Sudah berkali-kali Rayen mengabaikan dering telepon di HP-nya. Pria yang saat ini sedang membahas soal matematika di ruang kerja ayahnya itu sedikit mengumpat pada si penelepon. Bukan karena mengganggu konsentrasinya saat belajar. Pria yang dijuluki murid terbaik di sekolah itu dapat belajar dalam keadaan gaduh sekalipun. Hanya saja, pandangan mata yang sedari tadi seakan ingin memangsa, tak kunjung mengalihkan pandangan darinya. Ditambah lagi, dering ponsel yang mengganggu dikhawatirkan akan membuat si mata elang itu kembali menegurnya. Perlahan, langkah kaki sosok yang mengamatinya itu mendekat. Bayangan pria itu membuat buku tulis Rayen menggelap dan ia mendongak untuk melihat sosok yang berdiri dihadapannya.
“Siapa yang telepon?” tanya pria paruh baya dengan kacamata minus yang bertengger di pangkal hidungnya. Rambut klimis yang diberi gel itu membuat tampilannya semakin berwibawa dan tegas. Cukup membuat Rayen menyimpulkan bila orang tersebut adalah sosok yang paling ia takuti selama hidup.
“Jonathan,” jawab Rayen sambil mengisi soal yang hampir rampung ia kerjakan. Dalam hati ia mengomel pada temannya itu. Awas saja kalau karena hal ini Rayen sampai dimarahi. Ia tidak akan segan mengamuk pada Jonathan.
Alis sosok dihadapannya itu naik. “Anak yang selalu sama kamu itu?”
“Ya.”
“Ada apa dia telepon?” tanya sosok itu penuh selidik.
Rayen menggigit bibir bawah, menahan gugup. Di bawah meja, kakinya bergoyang resah. Tapi Rayen cukup cerdik untuk mengatasi situasi ini. “Janjian mau belajar kimia bareng.”
“Kamu gak bilang kalo lagi belajar sama Papa?”
“Lupa.”
Antonio—ayah Rayen—saat ini berpangku tangan di dada, menelaah mimik wajah anak semata wayangnya. Saat dilihatnya anak itu tak terlalu peduli dan memilih fokus pada soalnya, ia berdeham menimbang keputusan.
“Kalau sudah selesai kamu boleh pergi.” Sosok itu berbalik pergi meninggalkan ruang kerjanya. Rayen melongo. Tak menyangka bila Antonio akan meloloskannya dengan mudah. Biasanya, ia akan ditahan untuk belajar di ruangan ini lebih dari dua jam. Mengingat baru tiga puluh menit ia berada di tempat duduk itu, ia memanggil ayahnya.
“Pa.”
Sosok itu menoleh.
“Soalnya udah selesai. Gak dikoreksi dulu?”
Sosok yang dinilai tegas oleh Rayen sepanjang hidupnya itu hampir terkekeh. Namun, dinding gengsi yang ada pada sosok Antonio menahannya.
Ia menggeleng. “Seperti biasa, kamu pasti bener semua.” Sudut bibir Antonio sedikit naik sebelum meninggalkan ruangan itu menuju kamar.
“Oh, dan juga...” Antonio kembali menoleh, membuat Rayen kelewat senang, terlihat antusias dengan apa yang akan ayahnya itu ucapkan.
“Besok Papa harus pergi selama satu bulan. Ada proyek baru di Thailand. Kamu urusi sendiri keperluanmu seperti biasa. Bisa, kan?”
Rayen mengangguk patuh. Sebelum ia mengucapkan kata “bisa”, Antonio telah pergi lebih dulu. Seperti biasa, ia selalu memerintah tanpa mempertimbangkan bagaimana jawaban lawan bicaranya.
