Cerita Cinta (Cerpen)

Cerita Cinta (Cerpen)

LuluQy

0

Aku selalu memperhatikannya, sering sekali ia hanya duduk didepan jendela mengamati orang orang yang berlalu lalang tanpa melakukan apapun atau sibuk dengan laptop dan buku yang ia bawa. 

Pesanannya pun sama, latte panas bersama dengan muffin cokelat. Mungkin karena dirinya sering pergi ke caffe ini, aku jadi sering sekali mengamati dirinya. 

Kata orang jatuh itu berawal dari tatap dan terbiasa, sepertinya aku juga begitu. 

Lelaki itu tidak ganteng ganteng amat sebenarnya, tapi entah mengapa ada hawa berbeda setiap kali aku memperhatikannya. 

Gaya bicaranya yang terkesan dingin tapi runtut, raut wajahnya saat ia membaca atau mengetik didepan laptop, kacamata yang selalu bertengger dihidung yang sama “pesek”nya denganku hhmm tapi aku akui kalau hidungnya sedikit lebih maju dibanding dengan punyaku.   

Aku yang awalnya hanya mengamati dan penasaran mengapa ia begitu sering pergi kemari, menjadi tak karuan ketika melihat dirinya memesan dikasir dan berhadapan denganku. 

Selalu menunggu tat kala ia tak kunjung datang dihari itu, ingin masuk kerja padahal diri sedang libur. Selama ini aku tak sanggup jika harus bercakap dengannya dahulu. 

Merasa malu, mungkin. Aku barangkali masih berfikir jika perempuan dahulu yang berbicara pada lawan jenis tidak etis, masih kurang percaya diri dan fikiran aneh sering sekali menghantui.

Hari ini berbeda, aku akan meyakinkan diri bahwa aku bisa setidaknya berbicara dan mengetahui namanya. Baiklah, hari ini perang melawan ketakutan pertama akan dimulai. Aahh aku benar benar grogi. 

Menunggu dihari ini lebih membuat mual 1000 kali lipat dibanding hari biasanya, dihari biasanya aku hanya akan menunggu jika sudah datang dia akan memesan aku membuat dan memberi sudah itu saja. 

Namun hari ini tidak sama, keyakinan yang sudah aku putuskan jauh jauh hari tidak boleh sia sia. Kenapa aku lebay sekali ya ampun, padahal ini kan hanya berbincang sebentar tujuanku juga tidak muluk muluk hanya ingin tau namanya. Biar kayak orang orang, bisa menyebut dia disepertiga malam. 

“Kring” 

Akhirnya dia sampai. Okey jantung, bersahabatlah. Dirinya sudah sampai dihadapanku, belum apa apa jantungku sudah tidak bersahabat aish ingin aku kutuk kau wahai jantung. 

“Caramel latte short dan cokelat muffin seperti biasa” hanya perasaanku saja atau memang hari ini dia lebih ramah?

“Baik” aahh kenapa singkat sekali. Baik baik, setelah ini aku harus lebih berani.

“Semuanya jadi 70 ribu” lagi lagi, aduh…

Lelaki itu membuka dompet dan memberiku uang berwarna merah, aku mengambilnya dan memberi uang kembali berwarna hijau dan ungu. Setelahnya aku disibukkan dengan menyiapkan minuman dan makanan, tidak ada lagi kalimat basa basi yang aku gadang gadangkan jauh jauh hari. Aku mengutuk diri, kenapa aku kikuk sekali? Tidak bisakah aku bertegur sapa sekedarnya. Aiihhh.

Lelaki tak bernama itu kemudian duduk ditempat biasa. Kursi itu seperti sudah terlabeli dengan namanya, sehingga tidak pernah ia kehilangan kesempatan dan duduk dikursi lain. 

Selayaknya hari lain, ia membuka buku yang dibawa dan membacanya sesekali menyesap latte panas yang masih mengepul. Aku masih setia dengan pemandangan itu. Rasanya tak ingin melewatkan hal yang ia lakukan barang sedikit. 

Tiba tiba pandangan lelaki itu mengarah kepadaku, aku yang kaget langsung menghindar takut ketahuan jika aku sedang mengamatinya. Aku benar benar bodoh, bukankah jika aku menghindar itu berarti aku mengakui bahwa aku sedang mengamatinya. 

Aku mengembalikan pandangan k edepan setelah merutuki betapa bodohnya diri, dan ternyata dirinya masih mengarahkan pandangan kepadaku, sambil tersenyum. Ya Allah, indah sekali ciptaanMu. 

