Cahaya dalam Gulita

Cahaya dalam Gulita

Eenroos

0

Gundukan tanah itu masih merah dan basah. Kuangkat satu tanganku yang terus bergetar hebat demi menaburkan segenggam bunga terakhir di atasnya. Otot-otot tubuhku nyaris menyerah. Air mata tak berhenti mengalir di kedua pipi, hingga rasanya sia-sia saja untuk mengusapnya.


Teriknya sang raja langit siang ini tidak mampu menembus kabut hitam yang tengah menggelayuti hatiku. Sinar panasnya bahkan tidak terasa sama sekali di kulitku. Dunia yang seharusnya cerah seolah menjadi kabur. Yang tersisa hanyalah bayang-bayang gelap di segala sisi pandanganku. 


Fokusku terus tertahan pada nama yang tertera di papan kayu nisan. Terukir rapi di permukaannya, 'Rusdianto Wirawan'. Nama yang tidak pernah kusangka akan ada di sana dalam waktu secepat ini. Nama satu-satunya orang yang paling aku sayang di dunia ini. Dia adalah ayahku, yang kini telah terbaring diam dipeluk bumi.


 'Bapak ….'


Ketika aku masih tenggelam dalam ratap duka tanpa suara, kurasakan lengan seseorang memeluk bahuku. Refleks aku menoleh. Di sana, duduk bersimpuh tepat di sebelahku tanpa memedulikan celana panjangnya ternoda oleh tanah, Bulik* Anik berkata, "Yang sabar, yang ikhlas yo, Nduk*."


Nada bicaranya halus, tapi aku tahu ada satu getaran emosi yang berusaha ia redam. Aku tidak mampu menjawab. Sekuat tenaga kucegah isak tangisku keluar. Namun, tindakan itu justru membuat dadaku semakin sesak. Bernapas belum pernah terasa sesakit ini sebelumya.


"Kamu ndak usah sedih. Masih ada Bulik sama Paklik* di sini. Bapakmu pasti ndak suka liat kamu nangis."


Ucapan tersebut meruntuhkan pertahananku. Kupeluk tubuh tambun Bulik Anik yang sejak kemarin setia menemaniku, kemudian menangis sesenggukan. "Aya cuma pingin bahagiain Bapak." Tanpa memedulikan lagi keadaan sekitar, aku mulai terisak keras. Air mataku tumpah bagai air bah. "Aya sekolah … biar sukses, biar Bapak seneng. Aya mau bales budi sama Bapak."


"Iya, Bulik ngerti." Bulik Anik mengusap punggungku berulang kali. Beliau membiarkanku menangis dalam pelukannya sampai kain kerudung di bahunya basah oleh air mataku. Di sela isak tangisku yang pilu, samar-samar kudengar bisikan para tetangga yang masih menemani kami di pemakaman siang ini.


"Oalah, kasian banget to ya Mbak Aya itu. Denger-denger udah mau lulus kuliah S2-nya."


"Cah ayu, cah pinter*, nurut sama orang tua. Moga-moga segera ketemu jodoh yang baik biar Mbak Aya ndak sendiri lagi, ndak sedih lagi."


"Wong Pak Rusdi juga orang baik, pasti Mbak Aya bakalan cari jodoh yang kayak bapaknya."


Aku tahu ibu-ibu tetangga di kampungku ini baik dan ramah. Ingin rasanya aku mengucapkan terima kasih atas perhatian mereka, tapi kondisiku sedang tidak memungkinkan. Isakanku belum mereda, hingga akhirnya Bulik Anik berinisiatif mengajakku pulang.


"Udah, Nduk. Sekarang mending kamu pulang dulu terus istirahat."


Meski belum ingin meninggalkan makam Bapak, aku sadar tubuhku tidak lagi bertenaga. Untuk sekadar berdiri saja lemas sekali rasanya, sampai Bulik Anik harus memapahku sepanjang jalan pulang. Aku pun melangkah dalam kebisuan. Pikiranku setengah kosong dan setengah lagi mengawang entah ke mana. Tahu-tahu, aku dan Bulik Anik sudah sampai di rumah.


Tampak masih banyak pelayat berdatangan, tapi aku tidak bisa menyalami mereka semua. Sekadar menganggukkan kepala pun tidak bisa. Sepertinya mereka juga memahami kondisiku. Tidak ada yang memaksa untuk menyapa atau mengajakku berbicara. Suasana berubah menjadi lebih hening saat aku lewat bersama Bulik Anik dari ruang depan menuju kamar.


"Kamu istirahat aja, yo. Nanti Bulik bawain teh anget sama makan siang."


