Semua orang memberikan tepuk tangan setelah mendengar nama pemenang untuk penulis naskah terbaik. Wanita itu tersenyum puas, mengangkat gaunnya tinggi, menunduk untuk memberikan penghormatan pada senioran, sebelum naik ke atas panggung. Dia menerima piala penghargaan yang ke delapan, untuk hasil karyanya yang difilmkan, belum lagi pala untuk prestasinya yang lain.
“Piala ini aku persembahkan untuk produser film sunyi yang sudah mau memberi aku kesempatan untuk menjadi penulis skenarionya. Tidak llupa, aku juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, untuk teman dan keluarga yang senantiasa selalu ada. Khususnya para reader yang menjadi penyemangat saat aku penat. Ini untuk kalian semua!” wanita bernnama lengkap Jurnalista Agatha itu mengangkat piala yang langsung mendapatkan sambutan tepuk tangan.
“Pena emas, julukan yang diberikan orang-orang, benar?”
“Ahh, aku menemukan itu dari komentar para reader, jadi kupikir tidak salah menggunakannya sebagai nama penaku juga,” sahut Jurnal.
“Dari namanya saja sudah menjelaskan, betapa berbakatnya penulis kita ini. Jurnalistik, sepertinya orang tuamu ingin kamu berkutat di bidang sastra, ya?”
“Heum, sayangnya nama itu diberikan oleh kakek dan nenek, bukan orang tuaku,” jawab Jurnalista. Seketika suasana menjadi sendu. Semua orag bisa merasakan makna tersembunyi di balik perkataan wanita itu.
“Hei, mereka juga keluargaku. Bukankah nama dari kakek dan nenek lebih berarti?” lontarnya memecah keheningan, tidak lupa senyum ceria yang teramat manis.
Pena emas, julukan untuk wanita yang memiliki piala yang terjajar dengan rapi. Tentu saja, dia sudah memiliki begitu banyak karya dan film yang ditayangkan berdasarkan tulisannya.
“Kita pulang sekarang!” Dia tidak terlalu suka keramaian, hanya saja keadaan memaksanya untuk menghadiri acara tersebut, untuk pertama kalinya. Beberapa kali dia menang, selalu diwakilkan oleh asisten, dengan alasan memiliki kerjaan lain.
Seorang wanita bergaun silver menghalangi langkah Jurnalista, menatapnya penuh kekesalan.
“Akhirnya pena emas menunjukkan kehadirannya ya,” sindir wanita itu terang-terangan.
“Bukankah seharusnya kamu mengucapkan selamat untukku, Senior?” balas Jurnalista tersenyum puas, tidak lupa menyematkan tingkatan untuk wanita tersebut. Wanita bernama Stefani itu menatap Jurnal tajam, ingin sekali mencakar wajah sok polos itu.
“Jangan mentang-mentang kamu menang, kamu bisa bertindak sesukamu! Aku tetap masih lebih senior di dunia literasi dari pada kamu, jadi jaga sikap kamu,” ucapnya penuh peringatan, Jurnal mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah, Senior. Terima kasih atas nasehatnya. Aku pamit dulu yah,”
Stefani mendorong Jurnal sampai wanita itu terjatuh, di hadapan kerumunan orang yang kini menatap mereka. Jurnal menghela napas, menenangkan diri, sebelum menerima uluran tangan dari asistennya.
“Tolong berhenti! Saya dan Nona Jurnal hanya ingin pulang,” pinta asisten Jurnal. Kekesalan Stefani meningkat, seorang asisten bahkan berani memberinya peringatan.
“Jaga ucapanmu!” Stefani menunjuk asisten Jurnal dengan marah. Jurnal tentu tidak terima. Hanya karena Stefani lebih dulu terjun dalam dunia literasi, bukan berarti wanita itu bisa merendahkan mereka. Dibanding Stefani, prestasi Jurnal jauh lebih banyak.
“Jika ingin bersaing gunakanlah ide baru, jangan hanya mencuri ide. Kamu gak akan bisa mengimbangiku jika idenya saja masih modifikasi dari hasil pemikiran orang lain,” sindir Jurnal tajam.
“Jangan asal bicara kamu!” teriak Stefani semakin tidak terima.
Jurnal mengikis jarak, tersenyum miring di hadapan musuhnya itu. Dalam literasi ada juga yang disebut tingkatan, yakni mereka yang senior sampai mereka yang lebih akhir terjun dalam dunia literasi.
