ABU ABU

ABU ABU

Tiyase

4

Hari telah berlalu, berganti menjadi minggu setelah tujuh hari lamanya. Minggu berlalu, berganti menjadi bulan setelah empat minggu lamanya. Berbulan-bulan aku menjalaninya, hidup dalam tanda tanya. Apa yang tengah terjadi?

Drap drap drap. Suara derap langkah kaki terdengar disegala penjuru, seakan-akan pasukan kuda kerajaan datang menyerang. Aku menoleh ke belakang. Beberapa orang berpakaian hitam tengah mengejarku, mereka masing-masing menutup wajahnya dengan topeng. Langkah kaki mereka melangkah dengan cepat dan lebar. Aku kembali menatap ke depan, jantungku berpacu lebih cepat.

“BERHENTI!!!” salah satu dari mereka berteriak kencang. Dari jarak yang hanya seratus meteran, teriakan itu bisa saja memecahkan gendang telingaku. Aku bahkan tidak bisa menutup telingaku untuk meredamnya. Tiba-tiba angin berhembus dengan cepat, melawan arah berlariku, membelai pipiku lembut. Untuk sejenak, aku dapat merasakan kedamaian. Aku menutup mataku, membayangkan sesuatu yang indah—melupakan fakta bahwa mungkin saja ini kesempatan terakhirku berkhayal.

Sudah sejak berbulan-bulan lalu aku diteror, mulai dari surat kaleng, menghancurkan bagian rumah, hingga membuntutiku secara terang-terangan. Aku tidak terlalu memperdulikannya. Dan inilah, puncak dari semua itu.

Brak! Aku terjungkal, mengaduh pelan. Kakiku tersandung sesuatu. Drap drap drap. Eh? Suara itu... aku menoleh ke belakang. Aku menelan ludah, jarak mereka hanya tinggal dua puluh lima meter di belakangku. Aku gelagapan, berusaha menghitung situasi. Segera, aku menyambar kotak di depanku. Aku beranjak berdiri dengan cepat, lantas pada detik berikutnya aku melempar kotak yang menyebabkan aku terjatuh itu.

Orang yang paling belakang terjatuh, terkena lemparan kotak olehku. Aku segera berbalik, lanjut berlari. Aku menyeka peluh di dahi. Setengah jam telah berlalu, keheningan malam semakin kuat, suasana semakin mencekam. Aku menggigit bibir bawah, berharap semua akan segera berakhir. Aku menatap langit. Bulan bersinar terang diatas sana, menggantikan tugas mentari dengan baik sekali. Bintang-gemintang ramai mengelilingi Dewi Malam, membentuk rasi yang indah.

Hosh hosh. Aku berhenti, mengatur napas. Kakiku sepertinya sudah sampai di tenaga terakhirnya, napasku juga sudah tidak beraturan. Aku menggeleng putus asa. Sepanjang berlari, aku mengharapkan adanya pertigaan atau perempatan. Namun nihil, aku hanya terus berada dijalan yang sama, seakan-akan aku hanya berputar didalan sebuah tepian lingkaran. Di sekelilingku hanya ada tembok, dan barang-barang tidak berguna di sepanjang gang yang sempit ini, membuat ruang berlariku menjadi tidak gesit. Drap drap drap. Aku membelalak, segera kembali melangkahkan kaki. Suara itu seperti benar-benar di belakangku. Aku tidak berani menoleh ke belakang, aku akan mengerahkan tenagaku sepenuhnya, aku harus selamat.

Brak! “Aw,” aku berteriak tertahan. Sebuah tangan kekar menekan bahuku ke tembok. Seakan tidak puas membantingku diantara tumbukan kayu, ia membenturkan kepalaku ke tembok. Aku tepat berada di tengah-tengah kayu yang telah terpotong oleh punggungku. Aku memejamkan mata, menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit yang mulai menjalar keseluruh tubuhku.

“Pandai sekali kau berkelit, HAH?!!” pria dihadapanku berteriak kencang. Punggungku rasanya kaku sekali, seperti barusaja di tusuk paku. Aku membuka mataku, rasa sakitnya sudah lebih mendingan. Aku mendongakkan wajah, menatap nanar wajah orang yang ada didepanku, sosok tinggi besar yang sering menguntitku, aku rasa, dialah yang membantingku. Siapakah orang ini? Nihil, aku benar-benar tidak bisa mengenalinya. Seluruh tubuh mereka tertutup, bahkan tangannya dilapisi sarung tangan.

“Memangnya kau pikir, kau siapa?” kepalaku dibenturkan ke tembok lagi. Aku meringis, masih berusaha mengatur napas. Degup jantungku benar-benar tidak beraturan, pusing mendera kepalaku dengan tiba-tiba. Aku menggerakkan badanku, memaksanya untuk bersandar di tembok dengan sempurna.

