Kisah kasih tak sampai seorang gadis Jepang pada Mbah Kakung ini terjadi saat usia mereka masih muda dan Mbah Kakung menjadi anggota tentara PETA di jaman penjajahan Jepang. Tidak terungkap bagaimana awalnya dua insan berbeda etnis ini terlibat kisah cinta romantis hingga maut memisahkan mereka. Hanya boneka gadis Jepang berkimono tahun 40-an yang masih disimpan Mbah Kakung menjadi saksi bisu kisah mereka.
Waktu itu sepeda onthel Mbah Kakung selalu setia menemani ke mana mereka berdua pergi. Dan mereka sering bertemu di bawah pohon besar yang berada di sebuah padang ilalang jauh dari tempat tinggal mereka. Gadis Jepang terlihat duduk di belakang sepeda onthel Mbah Kakung muda. Tak terbayangkan betapa bahagianya mereka bersepeda mengelilingi padang ilalang tersebut. Tetapi mereka tidak menyangka kalau pertemuan saat itu akan menjadi kebahagiaan dan pertemuan terakhir bagi mereka.
"Aku akan pergi meninggalkan kota ini ..." kata gadis Jepang sambil menyandarkan kepalanya ke punggung Mbah Kakung muda.
Dia terdiam mendengar perkataan itu. Sementara gadis Jepang melingkarkan tangannya memeluk erat pinggang Mbah Kakung muda. Mbah Kakung muda masih mengayuh sepedanya berkeliling membelah rumput di padang ilalang. Semilir angin yang menerpa wajah dan rambutnya menerbangkan angannya bersama gadis yang sangat dicintainya itu.
"Apa yang harus aku lakukan ...?" tanya Mbah Kakung muda menghentikan sepedanya.
"Tidak ada," jawab sang gadis.
Hening ... hanya terdengar suara gesekan batang-batang ilalang yang tertiup angin. Mereka turun dari sepedanya dan gadis Jepang berlari ke tengah padang ilalang. Mbah Kakung muda mengikuti di belakangnya. Mereka berdua berdiri berdampingan bergandengan tangan sambil menatap langit biru. Pandangan mata mereka menerawang jauh menembus awan.
"Ini yang bisa kuberikan padamu," kata gadis Jepang sambil menyodorkan sebuah boneka. Boneka itu berwujud seorang gadis Jepang berkimono.
"Aku mencintaimu ...." kata Mbah Kakung muda menerima boneka itu.
Gadis Jepang hanya terdiam. Tidak pernah terucap kata cinta darinya hingga maut memisahkan mereka. Hanya tatapan matanya yang menyiratkan rasa cinta yang begitu dalam pada Mbah Kakung muda.
Selepas pertemuan itu gadis Jepang pergi bersama keluarganya ke kota lain untuk menghindari suasana genting di kota kelahiran Mbah Kakung. Karena para pejuang pribumi di sana telah melakukan perlawanan pada tentara Jepang. Dia pergi untuk selama-lamanya ketika sebutir peluru menembus dada dan jantungnya.
Dia mati tertembak!!!
Mbah Kakung muda tidak mengetahui peristiwa itu dan masih mengharapkan cinta dari gadis Jepang tersebut. Karena hingga saat pertemuan terakhir itu tidak pernah terucap kata perpisahan diantara mereka. Gadis Jepang pergi membawa cintanya yang terkubur begitu dalam di hatinya.
Semenjak itu gadis Jepang selalu mengikuti ke mana pun Mbah Kakung muda pergi. Arwahnya tinggal di dalam boneka yang dibawa Mbah Kakung. Dia merasa nyaman di situ karena selalu dekat dan dapat menjaga Mbah Kakung hingga akhir hayatnya.
Semasa hidup Mbah Kakung boneka gadis Jepang berkimono tersimpan rapi di kotak kaca dalam lemari. Sepeninggalnya boneka itu terlantar keberadaannya. Karena keluarga yang ditinggal tidak bisa merawatnya dengan baik. Boneka itu selalu memunculkan hal-hal mistis di rumah keluarga Mbah Kakung.
Boneka itu sering berpindah tempat sendiri seolah-olah mengingatkan pada anggota keluarga Mbah Kakung untuk memperhatikan dan merawatnya seperti keluarga sendiri. Terpancar aura kesedihan dari boneka itu dan arwah sang gadis Jepang sering terlihat menangis di dalam kamar Mbah Kakung. Dia selalu mengikuti Wawan, salah satu cucu Mbah Kakung dan dia ingin dirawat olehnya.
"Rawat diriku ... dan bawa aku ke mana pun engkau pergi." Kata-kata itu sering terdengar di telinga Wawan diikuti desah nafas berat di belakang kepalanya.
