, dengan segala keegoisannya, berkacak pinggang di depan Namjoon dengan satu tangan memegang sendok sup.
Namjoon akhirnya mengangkat kepala, tersenyum kecil pada Narae sambil mengangkat tangan memberikan instruksi pada kekasihnya untuk menunggu. Ya, menunggu.
Narae mendecakkan lidah, kembali sibuk pada meatballnya untuk menyambut Ibu Namjoon yang akan mampir setelah perjalannya dari Jepang. Narae sedang sibuk di dapur apartemen mereka, menghadap Namjoon yang sedang duduk di kursi meja makan. Ya tuhan, posisi mereka ini berhadapan, lho, mereka hanya dipisahkan oleh kitchen set dan sedikit jarak lalu di sanalah Namjoon duduk di meja makan. Namun kekasih tercintanya itu sebegitu sibuknya memainkan pulpen dan fokus pada kertas gambaran aneh yang akhir-akhir ini menjadi obsesinya. Oh, juga gambaran 3D di MacBooknya!
Gambaran sialan!
“Kau sudah bosan menjadi produser dan mengurus perusahaanmu, huh? Berganti haluan menjadi kontraktor rumah?” gerutu Narae masih terus mengaduk saus tiram buatannya sendiri. Narae melirik sekilas kekasihnya, memastikan kekasihnya mendengar gerutuannya, dan hanya puas pada ekspresi misterius kekasihnya.
Bumbu saus tiramnya sudah selesai, Ia akan menyimpannya di lemari pendingin bersama dengan bola-bola bakso yang Ia kreasikan sendiri. Mencuci tangan lalu melepas apron, Ia melirik kekasihnya sedang mengangguk paham sebagai jawaban pada lawan bicaranya di telepon.
Ini sudah pukul 10, waktunya Narae berangkat ke restorannya. “Apakah kita berangkat bersama seperti biasanya atau haruskah aku naik mobilku sendiri saja, Tuan sibuk?” Narae duduk di depan Namjoon sambil meminum jus buah bit paginya.
*
Hubungan mereka sudah mendapat restu kedua orang tua masing-masing. Bahkan orang tua mereka sangat senang saat Narae memutuskan tinggal bersama Namjoon 3 tahun lalu. Sebegitu dekatnya mereka dengan orang tua masing-masing, hingga dalam seminggu ini mereka akan bertemu dengan Ibu Namjoon hari ini dan kedua orang tua Narae Jumat besok.
Narae masih bersenandung pelan dan senyuman lebar di bibirnya masih terpatri ketika Ia membuka pintu apartemennya lalu disambut Ibu Namjoon yang merentangkan tangan sambil memekik. Bahkan wanita itu sudah merentangkan tangannya sejak dari dapur.
“Kau terlihat sehat, Ma? Bagaimana Papa dan Geongmin?” Narae mengabsen keluarga Namjoon di pelukan Ibu Namjoon.
“Mereka baik sekali, Geongmin ingin bertemu denganmu lagi. Kau baik, sayang?”
Narae mengangguk mantap tiga kali sambil tersenyum mirip anak kecil yang telah lama tak bertemu orang tuanya. Mereka berpelukan sekali lagi, kali ini Ibu Namjoon mencium pipi Narae sayang.
“Ma, kau tak seheboh itu ketika kita bertemu tadi,” Namjoon protes dengan handuk tersampir di kepalanya. Rambutnya basah, dan Ia hanya memakai kaus putih dan celana panjang dari kaus. Narae hafal, lelaki itu baru selesai mandi.
“Karena kau nakal tidak mengajak Naraeku menjemput di bandara.” Ibu Namjoon mencubit pinggang Namjoon main-main. Narae tersenyum masih sama seperti sebelumnya, Ia selalu senang bertemu keluarga Namjoon.
“Tanya Narae, dia yang bilang padaku bahwa Ia tak bisa, Ma!”