Seperti itulah sosok ayahnya. Arogansi yang menjadi baju pelindungnya tak hanya disegani orang-orang, tapi juga oleh putra semata wayangnya sendiri. Hal itu yang menjadikan bapak anak itu seolah berjarak. Cara didikan yang tegas dan absolut menjadikan hubungan darah itu bukan sebagai ayah anak melainkan lebih seperti tuan dan bawahan. Sebab dalam berbagai hal, yang harus Rayen katakan saat ayahnya memerintah adalah “iya”.
Namun, buah dari semua didikan keras itu berhasil. Rayendra Alger atau yang biasa dipanggil Rayen merupakan siswa berprestasi nomor satu di SMA Bumi Sriwijaya. Sejak pertama memasuki sekolah elit yang diisi murid-murid pintar Sumatera Selatan, Rayen selalu berada diurutan pertama dan menarik banyak perhatian. Bagaimana tidak, sosok yang mempunyai wajah rupawan itu memegang nilai tes tertinggi pada ujian masuk SMA terbaik ke-15 di Asia Tenggara tersebut. Prestasinya tidak main-main, baik di dalam maupun di luar . Berbagai ajang prestasi baik nasional maupun internasional dia sabet sejak berada di bangku SD. Biasanya, anak-anak preman yang menjadi penguasa. Namun di sekolahnya, Rayen dan teman-temannya yang menjadi penguasa sekolah, karena kepintarannya dan tentu saja segudang prestasinya.
Rayen memastikan Antonio telah masuk ke kamar terlebih dulu, sebelum akhirnya melangkah pergi dari rumah. Di halaman, ia buru-buru membuka mobil. SUV hitam miliknya itu berbunyi beberapa detik saat Rayen membuka kunci. Lalu ia merangkak masuk dan menyalakan mesin.
Di waktu-watu ini Rayen dan teman-temannya biasa berkumpul di rumah Jonathan. Rayen berbohong saat mengatakan akan belajar. Pada kenyataannya, Rayen dan teman-temannya tidak akan pernah belajar selain di sekolah dan tempat les. Lagi pula, mereka hanyalah remaja biasa yang juga hidup normal. Teman-temannya adalah tipe yang sama sepertinya; pelajar yang pintar dari kelas unggulan dan menuai banyak prestasi.
Rayen mempercepat laju kendaraannya setelah melewati fly over lima belas menit kemudian. Jalanan mulai lengang. Meskipun lahan jalan sedikit menyempit karena pembangunan LRT untuk acara Asian Games, Rayen masih bisa mencapai rumah Jonathan yang berada di kawasan Kemang Manis lebih cepat. Tiga puluh menit. Biasanya ia harus menempuh waktu satu jam.
SUV hitam itu tiba di salah satu rumah berpagar tinggi. Di halamannya sudah terparkir empat mobil yang Rayen kenali. Lantas ia masuk. Sambutan teman-temannya yang bersorak-sorak membuatnya memutar bola mata.
Rayen duduk di salah satu sofa dengan lesu. Ia bersandar dan setengah badannya hampir merosot ke bawah.
Melihat perubahan wajahnya, Jonathan menghampiri. “Kenapa lo?” Cowok yang memiliki kulit agak gelap dari teman-temannya itu duduk.
“Gue lagi belajar sama bokap pas lo telepon.” Semua orang yang tadinya memiliki aktivitas masing-masing kini menoleh.
“Lah, kenapa gak bilang? Terus kena marah?” tanya cowok yang biasa dipanggil Joe.
Rayen menggeleng. Sekarang ia menoleh. “Justru itu aneh. Pertama kalinya tau gak, biasanya gue bakal kena omel abis-abisan buat hal kecil apa pun.”
Dava yang sedari tadi menyimak, kini mulai tak tertarik. “Mungkin bapak lo mulai lelah.” Ia tak peduli dan kembali memainkan Mobile Legend di handphone-nya.
“Tapi bagus, kan? Lo jadi gak perlu kabur-kaburan lagi dengan alasan belajar. Hahaha!” Rangga menatap teman-temannya sambil tertawa. Yang lain ikut tertawa.