Pria dihadapanku perlahan berdiri, lantas melangkah mundur, ikut berbaris dengan yang lainnya membentuk setengah lingkaran. Apakah sudah selesai? Atau ada rencana lain? Aku mulai memikirkan berbagai kemungkinan yang ada. Dalam tempat yang lain, aku juga memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menangani ini.

Srek! Srek! Aku kembali mendongakkan kepala. Seseorang tiba-tiba menyeruak kerumunan, meminta untuk diberikan jalan. Ia melangkahkan kaki dengan pandangan menunduk, dan kini ia berdiri satu meter didepanku. Aku tetap menghadap kedepan, tidak ingin menggubris sosok di depanku.

“Selamat malam,” Aku membelalak, aku benar-benar merasa familiar dengan suara ini. Aku mendongakkan kepala. Orang itu masih menunduk, samar-samar aku bisa mengenali posturnya. Perlahan, ia mengangkat kepalanya. “Taeyeon.” Aku menutup mulutku dengan tangan. Tidak, apa-apaan ini? Dia, dia... bagaimana mungkin bisa dia? Aku menggelengkan kepala perlahan.

“Mengapa kau menggeleng?” ia tersenyum sinis. Aku memejamkan mata, setetes air mata jatuh mengenai pipiku. Benarkah yang aku lihat? Sejak sekolah dasar, aku sudah sering bermain dengannya, ia menjagaku seperti kakakku sendiri. Bahkan sampai aku kuliah pun, ia tetap menjaga dan mememaniku. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

“Aku melakukannya bukan karena ingin, tetapi aku harus.” Ia menatapku lekat-lekat, aura kesedihan terpancar jelas dari kedua matanya, aku bisa merasakannya. Sejak dulu, sosok dihadapanku ini selalu terlihat bahagia, sekali pun tidak pernah terlihat sedih, dan sepertinya, ia tidak pernah mengeluh atas semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Benarkah barusaja ia memancarkan aura kesedihan?

“Mengapa, Donghae?”

“Mengapa?” Donghae terdiam sejenak, telunjuknya ia ketuk-ketukan di dagunya. “Ah, karena aku ingin.” Donghae melangkahkan kakinya, berjalan mendekatiku. Ia memandangiku sejenak, lantas berjongkok di hadapanku. Wajah Donghae sangat dekat denganku, dan entah sejak kapan, ia menjadi sosok yang lebih rapi. Aku ingat, dulu ia selalu kemana-mana membawa celana latihan dan kaos oblong, kecuali jika ada suatu acara. Kini ia mengenakan setelan. Jas, celana bahan, kemeja putih serta dasi yang berwarna hitam.

Salah satu dari kelima orang bertopeng itu mendekati Donghae, ia membawa sesuatu di tangannya, sesuatu yang mengkilat—aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Aku mendongakkan  kepala, menelusuri langit malam. Kosong, lengang, aku tidak menemukan apa pun diatas sana. Bulan yang bersinar terang, serta bintang-bintang yang berhamburan mereka semua menghilang, menyisakan langit gelap yang sunyi. Aku merasa kosong, tidak ada penerangan yang memadai, ada sebuah lampu remang-remang dengan jarak seratus meter dari tempatku terduduk. Itu sungguh tidak cukup untuk dapat mengetahui apa yang tengah di pegang Donghae. Orang bertopeng itu kembali ke tempatnya, membiarkan Donghae menyelesaikan urusannya. Donghae menyentuh pipiku, aku melebarkan bola mata.

“Ah, kulitmu ternyata sangat halus, Taeyeon. Sayang sekali, sebentar lagi kau akan menangisi kepergian kulit halusmu ini.” Donghae meletakkan sesuatu di pipiku. Dingin. Pisau? Ini pisau? Donghae menggerakkan pisau dipipiku.

“Berhenti!” aku menoleh ke arah suara. Donghae menghentikan gerakkannya, aku mencoba bergeser ke samping. Cekat! Tanganku dicengkeram oleh Donghae, tidak jadi bergerak. Brak! Bruk! Dua orang bertopeng jatuh terpental.

“Kakak!” aku menatap lurus ke depan. Dibalik punggung Donghae, aku dapat melihat dengan jelas adikku berada disana. Ia terlihat ngos-ngosan, wajahnya memerah. Seorang pria bertopeng menyerangnya, adikku dengan cekatan menangkis dan menyerang balik. Dua orang bertopeng segera mengerubunginya, membantu temannya yang terjatuh. Adikku berusaha berkelit, ia menyerang kaki salah satu dari mereka, lantas memukul kepala yang lainnya. Adikku berlari, mencoba keluar dari kepungan mereka.