Tetapi sang cucu tidak tahu bagaimana cara merawat boneka itu seperti apa yang telah dilakukan oleh Mbah Kakung dulu. Ketika keluarga anak cucu Mbah Kakung memutuskan untuk pindah ke kota lain boneka itu pun di bawa oleh Wawan. Tetapi tetap saja arwah sang gadis Jepang merasa tidak nyaman dan masih sering membuat kegaduhan.
Di tempat barunya, sang paman menyarankan untuk meletakkan boneka itu di dalam almari yang tertutup pintunya. Tidak ada lagi yang dapat melihat senyumannya. Arwah sang gadis Jepang merasa terbelenggu sehingga aura sedih dari boneka itu berubah menjadi aura kebencian.
Suatu ketika boneka itu memberontak dan menimbulkan suara gaduh di dalam almari. Pintu almari terbuka dengan keras diikuti dengan suara kaca pecah. Boneka itu terlempar keluar sendiri dan kotak kacanya pecah berkeping-keping. Sang paman terkejut mendengar kegaduhan itu.
"Pasti boneka itu membuat ulah lagi. Kini Mbah Kakung telah tiada. Sebaiknya aku buang saja boneka itu," katanya dalam hati.
Dia menuju ke almari dan berniat untuk mengambil bonekanya. Tetapi boneka itu tidak ada lagi di tempatnya.
"Ke mana boneka itu? Dia menghilang?"
Sang paman berusaha mencarinya tetapi tetap tidak bisa menemukannya. Dia hanya melihat pecahan kaca yang berserakan menuju kolong sempit di bawah kursi tamu.
"Mungkin boneka itu ada di bawah sana," kata paman sambil menjulurkan tangannya ke kolong tersebut.
"Benar dugaanku. Dia ada di sini. Tapi kenapa boneka ini bisa masuk ke kolong sempit seperti ini?"
Sang paman berhasil meraih dan menggenggam kepala boneka itu dan segera menariknya keluar. Tetapi boneka itu hanya bisa ditarik keluar sebatas kepalanya saja. Terjadi tarik menarik diantara keduanya. Tiba-tiba sang paman berteriak dan melepaskan genggaman tangannya.
"Sialan!!! Boneka itu menggigitku," katanya sambil memperhatikan luka di tangannya.
Sesaat kemudian sang paman melihat boneka gadis Jepang itu melayang keluar sendiri dari kolong kursi dan berdiri di lantai di depannya. Ekspresi wajah boneka itu menampakkan aura kemarahan. Wajahnya berubah menjadi bengis dengan mata sedikit melotot dan mulutnya terbuka. Seketika merinding sekujur tubuh sang paman. Angin dingin berhembus dari arah boneka itu dan tiba-tiba boneka itu melayang mengejar sang paman. Dia benar-benar terkejut dan berusaha menghindari kejaran boneka itu.
Wawan yang sejak tadi mendengar keributan itu segera menuju ke ruang tamu. Dia melihat pamannya berlari ke arah pintu.
"Ada apa, Paman?"
"Tolong!!! Boneka itu ... dia tadi menggigit dan mengejarku!" teriak paman sambil terus berlari keluar rumah.
"Apa yang terjadi dengan Paman? Dan boneka itu ... kenapa melayang-layang sendiri?" tanya Wawan setengah berbisik.
"Pamanmu hendak membuangku. Tidak boleh ... tidak boleh ...." terdengar suara pelan tapi berat dari boneka itu.
Muncul bayangan gadis Jepang berkimono memegang boneka itu dari belakang. Dia tampak marah.
"Aku akan mengejarnya ...."
Arwah gadis Jepang terlihat menyeringai dan tertawa melengking seram sekali. Boneka itu kembali melayang di udara bersiap mengejar sang paman.
"Jangan! Demi Mbah Kakung ... dia anak Mbah Kakung!" teriak Wawan mencoba menghalangi boneka itu.
Boneka itu berhenti tepat di depan Wawan. Ekspresi wajahnya menyeramkan menandakan kemarahannya.
"Aku akan balas ... aku akan balas ...." kata boneka itu diiringi tawa panjang melengking menusuk telinga.
Tiba-tiba terdengar suara benda bertabrakan di luar rumah. Wawan menoleh keluar.
"Ya, Tuhan! Paman tertabrak motor ...!"
Sesaat kemudian boneka gadis Jepang jatuh ke lantai di depan kaki Wawan. Tawa panjang melengking semakin lama semakin menghilang. Wawan segera menolong pamannya yang tergeletak di jalan beraspal. Terlihat darah mengalir dari ke dua lubang hidungnya. Bersama salah seorang tetangga dekat Wawan membawa pamannya ke rumah sakit. Sang paman menderita gegar otak dan cidera patah tulang kaki.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Wan?"