Aku mengangguk tanpa daya. Kurebahkan diri di atas kasur kapuk yang telah kupakai sejak zaman SMP. Meski agak keras, aku justru menemukan kenyamanan di atasnya. Rasa lelah menumbuk hati dan pikiranku bertubi-tubi. Keheningan di dalam kamar seolah mengisolasiku dari keramaian para tamu di luar. Tanpa sadar, bahkan tanpa sempat menyeka sisa air mata di pipi, aku pun mulai terlelap.


***


Acara tahlilan malam ini baru akan dimulai. Para tetangga sudah mulai berdatangan. Bulik Anik sibuk menyiapkan segala suguhan di dapur, sementara Paklik Yono menyambut tamu-tamu di luar. Aku duduk seorang diri di ruang tengah, tepatnya di kursi kayu yang selalu diduduki Bapak saat menonton televisi.


Membayangkan keseharian Bapak di ruangan ini membuat hatiku kembali diremas. Rumah berbilik kayu yang selama ini kutinggali berdua bersama Bapak mendadak terasa jauh lebih dingin dan hampa. Banyaknya tamu dengan segala obrolan riuh rendah mereka di ruang depan tidak mampu mengusir rasa sepi di hatiku.


'Udah, jangan nangis lagi, Aya!' tegurku pada diri sendiri saat selaput bening air mata mulai membayangi pandangan. Buru-buru kuusap kedua mataku, lalu menarik napas dalam-dalam. Ketimbang menangis, lebih baik aku perbanyak membaca doa untuk Bapak. Bapak pasti akan senang kalau mendapat kiriman doa dariku.


Baru saja hatiku mulai tenang, tiba-tiba terdengar suara Paklik memanggilku, "Nduk?"


"Nggih*, Paklik?" Aku sontak menjawab sambil menoleh ke sumber suara.


Paklik Yono masuk dari arah ruang tamu. Di belakangnya, ada seorang pria paruh baya melangkah membuntuti. Wajahnya asing. Rambutnya yang sudah setengah beruban disisir rapi ke samping. Badannya tinggi tegap, terbalut oleh kemeja dan celana panjang berwarna hitam. Siapa beliau?


Paklik berjalan cepat menghampiriku dan berkata dengan setengah berbisik, "Nduk, ini ada temennya Bapak. Dari Karanganyar. Katanya mau ketemu sama kamu."


Teman Bapak dari Karanganyar? Aku belum pernah mendengar soal siapa pun teman Bapak yang berasal dari luar kota. Yang kutahu, Bapak hanya sering berkumpul dengan teman sesama petani di daerah sini.


Demi menjaga sopan santun sekaligus menuntaskan rasa penasaran, aku pun mengangguk. "Monggo*, silakan duduk, Pak." Aku melambaikan satu tangan ke arah sofa usang yang berseberangan dengan kursiku, mengisyaratkan pada lelaki paruh baya itu untuk duduk.


"Tak tinggal dulu yo, Nduk. Masih banyak tamu. Kamu ngobrol dulu aja. Habis ini, Bulik tak minta nyusul ke sini nemenin kamu."


"Nggih, Paklik."


Sepeninggal Paklik, aku duduk berhadapan berdua saja dengan lelaki asing itu. Saat kuperhatikan, lelaki itu tersenyum tipis ke arahku. Wajahnya teduh. Namun, siapa pun bisa melihat rona lelah dan tertekan dalam ekspresinya.


Beliau yang lebih dulu membuka percakapan, "Mbak Cahaya, ya?"


"Aya saja, Pak."


"Kalau begitu, Mbak Aya, kenalkan. Saya Guntur, sahabat bapak kamu dari zaman muda."


Aku hanya mengangguk tanpa suara. Pak Guntur melanjutkan, "Saya turut berduka yang amat dalam atas meninggalnya Rusdi. Maaf, saya baru dengar kabar tadi siang, jadi saya cepet-cepet berangkat ke Magelang. Itu pun nggak keburu ikut pemakamannya."


"Nggih, nggak papa, Pak. Minta doanya saja buat bapak saya. Makasih, udah datang jauh-jauh dari Karanganyar," jawabku tulus.


"Dimakamkan jam berapa tadi?"


"Sekitar jam sepuluh. Agak kesiangan karena katanya harus pindah lokasi penggalian."


"Oalah, dipindah kenapa, to?"


"Di lokasi pertama katanya ada batu besar di bawah, jadi nggak bisa lanjut."


Pak Guntur manggut-manggut. Setelah jeda beberapa detik, lelaki itu menghela napas panjang. "Saya bener-bener nggak nyangka Rusdi udah nggak ada," ucapnya pelan. "Harusnya, saya datang ke sini lebih cepat."


Kalimat terakhir beliau membuatku sedikit bingung. Terlebih, saat kuperhatikan, aku bisa menangkap keresahan di wajah Pak Guntur. Karena tidak tahu harus menjawab apa, aku pun beranjak dari kursi. "Saya ambilkan minum dulu, Pak."