“Ya elah, udah gak usah dipikirin. Mungkin papa lo marah-marah gitu karena lagi dateng bulan.” Komentar Rangga membuat yang lain tertawa lagi.
Ini yang tidak Rayen suka bila cerita pada teman-temannya. Bukan membuatnya merasa lebih baik, justru jadi bulan-bulanan. Biasanya, ia hanya bercerita pada Joe, orang yang paling dekat dengannya.
“Gue rasa bokap lo suka marah gitu karena dia pengen lo berhasil, Yen. Lo kan anak semata wayang yang bakal nerusin perusahaan. Mungkin karena itu Om Antonio agak sedikit kejam sama lo.” Joe angkat bicara. Isi ucapannya yang bijaksana sedikit membuat Rayen terhibur.
“Bener! Gue rasa bokap lo terlalu sayang sama lo. Coba lo pikir, udah gede gini masih diatur ini itu kayak anak cewek. Karena apa? Karena lo terlalu berharga. Yang jelas, gue tau didikan papa lo berhasil dan lo udah jadi orang yang hebat. Pikir yang positifnya aja, Yen,” timpal Layanza atau yang biasa dipanggil Lay.
Komentar Joe dan Lay memang agak menghibur, dan ia berhasil melepaskan perasaan mengganjal karena ayahnya.
“Joe, gue ke kamar lo ya. Mau belajar bentar buat ulangan besok,” kata Dava yang secara tiba-tiba menghentikan game yang ia mainkan.
“Syukur elo masih peduli pelajaran,” timpal Lay.
“Pake aja, Dav. Gak usah bilang-bilang. Lagian kalian udah kayak di rumah sendiri. Oh iya, kalo mau minum ambil sendiri ya gengs. Meskipun kalian suka bilang tamu adalah raja, tapi takhta pemilik rumah gak bisa disandingkan dengan babu.”
Rayen tertawa. “Rude,” ucapnya.
Sekarang di ruang tamu, hanya ada Rayen, Joe, Lay, dan Rangga. Keempat anak itu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Rayen memainkan ponsel sebentar untuk mengecek apakah ada pesan atau panggilan telepon.
Tak sampai dua puluh menit, Dava telah kembali. Itulah kehebatannya, dia bisa dengan cepat mengingat pelajaran.
“Eh, eh maen yok!” ajak Rangga di tengah kesunyian aktivitas pribadi mereka. Sontak semuanya memperhatikan. Yang tadinya memainkan HP, kini menaruhnya di atas meja. Yang jauh, kini mendekat.
“Gue ada ide, kita maen truth or dare yok!” ucap Rangga bersemangat.
“Halah, apaan dah lo,” remeh Rayen.
“Napa lo, takut ya?” Cowok itu tersenyum menggoda.
“Ngapain takut. Gue rasa itu kekanak-kanakan aja,” komentar Rayen dengan jujur.
“Terkadang, orang-orang kayak kita butuh hal kekanak-kanakan untuk menghibur diri. Kayaknya seru juga tuh. Hayok lah!” ajak Dava.
Joe menopang kepalanya dengan tangan di atas meja. “Hmm... boleh juga sih. Lagian, gue belum pernah main ini.”
“Hayok lah, Yen. Gak lengkap kalo gak ada lo,” seru Lay yang nampak bersemangat.
Rangga mengangguk sambil tersenyum.
Kini Rayen menatap semua teman-temannya.
“Ya udah lah,” katanya, menyerah.
“Nah, gitu dong.” Dava tersenyum menampakkan sederetan giginya.
Semua orang duduk di sofa yang mengelilingi meja. Rangga mengambil botol air mineral sisa minumannya dan mulai memutar botol itu. Awalnya Rayen tidak peduli dan lebih memilih mengingat kembali rumus-rumus kimia untuk ulangan besok. Meskipun ia tidak belajar, ia tidak perlu khawatir nilainya akan menurun.
