Sore itu cuaca mendung. Langit pelan-pelan tertutup awan kelabu di ikuti angin yang membawa bau hujan. Aku pikir sebelum hujan turun dan jalanan utama di depan banjir, aku mau beli makan malam. Yang kepikiran saat itu bakso. Aku mengirim pesan ke mang bakso langganan.
Mang bakso balas, posisi saat itu di blok 17, dia ga akan ke blok tempat tinggal ku, karena dagangan mau habis dan bakalan mangkal di sana. Aku berencana ke sana.
Blok 17 berjarak tiga blok dari tempat tinggal ku. Aku tau blok itu karena ada Taman Kanak-kanak. Suasana blok tempat tinggal ku lumayan rame dengan aktivitas anak kecil yang bermain dan ibu-ibu yang berkumpul (baca: gosip).
TK itu kosong karena sudah sore dan tidak ada murid. Bangunan TK ini lumayan tua dan menyeramkan dan tanpa cahaya, bangunan itu cukup menakutkan. Aku masuk ke gang di sebelah gedung TK. Setelah bangunan TK ada perempatan dan di salah satu perempatan aku liat gerobak mang bakso langganan.
Mang bakso bikin pesanan aku. Aku minta mie dan kuah bakso di pisah, karena mau mampir warung dulu dan aku ga mau mie nya ngembang. Saat pesanan aku di buat, ada pengendara motor yang nanya alamat.
"Mang numpang nanya, rusun sebelah mana ya?"
"Masi jauh mas, lurus aja dari sini nanti keluar dari blok ini ambil kiri ntar lurus lagi. Keliatan kok bangunan nya" mang bakso menunjuk arah sebelah kiri persimpangan.
"Blok 22 di deket rusun ya?"
"Blok 22 ga ada mas, cek lagi alamat nya"
Pengendara motor itu mengecek smartphone nya. "Oh ia blok 20 mang, maaf salah"
"Kalo blok 20 memang deket rusun mas"
Pengendara motor itu berterima kasih lalu pergi. Hujan mulai turun. Aku membuka payung.
"Aku baru tau mang blok 22 ga ada. Bukan nya deket pasar itu blok 23 mang?" Tanyaku
"Blok 19,21,22 ga ada neng"
"Kok bisa ga ada ya mang?"
"Kurang tau saya neng"
Saat itu aku ga kepikiran yang aneh-aneh. Aku pikir mungkin saja lahan blok yang mau di bangun itu terpakai untuk hal lain tapi blok selanjut nya sudah terlanjur di bangun. Jadi dari pada ganti nomor blok, lebih baik pakai nomor yang sudah ada.
Pesanan selesai, aku pulang dan hujan semakin lebat. Aku buru-buru ke arah TK lagi dan tiba-tiba petir menyambar. Kilatan itu mengejutkan aku, aku berhenti dan menutup mata, dan saat gemuruh menggelegar mengguncang tanah dan kaca bangunan sekitar aku terdiam dan dalam hati menyebut nama tuhan. Saat gemuruh berhenti aku membuka mata, aku mulai jalan lagi, sesuai dugaan hujan sudah membuat jalan di depan TK banjir, mirip sungai.
Aku menghela napas. Untuk sampai ke blok rumahku, aku harus nyebrang dan nyebrang saat jalan banjir itu berbahaya karena arus nya lumayan deras. Sendal ku pernah hanyut saat maksa nyebrang di jalan yang banjir.
Aku memutuskan ambil jalan memutar saja. Kalo keluar dari blok ini seperti kata mang bakso tadi, aku bakal muncul di jalan utama yang lebih tinggi di sana kemungkinan belum terlalu banjir.
Aku buru-buru jalan tapi semakin lama aku makin heran, kenapa bangunan di blok ini masih bangunan asli dan baru. Aku menengok kebelakang, aku pikir bakal melihat gerobak bakso. Tapi di persimpangan dekat gedung TK, gerobak bakso ga ada. Apa mang bakso udah pergi?
Blok-blok perumahan tempat aku tinggal Sudah lama di bangun, sekitar tahun 1990 an. Rata-rata penghuni blok-blok perumahan ini sudah merenovasi rumah mereka. Ada yang ditingkat ada yang di perluas dan lain-lain. Hanya satu dua rumah yang tidak melakukan renovasi. Dan biasa nya beda banget rumah asli dan rumah yang sudah di renovasi.
Rumah asli blok perumahan ini kecil, hanya bertingkat satu, dan bentuknya biasa memanjang. Rumah asli hanya memiliki teras kecil yang tidak ada tempat untuk parkir mobil. Biasa nya rumah asli terkesan tua dan kusam karena bangunan yang termakan cuaca.
Tapi di blok ini, rumah asli masih baru dan jejeran rumah di sini rumah asli semua. Ga ada tanda kehidupan, ga ada pernak pernik di teras rumah, di sini kosong dan sepi. Aku mulai deg-degan, perasaan ga enak dan rasa dingin menjalar dari tengkuk menuruni tulang punggung.