“Tidak, Namjoon berbohong, Ma.” Narae menggeleng cepat, menggoda kekasihnya yang merajuk pada Ibunya. “Ngomong-ngomong, aku sudah menyiapkan masakan untuk makan malam kita, Ma,” Narae melepas jaketnya dan mengucapkannya dengan kasual. Mereka sudah terbiasa dengan satu sama lain, karena begitu pula Namjoon terhadap orang tua Narae.
“Kau memasak?”
Narae menarik lengan sweaternya hingga sebatas siku, memasang apron, lalu mengangguk semangat sebagai jawaban. “Aku mencoba menu baru untuk restoranku, akan lebih baik jika kau merasakannya lebih dulu.”
Ibu Namjoon mengangguk, “benar sekali, kau harus menyerahkannya padaku dibanding pada Namjoon. Yang bisa dirakasannya hanya kopi saja,”
“Ya, benar.” Narae mengangguk semangat disela kegiatannya menyiapkan bahan masakannya dan mengeluarkan meatball dan saus tiramnya dari lemari es.
Namjoon, sekali lagi, protes dengan koalisi dua orang lainnya di ruangan ini.
Namjoon baru menutup laptopnya saat bau wangi dari masakan Narae tercium memenuhi ruang ciumnya, berjalan santai ke dapur dan mengecup tengkuk Narae dengan santai, menunjukkan kasihnya pada Narae di depan Mamanya dengan cara kasual.
Ia membantu Narae menata tempat makan dan mendengar ceramah Ibunya tentang quality time yang harus ditambahnya ketika di rumah.
Begitu ketiganya duduk bersama di meja makan, Ibu Namjoon tersenyum dan bertanya pada Narae. “Kapan kau bertemu orang tua Narae?”
Namjoon memotong meatball buatan Narae dan menyantapnya. “Jumat malam, Ma. Kami akan merayakan ulang tahun pernikahan mereka.”
Ibu Namjoon tersenyum lebar lalu menyentuh bahu Narae dengan lembut. “Sampaikan salam kami pada mereka, Narae. Aku akan mengirim hadiah pada mereka,”
Narae tersenyum dengan mulut penuh, mengangguk semangat.
Sebegitu dekatnya kedua keluarga ini hingga mereka semua menyetujui ide Namjoon untuk meminta Narae pindah dan tinggal bersamanya. Kedua keluarga ini saling kenal makan saling memaklumi, bagaimana Namjoon dan Narae berbagi saat perayaan chuseok; sehari di rumah Narae karena Narae anak tunggal dan harus menemani kedua orang tuanya, dan dua hari setelahnya di rumah Namjoon sebagai kompensasi karena mereka tak merayakan chuseok bersama.
Atau bagaimana keluarga Narae pergi liburan di tahun ini bersama pasangan ini, lalu tahun berikutnya giliran keluarga Namjoon yang pergi bersama mereka.
Sekali lagi Narae merasa diberkahi keberuntungan.
*
Hari Jumat adalah hari yang mendebarkan!
Tidak, bukan karena Narae harus pergi mengurus restorannya yang terkena urusan perijinan.
Melainkan karena malam ini mereka akan makan malam bersama orang tua Narae di restoran milik lelaki itu. Pukul tujuh, Narae memang mengosongkan salah satu ruang privat di restorannya untuk mereka berempat gunakan. Dan Yoongi sendiri yang akan melayani keluarga ini.
Pukul enam Namjoon mematut diri di depan cermin di apartemennya.
“Joon, mau sampai kapan?”
Namjoon tertawa mengingat kebodohannya. Ini bukan yang pertama kali bagi Namjoon untuk bertemu dengan orang tua Narae, mereka pernah menghabiskan seminggu penuh di Nepal untuk liburan, dan makan malam seperti ini bukan hal yang rumit. Namjoon menyentuh saku celananya, memastikan Ia tak melupakannya.
“Kau seperti pengantin mau menikah, ayo cepat!”
