Merangkai kata mungkin mudah, menyampaikannya yang rumit luar biasa. Sajak yang indah bisa membuai, puisi yang mendayu bisa merasuki hati, tetapi tutur kata yang baik bisa membuat orang lain menganggapmu berbudi.
"Manusia tumbuh perlahan-lahan menjadi dewasa, namun sebelum itu ada masa remaja yang harus dilewati. Usia belasan ibarat penentu karena setiap individu sibuk mencari jati dirinya. Faktor lingkungan--terutama keluarga--sangatlah penting, maka dari itu jika ingin menilai seseorang, nilailah ucapan dan perbuatannya. Jika keduanya selaras, maka orang itu sudah pasti memiliki kejujuran."
Hening melingkupi, puluhan pasang mata tertuju pada sosok yang sedari tadi sibuk melontarkan kalimat mengenai perkembangan karakter. Satu sosok lainnya terlihat duduk tenang di meja, mengamati sambil sesekali menggoreskan pena pada buku yang berada dalam kuasanya.
"Cukup. Silakan duduk, Ferdi."
"Terima kasih, Bu Mira." Spidol diletakkan kembali, Ferdi--nama dari sosok yang tadi melakukan presentasi singkat--membungkuk sejenak sebagai tanda hormatnya pada sang pengajar.
Tok.
Tok.
Tok.
Tiga kali ketukan menginterupsi, Bu Mira berdiri untuk kemudian berjalan mengitari deret kursi. Murid-murid yang diajarnya kali ini adalah kelas dua belas jurusan IPA. "Ada yang mau mengungkapkan isi pikirannya lagi? Saya sangat menghargai jika ada yang ingin mengemukakan pendapat. Bimbingan konseling ini tidak akan membawa dampak positif bila kalian masih betah menahan diri untuk jadi bisu di kelas. Mengapa selalu Ferdi yang maju? Apa kalian tidak malu?"
Tiga menit tanpa respon, hanya ekspresi hambar yang terlihat dari nyaris seluruh siswa di dalam kelas. Bu Mira menghela napas, percuma juga memaksa anak didiknya bila mereka saja tidak memiliki keinginan untuk melakoninya. Setumpuk kertas pun dibagikan, tiap siswa mendapat dua lembar.
"Tulis apa yang kalian keluhkan dari sekolah, rumah, dan lingkungan. Jangan takut jika aku akan marah, itu sebagai wadah untuk kalian menuangkan isi pikiran. Kumpulkan minggu depan saat bimbingan konseling, terima kasih." Kalimat itu diucapkan Bu Mira dengan santai, setelah menyelesaikan pembagian--kakinya diayun pergi meninggalkan kelas.
Riuh merebak dengan cepat, suasana tertib yang tercipta seketika berubah menjadi berantakan. Tiap siswa mulai sibuk dengan kegiatan tak tertib: mengupil, mengacak-acak meja, melepas sepatu, tidur, menyantap cemilan, mengunyah permen karet, bahkan menghampiri kekasih yang berada di tempat duduk berbeda.
Di sudut kelas, tersingkir dari jarak pandang siswa. Sosok gadis berkacamata sibuk menatap ke arah meja di urutan kedua, tepat di baris sebelah kiri. Ferdi, lelaki itu menjadi pusat dari perhatiannya. Tidak ada niatan untuk mengalihkan pandang, figur yang menjadi titik fokusnya adalah objek terbaik bahkan bisa dikatakan sempurna. Tampan, cerdas, baik, dan sopan. Tipe idaman bagi gadis-gadis remaja yang mulai merasakan cinta dan mendamba kekasih setia.
"Everybody loves the things you do (Semua orang menyukai segala yang kau lakukan)."
-Adele : When We Where Young-
Sepenggal lirik itu dilontarkan Dinda, bibirnya merengut saat menyadari betapa berbeda dirinya dengan Ferdi.
Siapa yang tidak menyukai Ferdi? Setahu Dinda, semua siswa sekolah menyukai cowok itu. Selain karena memiliki kepribadian yang baik, Ferdi juga punya otak cemerlang. Tidak pernah ada sejarah nilai buruk, julukan siswa teladan yang sempurna telah melekat sejak lama.
"Dinda, jangan meneteskan air liur di sini!" Interupsi yang mengejutkan dari seorang siswi, Dinda--si gadis yang sedari tadi sibuk mengagumi Ferdi--segera meraih tisu dari saku, mengusap liur yang ternyata sudah mengalir di dagunya.