"Oh, udah, nggak usah!" cegah Pak Guntur buru-buru. "Tolong, duduk dulu. Saya mau ngomong sesuatu."


Dengan makin bingung, kuturuti permintaannya. Aku kembali menjatuhkan diri di kursi kayu tua milik Bapak.


"Mbak Aya, dengerin saya." Tiba-tiba Pak Guntur sedikit memajukan duduknya. Kedua tangannya terkepal di atas pangkuan. Matanya melirik ke kanan-kiri, sebelum kemudian beliau melihat lurus ke arahku dan berbicara dengan volume rendah, "Sebenarnya, ada alasan lain kenapa saya minta ketemu sama Mbak Aya malam ini."


Aku mengerutkan kening. Hatiku mulai tidak enak menghadapi atmosfer yang mendadak berubah. Dari yang tadinya basa-basi santai, tiba-tiba menjadi serius. "Alasan apa, Pak?" tanyaku, mau tak mau ikut resah.


Belum sempat Pak Guntur menjawab, Bulik Anik masuk ke ruang tengah sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh panas. Pembicaraan kami pun terputus. Bulik Anik meletakkan masing-masing secangkir teh di hadapan kami, lalu menyapa Pak Guntur dengan ramah, "Silakan diminum tehnya, Pak. Nuwun sewu*, tadi lagi banyak kerjaan di dapur."


"Walah, kok saya jadi ngerepotin ini," jawab Pak Guntur sembari tersenyum sungkan. Entah bagaimana, ekspresi resah di wajahnya menghilang begitu Bulik Anik muncul.


Kedua orang itu pun mengobrol dalam bahasa Jawa halus. Aku hanya diam mendengarkan sambil menyeruput tehku sendiri. Sampai ketika Bulik Anik bercerita tentang bagaimana ayahku ditemukan meninggal di tepi sungai, aku mencengkeram cangkir di tanganku erat-erat.


Benar. Kemarin sore menjelang maghrib, seorang tetangga menemukan jasad Bapak di pinggiran kali dekat sawah tempat Bapak bekerja. Posisiku waktu itu sedang perjalanan pulang dari Jogja usai mengurus perlengkapan untuk wisudaku minggu depan. Saat mendengar kabar tersebut via telepon, aku merasa duniaku runtuh. Masih kuingat betul, bagaimana rasanya tulang belulang di tubuhku berubah menjadi bubur. Aku lemas, bahkan nyaris pingsan di dalam bus. Begitu tiba di terminal dan bertemu dengan Paklik yang menjemputku, aku menangis sejadi-jadinya. Dan begitu melihat langsung jenazah Bapak di rumah sakit, aku pun tak sadarkan diri.


Tangan kiri Bulik Anik mengusap kepalaku dengan lembut. Beliau tahu betul aku masih terpukul atas kejadian kemarin. Saat mengalihkan mata dari cangkir teh, pandanganku langsung jatuh ke arah Pak Guntur. Kulihat ada banyak emosi berkelebat di kedua mata lelaki itu.


"Orang bilang, mungkin Mas Rusdi kepeleset di kali. Soalnya kepalanya luka kena batu," kata Bulik Anik pelan.


Raut wajah Pak Guntur tiba-tiba berubah. Kali ini ekspresinya mengeras. Aku bahkan bisa melihat rahangnya terkatup rapat. Beliau menarik napas panjang tanpa suara dan sejenak memejamkan mata.


"Saya dengar, Mbak Aya udah mau wisuda, ya?" Begitu kembali membuka mata, Pak Guntur justru mengalihkan topik pembicaraan. Beliau lagi-lagi menatap lurus ke arahku.


Aku mengangguk. "Sepuluh hari lagi saya wisuda, Pak."


Pak Guntur menepuk kedua lututnya. Keresahan itu kembali lagi. Benteng ketenangan yang beliau bangun ketika mengobrol dengan Bulik Anik runtuh sudah. Dan kegundahan itu pun menular dengan cepat. Kurasakan jantungku mulai berdegup tidak karuan, seakan memberi pertanda bahwa ada sesuatu buruk yang akan terjadi.


"Begini, Bu, Mbak. Maksud kedatangan saya ke sini, selain untuk melayat tentu saja, saya mau … meminang Mbak Aya jadi istri saya."


****************************

*Bulik: Ibu cilik (panggilan untuk perempuan yang lebih muda dari ayah/ibu kita)

*Nduk: panggilan untuk anak perempuan

*Paklik: Bapak cilik (panggilan untuk lelaki yang lebih muda dari ayah/ibu kita)

*Cah ayu, cah pinter: anak cantik, anak pintar

*Nggih: ya/iya

*Monggo: silakan

*Nuwun sewu: permisi, mohon maaf