Aku mencoba mencari petunjuk melihat nomor rumah dan blok. Tapi rumah-rumah ini tidak memiliki itu. Apa ada pembangunan ulang?
"Neng ayo mampir dulu hujan nya deras loh, berteduh dulu"
Aku kaget karena tiba-tiba di sapa. Ibu ini sekitar umur 30an memakai daster dan menggendong anak kecil. Anak perempuan ini memeluk boneka kain
"Lagi liat apa neng? Cari alamat?"
"Uhh.. ga bu"
"Ayo mampir neng, baju nya ntar basah"
Aku ragu, hujan makin lebat dan untuk melihat ke arah depan susah dan aku rasa jalanan pasti banjir.
"Permisi ya bu, maaf ganggu" aku membuka pagar setinggi pinggang dan masuk ke teras. Pagar rumah asli setinggi pinggang dan hanya bisa di lewati satu orang dengan tembok setinggi pinggang di sebelah kanan dan kiri pagar.
"Ayo masuk neng dingin kan, taro aja payung di luar"
Aku semakin ragu, orang-orang blok perumahan ini memang ramah tapi kalo terlalu ramah malah mencurigakan. Hujan angin mulai menyerang, teras kecil ini ga cukup melindungi aku dari hujan.
"Aduh maaf ganggu bu permisi ya" aku melepas sendal dan masuk ke dalam rumah.
Rumah ini benar-benar rumah asli. Saat masuk ke dalam rumah di sambut ruang tamu kecil, di depan ruang tamu ada kamar. Ada lorong kecil dan pintu yang di tutupin gordeng, aku tau di balik sana pasti ada 2 kamar lagi di bagian kiri di ikuti dapur dan di sebelah kanan ada ruang makan dan dapur serta tempat cuci baju dengan pompa tangan. Aku bisa tau karena beberapa taun lalu aku pernah ngontrak di blok lain dan menempati rumah asli.
Tapi rumah asli ini bener-beber baru dan bagus, dinding-dinding nya cerah dan tanpa hiasan, aku masih bisa mencium bau cat. Ga ada kalender atau foto di dinding.
"Duduk dulu neng, mau teh anget?"
"Ga usah repot-repot bu" aku menolak
"Saya tadi baru selesai masak, mau makan neng? Saya mau suapin anak"
"Aduh ga usah bu, saya baru beli bakso, ntar ga kemakan" aku angkat kresek hitam berisi bakso.
"Saya tinggal sebentar ya neng"
Ibu itu kedalam, saat gorden itu di buka aku bisa liat tv tabung dengan sekrup putar. Aku mengernyit, itu pajangan apa tv beneran?
Aku kenalan dengan anak kecil tadi, dia kenalin boneka nya yang bernama ayu. Ayu bilang dia ga suka hujan. Ibu itu muncul lagi, memegang piring yang terbuat dari seng dengan motif ala tentara, beserta gelas sewarna dengan tutup.
"Neng dari blok mana?" Ibu itu menyuapi anak nya, aku ngiler liat lauk nya sedap banget.
"Blok 14 bu, ini blok berapa ya bu? Rumah nya bagus-bagus, baru renovasi ya bu?"
"Ahh bisa aja si eneng, saya baru pindah ke blok ini. Baru saya yang isi blok ini. Masi sepi neng di sini, kenalan saya di blok 17 sana deket TK"
"Oh gitu bu, bangunan baru semua ya" berarti bener ada pembangunan ulang pikirku.
"Di blok 17 sana juga baru dua orang yang isi. Pada ga mau neng tinggal di sini. Tempat jin buang anak kalo kata orang mah saking sepi nya"
Okeee aku mulai takut. Di blok 17 tadi jelas-jelas terisi penuh. Sepanjang blok jelas tanda-tanda kehidupan, setiap teras ada saja pernak pernik. ga kayak blok ini yang sepi dan kosong.
Dan soal daerah sini sepi, ga mungkin. Karena di bawah sana ada universitas swasta, dan deket jalur tol. Di bagian atas ada dua politeknik. Jadi ga sepi-sepi amat. Dan ga mungkin disebut tempat jin buang anak. Oke, 40 tahun lalu mungkin sebutan itu tepat.
"Bu saya pamit ya, hujan udah reda"
"Di sini aja dulu neng. Makan dulu" ibu itu mencengkram tangan kanan aku "temenin anak saya dan saya, sepi disini neng. Blok neng juga masi sepi kan?"cengkraman tangan ibu itu makin kencang
Aku menyentak tangan, aku lihat anak kecil itu menunduk dan murung. Aku buru-buru berdiri.
"Ntar saya mampir lagi bu, saya bawa mainan buat teman ayu. Dah ayu ntar kita ketemu lagi ya"
"Janji ya teh, aku sedih disini"air mata turun dipipi gadis kecil itu
"Ia teteh janji, bu saya pamit ya"
Ibu itu diam saja dan menunduk aku buru-buru keluar. Lagi-lagi insting aku bilang harus keluar dari sini sebelum hujan berhenti. Aku keluar pagar, belok kanan dan lurus terus, aku harus terus jalan lurus sampai ketemu gerbang utama blok ini.