"Titip ini ya. Aku sibuk sekali dan harus les piano karena akan ada lomba. Jadi, Dinda ... buatkan tugasku ya~" Gina, begitulah yang tersemat pada bordilan nama di atas saku seragam. Gadis dengan rambut panjang bergelombang dan dandanan tebal yang sudah dikenal sebagai pemalas.
Lagi?
Dinda menghela napas panjang, teman-teman sekelas selalu saja datang saat membutuhkannya dan mencampakkan begitu saja jika telah mendapat apa yang diinginkan. "Maaf, aku harus les bahasa inggris. Nilaiku anjlok, jadi orangtuaku marah dan aku harus les sampai malam." Bukan alibi, sungguh. Dinda hanya ingin membuat Gina lebih mandiri akan tugas sekolah tanpa mengentayanginya.
"Jangan pelit, ayolah~ akan kuberi dua puluh ribu untuk bayarannya." Gina mengangsurkan selembar uang berwarna hijau yang tampak masih bagus tanpa lipatan berlebih.
Tawaran uang tentu membuat Dinda gusar, terlebih lagi saat rungunya mendengar nominal yang cukup untuk uang saku selama lima hari. Berasal dari keluarga miskin tentu membuatnya mencintai uang.
"Jangan menyuapku seperti itu. Aku sungguh sibuk, jadi maaf sekali karena tidak bisa membantu," kata Dinda sambil berusaha menatap arah lain agar Gina merasa terabaikan olehnya. Harga dirinya terlalu rendah bila langsung mengiyakan, jadi menolak adalah cara terbaik demi menjaga prinsip 'bukan kaum gampangan'.
"Baiklah, tiga puluh ribu. Ayolah~ Dinda, aku tidak meminta hasil yang sangat bagus, asalkan nanti bisa mencapai nilai rata-rata sudah cukup bagiku."
30? Dinda meneguk ludah, kacamatanya bahkan sampai turun ke ujung hidung. Beruntung mulutnya tidak menganga karena terkejut dengan tawaran harga setinggi itu.
"Baiklah, jangan merengek lagi. Taruh saja kertasmu di lokerku, nanti pulang sekolah akan kukerjakan." Tiada guna menghindar, Dinda langsung menumpukan kepalanya ke meja. Hari ini sangat berat, banyak sekali tugas yang harus diselesaikan di rumah. Para guru seolah berkomplot untuk menghujani muridnya dengan banyak tugas agar belajar lebih rajin.
"Terima kasih, Din. Kau memang terbaik, ini uangnya ya." Gina memekik girang, uang diserahkan kemudian kertas tugasnya segera dimasukkan ke dalam loker.
"Beginilah orang kaya hidup. Mereka bisa menjalankan kekuasaan dengan uang," gumam Dinda disela aktivitasnya memikirkan daftar jadwal harian selepas sekolah.
Tuk.
"Aduh, kepalaku!" Sesuatu menghantam kepala, Dinda melirik sekitar untuk mencari tahu siapa yang menjadi pelaku. Nihil, tiada satupun yang ada di sekitarnya. Semua siswa menyibukkan diri dengan kegiatan tak bermutu, fokus berpindah ke gumpalan kertas asing yang terongok di dekat lengannya.
"Apa ini? Penghapus yang dibungkus kertas, ck. Ini menyakitkan jika terkena kepala! Akan kuhajar pelakunya jika ketemu." Dinda mendumal tanpa ragu, suaranya bahkan tidak dilirihkan hingga terdengar oleh sebagian penghuni kelas.
'Aku baru tahu jika hargamu hanya Rp30.000,- Lain kali beri harga lebih tinggi agar kau tidak sengsara lagi.'
Membeliak, Dinda meremat kertas itu kuat-kuat setelah membaca apa yang tertulis. Tatapannya berubah menjadi bengis. "Akan ku hajar kau! Aku tidak takut. Yak! Dasar pengecut, mengakulah!" Berteriak di kelas adalah tindakan bodoh, tepat ketika Dinda berteriak--seorang guru masuk ke kelas.
"Dinda, diamlah atau keluar dari kelas sekarang!" Bentakan sang guru berhasil mengundang malu baginya, Dinda segera duduk kembali saat seluruh teman terbahak.
Dan sepanjang sisa jam sekolah, Dinda kehilangan fokusnya untuk menyerap materi. Pikirannya sudah dipenuhi dengan rancangan pembalasan bila suatu saat terkuak identitas 'pelaku' dari pelemparan kertas.