CADEL ELLA

CADEL ELLA

Tika Mener

4.2

"Kita putus!"


Satu kalimat itu berhasil menghantamku dengan telak. Harusnya aku sudah terbiasa mendengar ucapan tersebut, tetapi dua patah kata itu tetap saja terasa menyesakkan saat mencapai gendang telinga.


"Lagi? Tapi, aku punya alasan," ucapku berusaha menahan air yang sudah mulai menggenang di pelupuk netra.


"Gue nggak terima alasan apapun!" tegas pria berambut gondrong di hadapanku, yang sudah mengganti kembali panggilan aku-kamu dengan elo-gue.


"Beb, aku harus kerja. Nggak enak kebanyakan izin. Lagian biasanya kamu manggung malam Minggu, kenapa jadi malam Rabu?"


"Don't call me ... Jadi kamu lebih milih kerjaan daripada nonton aku manggung?" teriakan pria itu semakin meninggi.


Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku, tentu tidak mengharapkan keributan ini terjadi, di depan tempat kerjaku dan disaksikan tiga orang laki-laki lain. Seorang pemuda yang biasa nongkrong sambil membaca komik di teras toko, rekan kerjaku bernama Aldo dan Pak Satpam yang menjaga kawasan ini. Dari sudut mata, aku bisa merasakan fokus ketiganya terpusat padaku.


Pembelaan diri hanya akan membuat Oscar–pacar yang telah sekali lagi menjadi mantanku–semakin marah, jadi aku hanya bisa terdiam sambil menahan tangis. Namun, ternyata kebisuanku malah semakin memperburuk suasana hatinya.


"Kamu nggak jawab? Oke, fine! Jangan pernah hubungi aku lagi!"


Setelah meneriakkan kata terakhirnya, Oscar pergi. Meninggalkanku yang hanya bisa terkulai dengan pantat menghantam semenan tempat parkir toko. Terdengar bunyi geseran kursi dan langkah-langkah mendekat. Tiga laki-laki itu membawaku kembali berdiri, sembari menuntun untuk duduk di salah satu dari kursi-kursi yang memang sengaja diletakkan pemilik di depan toko.


Tangisku pecah beberapa detik setelah di dudukkan. Suara gaduh yang dibuat tiga laki-laki itu kembali terdengar. Tangan besar Aldo terasa menepuk-nepuk pelan sisi bahuku. Pria plontos itu mengucap nama panggilanku sembari menyertakan kalimat bujukan seperti pada bayi.


"Sabar, Mbak sabar. Istigfar," ucap Pak Satpam sembari memberikanku tisu.


"Iya, La. Sabar ya. Jangan mau lagi deket-deket sama cowok kayak gitu. Kata bundanya Aldo, nggak seharusnya cowok bersikap kasar sama cewek. Nanti kalo dia ke sini lagi, biar Aldo marahin!" 


Mendengar ucapan polos dari sang rekan kerja, tangisku semakin pecah. Aldo sungguh baik hati walau memiliki kekurangan dari segi intelegensi. Sikap dan tutur polosnya sedikit mengobati titik kecil luka di hatiku.


Beberapa menit kemudian, si pemuda komik datang menghampiri kami, sambil menyodorkan sebuah gelas berisi cokelat hangat padaku. Ia kemudian berkata, "gue pernah denger, katanya cokelat obat terbaik patah hati. Nih, diminum."


Aku masih sesenggukkan saat menerima uluran dari pemuda tersebut. Setelah beberapa tegukan, tangisku benar-benar mereda. Ucapan pemuda itu ternyata benar. Ada sedikit sensasi lega yang menggelitik saat menenggak minuman manis tersebut. Meski begitu, nyeri di dadaku masih terasa, apalagi saat mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu.