Wawan kemudian menceritakan kejadian itu.
"Sepertinya boneka itu menyimpan suatu misteri. Mbah Kakungmu tidak pernah bercerita tentang asal mula boneka itu?" tanya tetangganya.
"Beliau cuma bercerita kalau boneka itu pemberian seorang gadis Jepang pada masa mudanya dulu."
"Aku penasaran dengan boneka itu. Boleh aku melihatnya? Mungkin aku bisa sedikit membantu agar tidak jatuh korban selanjutnya."
Wawan mengajak tetangganya ke rumah. Mereka mendapati boneka itu sudah berdiri di dalam almari kaca di ruang tamu. Boneka itu seperti menyambut kedatangan mereka dan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Kemudian boneka itu dipertemukan dengan tetangga Wawan yang seorang indigo. Dia berhasil menyingkap tabir kesedihan dan kisah cinta romantisnya. Arwah gadis Jepang itu meminta bonekanya dikembalikan ke tempat dahulu ketika dia sering bertemu dengan Mbah Kakung ... di kota kelahiran Mbah Kakung di bawah pohon besar di sebuah padang ilalang. Sebagai simbol bahwa dia sangat mencintai Mbah Kakung. Dia ingin terbebas dan akan menemui Mbah Kakung untuk menyelesaikan urusannya.
Wawan segera pulang kembali ke kota kelahiran Mbah Kakung dengan membawa boneka itu. Dia kebingungan ke mana harus mencari tempat itu. Tetapi seperti ada yang menuntun langkahnya, Wawan berjalan pulang kembali ke rumahnya dahulu. Rumah itu telah dikontrakkan. Dengan membawa boneka di dalam tas ranselnya, dia menuju gudang di belakang rumah. Ketika dia tiba di depan pintu gudang tiba-tiba tiupan angin dingin menerpa belakang tubuhnya. Dan tanpa sadar tangannya bergerak sendiri mendorong pintu gudang yang tidak pernah terkunci. Gudang itu benar-benar sudah tidak terawat. Debu tebal dan banyak terdapat sarang laba-laba. Cahaya matahari masuk melalui sebuah genting kaca kecil yang sudah buram. Sejenak dia tersadar.
"Untuk apa aku menuju gudang tua ini?" katanya dalam hati.
"Sepeda itu ...." Terdengar bisikan suara lembut tapi berat di telinganya.
Berulang kali bisikan itu terdengar di telinganya. Seolah-olah memberikan sugesti padanya untuk mengambil sepeda tua milik Mbah Kakung. Dia tak kuasa menahan kakinya yang tiba-tiba melangkah masuk ke dalam gudang dan mengambil sepeda tua itu.
"Aku ... aku tidak bisa mengendalikan tubuhku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah arwah gadis Jepang itu yang melakukan semua ini?"
"Bawa aku ke tempat itu." Kembali terdengar suara itu berbisik di telinganya.
"Aku tidak tahu tempatnya," kata Wawan. Tetapi dia seperti tersugesti kembali dan segera menaiki sepeda tua Mbah Kakung. Pelan-pelan dia mengayuh sepeda itu.
"Ke mana aku akan mencari tempat itu? Kakiku ... seperti tidak mau berhenti mengayuh sepeda ini."
"Aku akan menuntunmu," bisik suara itu.
Tiba-tiba dia merasakan sesuatu menduduki belakang sepedanya dan kakinya terasa agak berat untuk mengayuhnya. Dia juga merasakan ada sesuatu yang memegang pinggangnya. Arwah gadis Jepang itu ....
Matahari telah condong ke barat ketika Wawan bersepeda menuju sebuah padang ilalang di pinggir kota. Sepanjang perjalanan banyak pasang mata melihat dia dengan sepeda tuanya dan penampakan seorang gadis Jepang duduk membonceng di belakangnya. Wawan tiba di tempat seperti yang diinginkan oleh arwah gadis Jepang itu. Semilir angin berhembus pelan dan langit merah di ufuk barat telah menampakkan warnanya. Daun-daun berjatuhan dan udara dingin menyelimuti tempat di sekitar pohon tua besar di tepi padang ilalang tersebut. Dia segera menggali tanah dan menyelesaikan pekerjaannya.
Akhirnya boneka gadis Jepang berkimono itu dikembalikan dan dikubur sedalam dua meter di bawah pohon besar di sana tanpa seorang pun yang mengetahuinya ....