Rasa takut membuat air mata muncul. Aku merintih memanggil ibu. Aku takut.
Biasa nya tiap blok ada 13 rumah saling berhadapan lalu ada persimpangan dan ada susunan rumah lagi hingga diakhiri gerbang melengkung penanda tiap blok. Tapi dari tadi aku ga ketemu gerbang itu. Rasanya aku udah jalan lama tapi masih ga keluar dari blok ini. setiap 13 rumah aku ketemu persimpangan yang mengarah ke blok lain. Lagi-lagi insting menyuruh aku terus berjalan lurus jangan belok. Terus lurus.
Aku melihat gerbang penanda itu, aku lari lebih kencang ke arah sana. Hujan mulai rintik kecil, saat aku melewati gerbang, ujan berhenti. Aku terdiam.
Aku ada di pinggir jalan. Aku menoleh kebelakang dan aku berdiri di gerbang kuburan. Sebelah kuburan ada sd. Aku tau lokasi ini. Ujung dari blok 23.
"Kok pakai payung neng? Ga hujan loh" tegur bapak yang biasa atur jalan di pertigaan ini. Dia tersnyum seolah paham.
Aku menoleh ke sekeliling. Jalanan kering sama sekali ga hujan. Tapi payung aku masi basah dan menetes air hujan. Aku menatap langit, masi mendung tapi belum hujan
"Makanan nya buang aja neng" saran bapak itu, sepertinya bukan kali pertama bapak itu melihat orang tiba-tiba muncul dari kuburan.
Aku baru sadar ternyata badan aku menggigil. Aku menutup payung dan nyebrang. Aku membuang bakso tadi ke tempat sampah umum.
=====####=====
Dari info yang aku dapat, blok 19,21,22 udah di bangun tapi karena longsor bangunan nya amblas kedalam tanah. Tapi pas di gali, ga di temukan bangunan runtuh. Ketiga blok itu hilang. Kata orang pintar jangan bangun lagi lahan itu, biarkan saja tanpa bangunan.
Aku tau letak blok itu, dekat tanjakan. Daerah sekitar situ di jadikan taman di hiasi banyak pohon dan hiasan ala taman. Tanjakan itu juga terkenal. Saat tengah malam, mesin mobil sering mati dan tiba-tiba muncul nenek-nenek nyebrang. Sambil melayang.
Aku mengusap tangan, bekas cengkram ibu blok hilang itu. Cengkraman itu meninggalkan bekas berbentuk tangan yang menghitam. Agak terasa linu. Aku mengelus tengkuk. Sudah lewat seminggu. Aku merasa panas dingin dan suka melihat bayangan sekelebat. Tidur malam jadi ga nyenyak. Kadang seperti ada suara mengetuk di jendela. Seperti kerikil yang sengaja di lempar ke jendela.
Aku ke kampus, dateng pagi dan sengaja pulang malam. Aku ga mau sendiri di rumah. Kadang aku mendengar suara orang naik turun tangga. Padahal aku sendiri, ayah di luar kota. Ibu udah ga ada.
"Hoy mampus lu di tandain" Hendra menepuk bahu ku
"Apa an" aku kaget
"Noh tangan lu item gitu, janji apa lu. Cepet beresin"
Aku menyembunyikan bekas cengkraman itu dengan lengan kemeja. Perasaan aku ga enak. Aku memang ingin ke blok itu lagi. Beberapa kali aku udah coba ke sana lagi dan selalu gagal.
"Jangan lama-lama di sana, kalo hujan mulai berhenti cepet pergi" kata hendra
"Sok tau lu"
"Eh menyan, kalo lu bisa liat, banyak yang ngikutin lu sekarang. Maka nya perasaan lu ga enak. Balikin yang lu bawa"
"Becanda lu" aku merinding
"Mau gue sebutin atu-atu? Tempat yang lu datangin walau keliatan sepi itu alam mereka. Kalo di tawarin makanan jangan terima. Ingat mereka bukan pengganti ibu sama adek lu"
Aku diam. Hujan. Itu kunci nya.
=====####=====
Aku berdiri di dekat TK blok 17. Siang ini mendung dan sepertinya bakalan hujan deras. Aku membawa payung dan satu tas berisi mainan. Dulu ini milik adek ku.
Hujan mulai turun, aku membuka payung. Saat kilat bersinar aku menutup mata, dan saat gemuruh menggetarkan bangunan sekitar aku menyebut nama tuhan.
Saat aku membuka mata, dan berjalan ke arah persimpangan, aku menoleh ke kiri. Itu jejeran bangunan asli. Aku melangkah ke arah blok itu.
"Neng, ayo mampir, udah di tunggu loh"
=====Tamat=====