Sepeninggal Pak Satpam, yang mengatakan akan berpatroli kembali, aku sudah tenang. Syukur saja malam ini tidak ada pengunjung datang ke toko, yah ... kecuali, pemuda berwajah semi blasteran yang kembali menekuri komiknya itu. Dia memang pengunjung setia Indominus–waralaba 24 jam tempatku bekerja. Setiap kena sif malam, aku selalu melihatnya nongkrong di sini, entah makan atau minum, tentunya sambil membaca komik. Dan menghilang sebelum jam satu malam. Wajahnya yang terlihat seperti remaja SMA, membuat pertanyaan muncul di benakku, 'emang emaknya nggak nyariin apa ya?' Namun, pertanyaan itu tak pernah terlontar. Sebab, baru malam ini kami bertegur sapa.


"Dek, makasih ya minuman cokelatnya," ujarku yang awalnya dibalas tatapan bingung, tetapi setelah beberapa saat pemuda itu memberikan anggukan ringan.


"Komiknya seru, ya?" Aku memberanikan diri membuka percakapan, setelah keheningan yang terasa mencekam. Aldo sudah kembali ke dalam toko, meninggalkanku berdua saja dengan pemuda ini.


"Lo nggak pernah baca komik?" Pemuda itu balik bertanya dengan santai, tanpa melepas pandangannya dari buku bergambar tersebut. 


Aku agak kaget karena pemuda ini menayapaku seakan kami seumuran. Tetapi tidak terlalu memikirkannya. Adikku saja sering bersikap tidak sopan padaku. Otakku yang sedang bekerja, rupanya mencegah bibir ini mengucap jawaban. Pemuda berambut hitam kelam itu mengalihkan pandangan untuk menatapku, meminta tanggapan.


"Mau coba baca? Gue punya komik seru yang bisa dibaca anak cewek, lo pasti suka. Besok masih sif malam? Nanti gue bawain."


"Emang baca komik bisa bikin sakit hati hilang?"


"Paling enggak bisa ngalihin pikiran buruk sama niat busuk nggak kayak bunuh diri karena patah hati."


"Siapa juga yang mau bunuh diri? Dasar bocah sok tau!"


Pemuda itu hanya mengedikkan bahu singkat sebelum kembali berkonsentrasi pada komik ditangannya. Aku berpaling. Kembali melankolis, meratapi nasibku yang lagi-lagi menjadi jomlo. Jika saja langit dipenuhi awan kelabu dengan rintik tipis berjatuhan, lengkap sudah nuansa syahdu malam ini. Tetapi sayang, bintang yang berkilauan serta cahaya terang purnama tidak mendukung suasana hatiku. Mereka berkhianat. Aku butuh pelipur, sebuah lagu galau.


"Aldooooo...," teriakku.


Aku yakin Aldo mengerti. Karena beberapa saat kemudian intro sebuah lagu mulai terdengar walau samar, sebab saat ini aku masih berada di luar toko. Aku menghayati bait demi bait lagu tersebut hingga tiba di bagian refrain.


"Biarkan, aku menjaga perasaan ini, oh. Menjaga segenap cinta yang telah kau beri~ engkau pergi aku takkan pergi. Kau menjauh, aku takkan jauh. Sebenarnya diriku masih, mengharapkanmu...."


"Ogeb, tiba-tiba nyanyi. Ngagetin, lo!" sambar pemuda itu dengan mata terbelalak. Jelas baru saja terkejut.


"Bodo...," jawabku cuek, lalu melenggang pergi memasuki toko.


Aku akan menikmati malam ini dengan mendengarkan lagu-lagu bergenre pop balada sembari ikut berdendang. Yah, sebenarnya biarpun tidak sedang patah hati, aku juga lebih menyukai jenis lagu seperti ini, yang liriknya sangat manusiawi. Jauh berbeda dengan genre lain seperti yang sering band Oscar mainkan. 


"Huhu, Oscar...." Kusebut nama itu dengan lirih. Sembari mengingat kenangan saat kami masih bersama.


***