Narae menggerutu, memasang kalung di lehernya dalam sekali gerakan lalu berkacak pinggang menatap Namjoon.
Lelaki tampan itu tersenyum, melangkah ke depan Narae, lalu memeluk pinggang kekasihnya dari spasi tangan Narae yang masih berkacak. Menyuruh Narae untuk secara tidak sadar, menurunkan tangannya dan ikut memeluk Namjoon. “Sayang, kuatkan aku.”
“Untuk?”
Namjoon tersenyum penuh arti, yang dinilai aneh bagi Narae.
“Kau ini kenapa? Kau aneh sekali, Joon?”
Namjoon makin tersenyum lebar, menampilkan lesung di pipinya yang memerindah pahatan wajahnya. Ia menarik Narae ke pelukannya, menempelkan hidungnya pada ceruk leher Narae yang hangat sekaligus wangi. “Aku mencintaimu, Naraeku.”
Namjoon bergumam di leher Narae, sengaja berbicara di leher lelaki itu sehingga Narae merinding ketika udara panas dari mulut Namjoon mengenai kulitnya. Ia bergelinjang kecil, mengeratkan pelukannya.
Namjoon terkekeh mengetahui reaksi Narae, yang setelah sekian lama hal ini menjadi kebiasaan Namjoon, namun lelaki ini masih saja tak hafal atas kebiasaannya.
*
“Hai, Ma, Pa!” Narae berjingkat dan berlari kecil menemui kedua orang tuanya, memeluk mereka bergiliran sambil membubuhkan kecupan di pipi mereka satu persatu. Namjoon, lebih tenang, berjalan mantap dan ikut mencium Ibu Narae dan membungkuk pada mereka berdua.
“Kalian sehat?”
Ibu Narae tersenyum bahagia melihat kekasih putranya yang memang tampan ini. Mereka lalu duduk di meja, berbincang mengenai hal ringan.
“Perusahaanmu oke, nak?” giliran Papa Narae yang dengan bertanya dengan tenang.
Namjoon menangguk tak kalah tenang, menggenggam tangan Narae kasual dan menariknya ke atas pahanya. “Sahamnya sedikit turun karena gosip salah satu artisku, tapi aku bisa mengaturnya.”
Ibu Narae tersenyum bangga, mempercayakan urusan bisnis pada kekasih putranya. “Kau dan dedikasimu pada musik itu, Joon, kau yakin Naraeku masih nomor satu, kan?”
Namjoon tertawa, “Jelas, Naraeku selalu nomor satu.”
Makanan mereka datang keempatnya terlihat senang dengan menu pilihan sang koki, Narae.
Mereka makan malam dengan kasual, masih membahas sepupu Narae, Yoongi, dan kekasihnya yang berpacaran sejak lama–lebih lama dibanding Narae dan Namjoon–dan bagaimana akhirnya pasangan itu meresmikan hubungan mereka.
Ya, topik makan malam kali ini adalah pernikahan.
“Kau tak ingin menikahi anakku?” Papa Narae bertanya ofensif.
Namjoon refleks menyentuh kantung celananya, lalu tersenyum. “Aku selalu memikirkannya.”
“Pa, bukankah itu terlalu ofensif?”
Papanya menyipitkan mata, “Kau merasa aku ofensif?”
Naraenya menahan decakkan di lidahnya. “Bukan begitu, tapi ini makan malam yang harusnya lebih santai.”
“Aku mempertimbangkannya, Pa, selalu.” Potong Namjoon dengan yakin.
Yang tertua–Papa Narae–mengangguk paham. “Narae, aku tak pernah ofensif padamu dan kekasihmu, bahkan Namjoon saja menjawabnya dengan yakin. Lalu kenapa kau terganggu?”
“Aku tidak terganggu,”
“Kau tak mau membahas ini?”
Narae menjilat bibirnya, melirik Ibunya yang juga menunggu jawabannya. “Tapi ini ‘kan ulang tahun pernikahan kalian, seharusnya kita membahas kalian bukan kami,” lirih Narae tak yakin.