Baru kali ini aku melihat dirinya tersenyum, aahh begini kan gantengnya nambah berkali lipat. Aku membalas senyuman itu singkat, berusaha agar terlihat alami dan tidak terlihat salah tingkah. 

Pelanggan baru tiba tiba masuk, menghalangiku untuk terus menatapnya lebih lama. Setelah pelanggan itu selesai membuat pesanan dan membayar, tiba tiba bangku itu kosong.

Tidak seperti biasanya, kenapa hari ini dia cepat sekali perginya. Aku dengan spontan mencari, mengedarkan pandangan keseluruh penjuru caffe. 

Hasilnya nihil, aku tak menemukan orang yang aku cari. Yasudah, aku bereskan saja mejanya. Aku mendapati sebuah buku yang baru saja dibaca lelaki itu. “Seni Mencintai” itu judul buku yang sekarang aku pegang. Bisa jadi esok aku bisa bercakap lebih padanya dengan perantara buku ini. Semoga.   

Pertempuran kedua sudah dimulai, aku benar benar berharap semoga kali ini keberanian muncul padaku. 

Semalam aku tidak bisa tidur sama sekali, memikirkan kalimat apa yang akan aku ungkapkan jika ingin mengembalikan buku yang tak sengaja ia tinggal. 

Memikirkan kemungkinan terburuk seperti kemarin, tidak mampu mengatakan apa yang ingin ditanyakan. Jika itu terjadi aku bersumpah akan menyesal seumur hidup. 

Aku memilih baju yang lebih layak daripada hari biasanya, entah ingin saja. Mungkin agar terlihat lebih cantik dihadapannya. Aku heran rasa grogi yang kemarin aku rasakan semakin lama semakin memudar. 

Aahh sepertinya doaku didengar dan akhirnya diberi kekuatan lebih dari Sang Maha. Aku berdoa setidaknya aku bisa berbincang padanya sekali saja itu sudah cukup. 

Dan orang yang aku tunggu dari semalam datang juga. Dirinya menggunakan kaos hitam, dibalut dengan kemeja kotak kotak berwarna merah hitam, lengkap dengan celana jins, hal yang membuatku pangling, dan membuatku tidak bisa mengenalinya adalah, ia tidak menggunakan kacamata dan rambutnya dikucir. 

Allah, aku tarik kata kataku kalau dirinya tidak ganteng ganteng amat, ini bukan hanya ganteng saja tapi dilengkapi dengan manis. 

Aahh kan keinginan memiliki menjadi meningkat. Aku harus benar benar sadar, aku hanya akan bercakap sepatah kata dan tidak menjadi lebih. 

Dirinya sudah sampai didepanku memesan pesanan seperti biasa, aku yang sudah paham langsung memasukkan semua pesanannya.

Sebelum ia sempat membayar aku mengambil buku yang ada ditas yang aku bawa. 

“Sepertinya kemarin ada yang tertinggal” aku memberikan buku yang kemarin sempat ditinggal. 

Akhirnya, aku bisa mengatakan satu kalimat.

“Aaahh iya terimakasih, kayaknya bukan cuma buku yang tertinggal” lelaki itu berceloteh, tidak seperti perawakannya yang dingin, suara yang ia keluarkan sangat lembut. 

“Apa?” aku yang tak mengerti kembali bertanya

“Aaah tidak, boleh kita kenalan?” 

Apa? Dia mengajakku berkenalan? Aku tidak salah dengar kan? Baiklah, mari jangan berharap. Untungnya sekarang tidak banyak pelanggan yang datang, jadi aku bisa dengan leluasa bercakap dengannya.  

“Boleh, namaku Daisy. Namamu?” aku akui sekarang rasa percaya diriku sudah tumbuh. 

“Namaku Raka, kalau boleh aku ingin minta nomor hape kamu. Berkenan?” 

Jantung oh jantung, ayolah tenang sebentar. Aku masih ingin berbicara lama dengannya. Jangan sampai ia tau, kalau aku sedang berusaha keras mengontrol perasaan ini. 

“Boleh” aku akhirnya memberikan nomorku. 

Setelah ia memastikan nomorku dan memberi nomornya, ia pergi sambil mengarahkan hpnya kearahku. Seakan berkata nanti kita saling menghubungi yaa, meski itu hanya perasaanku saja semoga itu benar.

Pertemuan pertama yang membuatku tidak bisa tidur. Masih membayangkan wajahnya saat menatapku, menunggu balasan darinya adalah makanan sehari hariku saat ini. 

Aku tidak menyangka penantianku yang hanya ingin setidaknya bercakap sekali berubah menjadi makanan sehari hari.