“Kamu pasti tahu yang disebut dengan feel dan cara penulisan, bukan? Meski kamu mencuri ide, atau bahkan memiliki ide yang lebih bagus, jika feel tidak sampai, akan berakhir sia-sia. Kamu bsa mencuri ideku, tapi tidak dengan feel yang hanya aku bisa menciptakannya,” lontar Jurnal terang-terangan.
Beberapa kali, dia mendapati berita bahwa tulisan Stefani sama dengan miliknya. Ide awal sampaai pada masalah yang muncul persis seperti miliknya. Namun, tetap saja tidak bisa mendapatkan rasa cinta dari para pembaca.
“Ide yang sama, dengan penulis yang berbeda, maka hasilnya juga akan berbeda. Percuma saja, kamu terus berusaha mencuri ideku,”
Stefani geram, menarik rambut Jurnal. Dia terlihat tidak peduli pada pandangan orang-orang padanya.
Asisten Jurnal bergegas memisahkan keduanya, sebelum keadaan Jurnal semakin memburuk. Ada alasan wanita itu tidak ingin menghadirri acara yang penuh keramaian dan sesak.
“Ini peringatan terakhir! Jangan sampai aku melakukan sesuatu yang bisa menjatuhkanmu. Sebanyak apa pun prestasi yang kamu miliki, tetap akan kalah dengan tingkatan yang ada,” tukas Stefani mengandalkan tingkatan.
Asisten Jurnal segera membawa wanita itu pergi, tidak ingin kondisi Jurnal lebih buruk.
Jurnalista menghirup udara sebanyak-banyaknya, memenuhi dadanya yang terasa sesak.
“Minum dulu,”
Jurnalista meneguk air yang asistennya berikan sampai habis.
“Seharusnya aku tidak datang hari ini,” gumam Jurnal, menyandarkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata.
“Ck, wanita itu sok senior. Idenya saja masih hasil copy dari orang lain,” oceh Vivian menggebu-gebu. Kalau tidak ingat media, mungkin dia akan membalas perbuatan Stefani pada bosnya.
Vivian adalah asisten yang sudah lama mengabdi pada Jurnalista. Juga merupakan sahabat Jurnal sejak di bangku SMA. Dia mengenal wanita itu dengan baik, termasuk lika-liku hidup yang Jurnal lalui, hingga wanita itu ada di titik terbaik dalam hidupnya.
“Besok tolong kosongkan jadwal, Vi,” pinta Jurnal. Vivian menghela napas, cukup prihatin dengan sahabatnya itu. Pasti melelahkan menjadi penulis yang diperebutkan banyak orang, entah itu penerbitan maupun produser film.
“Ah haruskah kutunda juga pertemuan dengan Pak Dikta?”
“Dikta Sky?” tanya wanita itu, Vivian mengangguk, lupa kalau Jurnal tengah memejamkan matanya.
“Iya, sudah dari seminggu yang lalu, tapi kamu masih harus menyelesaikan proyek film sunyi makanya ditunda dulu,” jelas Vivian.
Tidak ada jawaban dari Jurnal. Wanita itu sepertinya benar-benar ingin beristirahat, setelah hari yang melelahkan.
“Aku akan menelpon sekretaris beliau, untuk mengatur ulang jadwalnya,”
“Tidak perlu, kita bisa bertemu mereka besok. Aku penasaran apa yang bisa perusahaan itu berikan, saat mereka bahkan di ambang kehancuran,” gumam Jurnal.
Sky entertain adalah perusahaan yang bergerak di industri perfilm-an, yang dipimpin oleh Dikta Sky. Perusahaan itu memiliki rating rendah akhir-akhir ini, dan berada di ambang kehancuran.
“Sepertinya hanya akan buang waktu, mereka tidak akan mampu membayar idemu,” sambung Vivian.
Pena emas, dua kata yang memiliki makna. Pena menggambarkan tulisan serta hasil pemikiran wanita itu, sementara emas menggambarkan betapa mahalnya karya yang dihasilkan oleh Jurnal. Biasanya Jurnal hanya akan memenuhi undangan dari orang-orang yang bisa membayarnya mahal, sementara Sky entertaimen?
“Ayo pulang, aku ingin beristirahat.”
“Mau kupesankan makanan?” tawar Vivian, Jurnal hanya berdehem singkat. Perutnya terasa perih tetapi rasa lelah membuatnya ingin segera merebahkan tubuh di kasur empuknya.