Ibunya, memahami dengan benar perihal perasaan anaknya. Ia menarik tangan anaknya lalu menggenggamnya, “Narae-ah, kami sama sekali tidak memasa kalian. Semuanya terserah kalian. Dan mengenai malam ini yang seharusnya menjadi perayaan kami, kami merayakannya tiap waktu dan bukan hal yang salah untuk menerima berita baik dari pasangan baru.”
Papanya mengangguk membenarkan.
Tak ada pilihan lain, memang benar ucapan Mamanya. Maka Narae mengangguk lalu Namjoon berdeham.
“Maka kupikir ini memang saat yang tepat,”
Semua mata menoleh menatap Namjoon dengan penuh pertanyaan. Apa pula saat yang tepat?
Lelaki tampan yang duduk di samping Narae itu merogoh saku celananya, mengeluarkan kota berwarna hitam dan membukanya. Di sana terlihat sebuah cincin sangat kasual; tak terlalu besar dengan warna hitam yang dominan dan perak di seluruh tepian cincin. Tidak ada permata, jadi orang yang tak tahu akan melihatnya sebagai cincin haiasan biasa, karena saking kasualnya cincin itu.
“Aboenim, Eommonim,” Namjoon memulai dengan sufiks yang jarang Ia gunakan pada orang tua Narae, membuat kekasihnya meneguk ludahnya dengan susah. “Bagaimana menurut kalian tentang cincin ini?”
“Ini cincin siapa, Joon?” Naraenya mendesis lirih, kebingungan dan tak punya ide apapun atas tindakan kekasihnya.
Namjoon terawa melirik Narae, lalu kembali serius menatap kedua orang tua Narae. “Bagaimana menurut kalian?”
Mama Narae, dengan senyuman lebarnya menangkupkan tangan ke mulutnya.
“Untuk apa ini, nak?” Papa Narae, dengan pandangan bertanya, tak kalah bingung dengan anaknya.
“Hari ini kalian merayakan ulang tahun pernikahan, dan biarkan aku melamar anak kalian di sini, sebagai terusan ucapan kalian tadi.” Namjoon berdeham sekali lagi, menggeser tubuhnya agar bisa menghadap kekasihnya. “Narae, aku tahu ini sudah begitu terlambat. Kita mengenal sejak lama, berpacaran sejak lama pula. Kita berbagi apapun yang kita miliki, keresahan, kepercayaan, dan perasaan. Kita merintis semuanya bersama, sejak aku yang hanya memiliki sepetak studio pengap, hingga sekarang aku memiliki lebih dari yang kubutuhkan. Kau selalu ada di sana, bersamaku, mendorongku, meyakinkanku, menguatkanku, bahwa apa yang kuperjuangkan tak akan pernah sia.”
Narae benar-benar tak percaya apa yang didengarnya. Ia hanya mampu menatap Namjoon dengan mata melebar tak percaya.
“Jadi, biarkan aku membuktikan kebenaran ucapanmu sekali lagi, bahwa apa yang kuperjuangkan tak akan pernah sia-sia. Naraeku, kau tahu bagaimana kita melewati semua ini, apa yang kita relakan dan apa yang kita perjuangkan. Dan dari semua perjuangan yang kulalui, satu-satunya yang tak pernah membuatku kecewa untuk memperjuangkannya adalah dirimu.”
“Joon?”
Namjoon tersenyum, begitu tenang dan tampan. “Kau tahu aku selalu bersungguh jika mengenai dirimu dan hubungan ini. Maka untuk menunjukkan kesungguhanku, aku melamarmu, Kim Narae, untuk berjuang bersamaku. Untuk membangun mipi-mimpi indah kita dengan kesungguhan, membiarkan mimpi kita tumbuh dan berkembang, menemani kita hingga tua. Park Narae, Naraeku, jadilah pasanganku, mari menikah denganku, menua bersamaku.”