Brak! “Eunwoo!” adikku terjatuh. Pria bertopeng yang kakinya di serang adikku, berhasil menendang punggung adikku. Duak! Salah seorang pria bertopeng menendang punggung adikku yang masih terjatuh. “Uhuk uhuk!” Adikku terbatuk-batuk. Apa yang dilakukan mereka?

Aku melepaskan cengkeraman tangan Donghae, lantas dengan secepat kilat aku menendang bahunya hingga ia tersungkur. Aku beranjak berdiri, berlari mendekati adikku. Brak! Orang yang menginjak adikku tersungkur, aku menendangnya. Ia tidak bisa berkelit, terlalu fokus menyiksa Eunwoo

“Beraninya kau menyakiti adikku!” aku menatap orang yang berdiri dekat adikku. Duak! Brak! Aku menendang kakinya ke dalam, lantas detik berikutnya aku menyikut kepalanya kebawah. Aku mendekati Eunwoo. Membantunya duduk.

“Kakak, kau baik-baik saja?” aku tersenyum. Adikku ini, bukankah ia yang barusaja terkena bahaya, mengapa ia yang bertanya padaku? Eunwoo ikut tersenyum, aku menepuk-nepuk dadanya, kotor karena tersungkur. Perlahan, aku membantunya berdiri.

Brak! Aku terjatuh, sebuah sepatu yang bertuan dengan tenaga besar mengenai kepala bagian belakangku. Aku mengangkat kepala, mengusap bagian bawah hidung dengan tangan kanan. Darah?

“Arg!” aku menoleh ke asal suara. Aku segera beranjak berdiri, Eunwoo diserang bertubi-tubi di seberang sana, tidak sempat mengelak. Sebuah tinjuan datang dengan cepat kepadaku saat aku tengah melihat Eunwoo, aku masih sempat menghindar berkelit ke kanan, lantas balas memukul menghamtam dadanya. Orang itu terjatuh. Aku terdiam ditempat, mengatur napas agar lebih stabil.

Seseorang datang lagi kepadaku. Aku lompat menghindar ketika ia mencoba menebas kakiku, masih dalam posisi diudara aku menendang punggungnya, tidak terjatuh, orang didepanku hanya terdorong ke depan. Bukankah tadi hanya ada lima orang? Kenapa aku merasa melawan sepuluh orang sendirian? Belum sempat aku memesang kuda-kuda mantap, orang itu balas menyerangku. Satu tinju menghamtam perutku, menyusul bahuku terkena pukulan kedua. Tidak diberi kesempatan merasakan rasa sakit yang aku terima, aku segera diringkus oleh yang lain. Kedua tanganku dibawa kebelakang, lantas di cengkeram erat.

Napasku memburu, mataku menatap tajam orang yang memukulku—ia masih berada didepanku. Keringat deras mengucur di pelipis dan leher. Bajuku basah kuyup. Tubuhku dipenuhi banyak memar. Aku mencoba melepaskan cengkeraman tangan yang mengikatku, tidak bisa, orang dibelakangku kuat sekali. Aku sudah tidak tahu bagaimana nasib Eunwoo, tapi aku mendengar suara orang dipukuli di belakangku. Semoga Eunwoo baik-baik saja.

“Wah, wah, wah.” Sebuah tepuk tangan menggelegar di sepanjang gang. Donghae muncul di depanku, menggantikan tugas pria bertopeng. “Sejak kapan kau sekuat ini, Taeyeon?” Donghae merendahkan badannya, ia menyamakan postur tubuhnya dengan posisi tubuhku. Posisiku saat ini dengan punggung yang menunduk, membuatku lebih pendek daripada yang sebenarnya. Donghae menatap mataku datar, aku balas menatapnya penuh amarah.

“Maafkan aku atas sikap teman-temanku, mereka tidak berniat melakukannya.” Aku benar-benar merasa kecewa dengan Donghae, rasa hormatku selama dua puluh tahun telah lenyap begitu saja. Aku sebenarnya tidak marah, pengkhiatan seperti wajar saja terjadii. Tapi sungguh, setidaknya biarkan aku mengetahui alasannya.

“Dan tentang Eunwoo, dia baik-baik saja.” Apanya yang baik-baik saja, sejak tadi ia telah menerima pukulan lebih banyak dari aku. “Lihat di belakangmu, ia masih mampu berdiri,” aku menatap Donghae tajam. Ingin sekali aku melompat memukulnya. Hanya karena ia berdiri, bukan berarti ia baik-baik saja. “Tapi dengan posisi yang sama sepertimu.” Donghae tertawa. Aku benar-benar marah menatapnya. Berani-beraninya ia menyerang Eunwoo-ku!

