Cerita-Cerita Makanan

Cerita-Cerita Makanan

bukuditeras

0

“Bagi seseorang, makanan adalah sekadar material untuk bertahan hidup. Bagi orang lainnya, makanan adalah seni. Bagi orang lainnya lagi, makanan menjadi penyambung ikatan sosial.”

Butuh lebih dari setengah hidupku hingga akhirnya aku sadar bahwa selalu ada cerita di balik setiap makanan. Apa pun.

Di mana pun. Cerita-cerita yang membuatku ketagihan untuk memburunya. Makanan ternyata ambasador yang paling jujur dari suatu masyarakat. Tempat kita bisa melihat karakteristik multiwarna manusianya serta perjalanan sejarahnya dari masa ke masa.

Sekitar lima tahun sebelum resesi 1998, aku pindah dari Kota Denpasar ke Desa Kedungombo di Kabupaten Nganjuk. Mengikuti ibuku yang memutuskan untuk memulai hidup baru, berpisah dari suami toksiknya. Di pagi pertama tinggal di Kedungombo, aku membuka pintu rumah nenekku, lalu duduk di kursi karet warna-warni yang berjajar di teras.

“Lho, kamu ngapain? Kok nggak siap-siap sekolah?” tanya ibuku.

“Nunggu tukang ikan lewat, pengin makan cumi-cumi, Bu.” Biasanya, nelayan yang baru pulang menangkap ikan akan lewat di depan rumahku di Lombok, dengan ikan-ikan segar yang memenuhi wadah anyaman bambu mereka. Kakap merah berpelukan di dalam wadah dengan cumi-cumi gendut, kepiting galak, udang elok besar-besar, dan tuna kecil berkulit mengilap. Di rumahku di Denpasar, setiap pagi ikan-ikan segar juga sudah bertumpukan di kios sayur dekat rumah.

Ibuku cuma tersenyum, sembari menyiram bunga yang baru ditanamnya kemarin sore. “Ini kan bukan Lombok, bukan Denpasar. Di sini jauh dari laut. Di pasar juga enggak ada yang jual ikan laut. Adanya ikan wader kecil-kecil, lele, sama udang sungai. Nanti Ibu beli buat digoreng untuk makan siang ya sepulang sekolah, mau?”

Aku patah hati seketika. Bagaimana aku bisa hidup tanpa makan ikan laut? Tanpa main ke pantai? Aku lupa bertanya fakta penting itu ke ibuku sebelum diajak pindah ke pedalaman Jawa Timur ini; yang jarak laut terdekatnya ketika itu sekitar lima jam perjalanan angkutan umum. Aku lupa ibuku punya lebih banyak hal untuk dikhawatirkan ketimbang mengecek apakah di desanya ada yang jual ikan laut atau tidak.

Otak kecilku saat itu tidak bisa mencerna, bagaimana orang bisa hidup tanpa makan ikan laut? Otak yang jaringan syarafnya semakin terasa ruwet ketika aku bertanya ke teman-teman sekolah baruku di MIN Kedungombo: “Kamu paling suka makan ikan laut apa? Lebih suka kepiting atau cumi-cumi?” Dan mereka cuma melongo lalu menjawab, “Iwak laut? Wader atau lele atau enggak ya mujair. Kepiting? Yuyu, ta? Cumi-cumi itu apa?”

Argh, kembalikan aku ke habitatku!

Tapi, ternyata ya aku hidup juga dengan sarapan nasi pecel setiap hari dan makan siang rujak cingur. Lama-lama aku baru sadar bahwa makanan adalah cerminan masyarakatnya. Aku kemudian menyadari kalau ternyata teman-teman sekolahku di Kedungombo jauh lebih serius bersekolah ketimbang teman-temanku di Lombok. Anak pulau banyak yang merasa pasrah untuk selamanya jadi anak pulau tanpa bermimpi luas. Sedangkan anak desa di pedalaman Jawa, berjibaku belajar agar bisa mencicip kehidupan kota. Makan bagi anak pulau adalah perayaan hasil melaut hari itu. Makan bagi anak desa di tanah Jawa adalah cara untuk tetap hidup.

Sejak itu, makanan di mataku berubah menjadi pembaca pesan sejarah seseorang atau suatu masyarakat. Sejak itu aku jadi keranjingan membaca segala jenis buku yang memuat tema makanan. Novel, komik, sejarah makanan, dan buku resep. Ritual membaca buku tentang makanan kulakukan sembari mendengarkan cerita tentang makanan di dapur para pemilik cerita.

Ada orang yang mengabadikan kenangan lewat catatan kecil, foto, lagu, film, konten di media sosial, atau sekadar lewat; segala cerita yang dibagikannya dari mulut ke mulut. Ia merasa, semakin banyak orang yang tahu tentang ceritanya, semakin abadi pula peninggalan prasasti dan nama pemilik kisah di dalam hatinya.

Aku mengabadikan kenangan lewat momen makan bersama. Jika seseorang begitu meresap dalam hatiku, aku pasti akan ingat momen ketika kami berbagi meja dan bersulang senyuman di sela hidangan dan minuman. Atau momen ketika aku memasak untuk entah siapa di dapur mana saja, di sela percakapan tentang mimpi dan masa depan yang seolah-olah akan dengan mudahnya tertangkap tangan. Aku lupa cinta punya masa kedaluwarsa. Entah oleh waktu, entah oleh kenyataan. Namun kenangan tentangnya akan terus tinggal dan menjadi daftar komposisi dalam buku resep yang tersimpan di perpustakaan pribadi dalam hatiku.

Aku memutuskan menulis buku ini karena mendapat banyak komentar dari para pembaca Dari Toko Buku ke Toko Buku bahwa mereka ingin lebih banyak lagi cerita-cerita tentang makanan. Jadi, ya sudahlah, sekalian aku mau mengabadikan memori-memori makanku dalam buku ini.

Buku ini adalah caraku mengabadikan cerita-cerita itu, yang kukumpulkan di sela-sela waktu ketika melancong ke sana-sini. Beberapa cerita berujung pada fakta-fakta sejarah yang tidak tersimpan di buku-buku mana pun. Beberapa membuatku jadi memahami perbedaan budaya yang ada di berbagai tempat. Sementara beberapa yang lain, jelas murni membuatku kelaparan dengan sukses.

Dan, mohon maafkan aku jika tidak semua foto makanan dan tempat makan aku tampilkan di sini. Kadang saking enaknya aku lupa memotret. Kadang aku juga bingung mau fokus menikmati suasana atau memotret. Lalu biasanya aku memilih yang pertama. Kalau aku sibuk memotret biasanya aku malah tidak bisa menikmati setiap hal di depan mataku dengan tenang dan sungguh-sungguh. Dan, karena aku cuma ingin memakai foto-foto koleksi pribadiku jadi aku akan memasukkan foto-foto yang aku punya saja. Tidak apalah ya, toh kalian akan lebih leluasa menggunakan imajinasi untuk membayangkan. Toh tidak harus sama persis dengan kejadian sebenarnya!

Jadi, satu-satunya yang harus kauwaspadai selama membaca catatan-catatanku adalah kau bisa jadi akan berakhir sibuk di dapur tengah malam, sekadar untuk membuat mi rebus pakai telur dan sawi atau membuat adonan keik jagung manis untuk teman minum teh pagi hari.

Apa pun itu, aku tidak bertanggung jawab!

Selamat kelaparan.

 

BUKUDITERAS, 29 Oktober 2022

Muthia Esfand