Seluruh kalimat itu diucapkan Namjoon dengan tenang dan penuh perhitungan, seolah Ia menyiapkannya jauh-jauh hari. Namjoon benar-benar mengucapkannya dengan penuh keyakinan, membuat setiap kalimatnya mampu dirasakan oleh Narae hingga ke tulang belakangnya, membuatnya merinding.
“Joon?” Narae benar-benar tak memiliki ide atas apapun yang ada di depan matanya, hanya bisa mengucap nama Namjoon dengan lirih.
Namjoon tersenyum tenang, mengangguk sebagai jawaban. Lelaki itu tak memutus kontak matanya dengan Narae sejak mengucapkannya, tak berkedip mengindikasikan kebohongan sejak tadi.
Dan itu semua bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Narae tahu, Namjoon bukan tipikal orang yang mau bertanya ‘maukah kau menjadi pendampingku?’ Namjoon adalah tipikal orang yang akan memberi pernyataan, menyuruh, mengajak, bukannya bertanya dan bimbang atas pilihan. Narae tahu bahwa pilihan dan keputusan yang lelaki itu ambil selalu matang dan penuh pertimbangan. Maka dari itu lelaki itu selalu yakin dan tak ingin memberi kesempatan lain untuk menguasai pilihannya, termasuk bertanya yang memungkinkan variabel lain muncul.
“Narae, kenapa diam saja?” Papanya bertanya. Ya, kedua orang tuanya juga menunggu atas jawabannya.
Narae menggigit bibirnya, benar-benar bingung menjawab. Ini bukan seperti pertimbangan mendirikan restoran, atau tak sebanding dengan kerumitannya menentukan pilihan akan tinggal bersama Namjoon. Ini menikah, menjadi pasangan Namjoon selamanya, membangun kehidupan bersama. “Joon, bukankah seharusnya orang tuaku yang menjadi bintang malam ini? Ini ulang tahun pernikahan mereka, mereka yang seharusnya romantis. Kenapa kau malah bersikap seperti ini?”
Bukan jawaban. Narae sendiri terkejut dengan ucapannya.
Namun Namjoon tertawa kecil, memperlihatkan ketenangannya yang luar biasa.
“Narae anakku, kenapa kau bimbang begini?” giliran Ibunya yang menginterupsi.
Namjoon menarik tangan Narae, menahannya di udara dengan dekapan tangannya yang hangat. “Mau kupasangkan cincinnya?”
Narae tertawa malu, “kau bukannya bertanya apakah aku mau menerimamu tapi kau bertanya apakah aku mau kau memasangnya?”
Namjoon mengangguk yakin. “Karena aku tahu kau pasti tak akan menolaknya, Jinseok.”
Narae akhirnya tertawa lepas, sekalipun tak mengeluarkan suara. Tawanya begitu lucu dan menggelikan, karena Ia sekaligus mengeluarkan dekapan nervousnya. Ia sadar jika ucapan Namjoon benar seribu persen. Maka Ia melirik kedua orang taunya, meminta keyakinan, di mana orang tuanya tersenyum lebar dan mengangguk.
Mata Narae bertemu kembali dengan mata Namjoon, lelaki itu mencari kebohongan di mata Namjoon yang sedikitpun tak ditemukannya. Maka Ia mengangguk di menit selanjutnya.
Pasangan itu berpelukan setelah Namjoon selesai memasangkan cincinnya. Mereka berpelukan melepaskan ketegangan yang dirasakan masing-masing.
Hingga Papa Narae berdeham, tak suka.
Narae mendorong Namjoon melepaskan pelukannya, namun tetap menjaga Namjoon ada di lingkaran tangannya. “Ya ampun, Pa. Kami sudah dewasa, bahkan tinggal bersama. Kenapa pelukan saja tidak boleh, sih? Masih untung aku tak menciumnya di depan kalian.”
-END-