Dengan cekatan, aku melepaskan cengkeraman tangan yang mengunciku. Lantas berbalik, meninju dagu orang dibelakangku dengan sekuat tenaga. Ia tersungkur, topengnya pecah. Aku berbalik lagi, mencengkeram kerah Donghae. Aku menampar pipi Donghae berkali-kali.

“Apa yang kau lakukan?” aku menatap matanya tajam. Amarahku benar-benar sudah diambang batas, tetapi aku tidak bisa memukulnya—ini benar-benar membuatku kesal. Duak! Aku terdorong ke depan. Punggungku ditendang oleh seseorang. Belum sempat aku melepaskan serangan balik, tanganku disayat oleh pisau saat baru hendak berbalik. Darah segera berebutan keluar dari tubuhku, menggenang diatas tanah. Aku memegang lengan kananku, tidak dalam, aku pasti baik-baik saja.

Aku menghindar ketika sebuah pukulan dilayangkan lagi kepadaku. Aku benar-benar lelah, walaupun aku sempat belajar beladiri, aku tidak pernah terlibat langsung dalam perkelahian. Aku sebenarnya ingin menyerah, tapi bagaimana mungkin? Eunwoo disebelah sana membutuhkan bantuan. Aku harus menolongnya. Aku melakukan tendangan memutar yang mengenai pelipisnya, orang didepanku terjatuh.

Krek! Dari belakang, Donghae memeluk leherku dengan erat. Aku sempat terbatuk, lantas dapat menyesuaikan diri dengan cepat. “Sudahlah, Taeyeon. Kau sudah lelah, bukan?” aku menggeleng, masih siap bertarung. “Lihatlah tubuhmu! Memar dimana-mana, darah menyebar kemana-mana, debu bercampur keringat menjadi satu. Bahkan lengan bajumu sudah sobek-sobek.”

“Ayo kita akhiri ini!” Donghae berbisik ditelingaku. Aku menelan ludah, inikah akhirnya? Donghae melepaskan pelukan tangannya, aku segera menghirup napas dengan lebih baik. Kedua tanganku dibawa lagi kebelakang, dicengkeram erat dengan satu tangan.

Deg! Dingin. Sesuatu yang dingin menempel dileherku, ada cairan kental disana. Donghae memainkan benda itu dileherku, menggosok-gosokkannya—seakan sedang mengolesi roti dengan selai. Aku menelan ludah. Pisau?

“Bukan ibu.” Pergerakan pisau dileherku berhenti. Aku menatap lurus ke depan. Eunwoo sudah sadar! Aku mengucap syukur. Sejak tadi, Eunwoo menutup matanya, aku ingin segera membawanya kerumah sakit. Setidaknya ia masih dapat membuka matanya, membuatku merasa aman.

“Bukan ibu yang melakukannya!” Eunwoo berteriak. Aku tidak mengerti situasi seperti apa yang sedang terjadi, tapi aku tahu, adikku sedang tidak ingin diganggu. Eunwoo menatapku sendu, bertanya kabarku. Aku tersenyum, membiarkannya melanjutkan perkataannya.

“Dua belas tahun lalu, ibu memang berada disana, ia juga menyentuh senjata tunggal dalam kasus itu. Tapi, hyung, ada orang lain disana. Saat itu aku berada diluar, ikut mengantar ibu, aku melihat bayangan keluar dari halaman. Aku berkali-kali mengatakannya. Maafkan aku, hyung. Seharusnya aku menghentikannya.” Eunwoo menunduk, ia pasti menyesal. Aku sekarang mengerti apa yang telah terjadi. Donghae melepaskan pisau ditangannya, tangannya melemas. Aku tergugu, masih menunggu Eunwoo melanjutkan perkataannya.

“Kemarin, orang itu tertangkap.” Eunwoo kembali menatap Donghae. “Selama ini, dia bersembunyi di pelosok negeri. Dia adalah,” Eunwoo menelan ludah. “Ayahmu.” Donghae terduduk, seluruh tubuhnya pasti lemas, aku menghampirinya, menepuk-nepuk pundaknya. Eunwoo di bebaskan, ia berjalan tertatih-tatih mendekati kami.

“Maafkan aku, aku tidak tahu.” Kami masih berada disana untuk beberapa menit lagi. Orang-orang bertopeng itu segera meninggalkan kami setelah melepaskan Eunwoo. Tubuhku masih sama tidak berbentuknya, ini masih mending daripada Eunwoo, ia menerima banyak sekali pukulan. Sedangkan Donghae, walaupun ia segar bugar, hatinya merasakan sakit yang luar biasa. Setelah Donghae tenang, kami bertiga berjalan beriringan untuk menuju masa depan yang lebih baik lagi.

* **