Lay mendesah saat botol itu mengarah padanya. Mereka semua ramai bersorak. Rayen melirik beberapa detik karena kehebohan itu, lalu kembali membuka file di HP-nya.
“Truth or dare?”
“Truth aja deh!”
“Hah, penakut,” remeh Dava.
“Jujur yak, lo lagi suka seseorang, kan?” tanya Rangga.
Lay mendecak lalu tersenyum malu. “Iya, adek kelas.”
Sorakan demi sorakan dari mulut setiap orang membuat suara jadi gaduh. Joe tidak bisa menahan tawa saat Dava terus menerus menggoda Lay. “Eh, tapi siapa?” tanya Joe penasaran.
“Kalian gak nanya siapa orangnya. Jadi gue gak perlu jawab.” Lay tersenyum menang.
“Ah, lo sih!” Dava mencolek lengan Rangga. “Kalo yang nanya itu singkat, padat, dan jelas. Kalo mau ngasih tantangan juga yang menantang. Udah gue aja yang nanya nanti,” omel Dava. Rangga hanya memanyunkan bibirnya dan menggaruk kepala. “Gue juga penasaran nih,” ucapnya..
Botol kembali di putar. Tiba-tiba saja suasana jadi sunyi. Mulut Rayen masih berkomat-kamit karena mengingat rumus. Pandangannya terpaku pada layar HP, namun telinganya tidak mendengar kehebohan yang sempat meramaikan ruangan. Rayen penasaran, ia mendongak dan terkejut saat melihat semua orang menatapnya.
“Iya, iya gue main,” jawab Rayen malas.
“Bukan gitu. Lo kena,” jawab Joe datar.
Rayen menaikkan alisnya. Ia menatap botol yang sudah mengarah padanya.
“Lah!”
“YEN, PILIH TRUTH ATAU DARE, YEN!” seru Dava tak sabaran.
“DARE AJA, YEN. DARE AJA!” teriak Rangga ikut-ikutan..
“DARE?”
“YESSS!!! BARU SERU NIH!” teriak Dava bersemangat.
“Eh, gak gitu. Gue gak milih dare!” Rayen kelabakan saat Dava salah mengartikan maksudnya. Padahal, ia hanya bingung dan kembali mengulang ucapan Dava. Permainan ini tidak pernah Rayen mainkan. Bahkan ia tidak tahu seperti apa permainan ini.
Dava tersenyum jahil. “Pernah denger istilah ‘barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi’, kan?”
“Terima aja dulu, siapa tahu suka,” saran Lay.
“Iya, siapa tahu yang kali ini langgeng,” timpal Rangga, tidak nyambung sama sekali.
Rayen menghela napas. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menerima tantangan. Rayen memiliki rasa tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan bila sudah memulai sesuatu. Semua orang menatap Dava yang tampak berpikir. Senyum liciknya tiba-tiba muncul. Ia menunjuk Rayen sambil berkata, "Gue tantang lo, telepon nomor acak pake telepon rumah dan tawarin bantuan sama orang itu. Lo harus penuhi apa pun permintaannya!"
Rayen menganga lebar. Buat apa ia harus menolong orang asing? Tidak, ini bahkan sulit diterima akal sehat. Apa seperti ini yang namanya tantangan?
"Dav, tantangan lo ke Rayen terlalu kejem. Gimana kalo orang itu minta yang macem-macem?" Joe angkat suara. Sejauh ini ia baik-baik saja dengan permainan ini. Namun, bila sudah kelewat batas dan terlalu ekstrim, ia akan menjadi orang pertama yang menentang.
"Dav, ganti tantangannya. Gimana kalo orang itu minta duit atau nyuruh Rayen bunuh diri?" Lay tidak bisa berpikir positif saat ini.
"Ah, santai aja. Gak bakal kenapa-kenapa kok. Biar gue yang nulis nomornya. Entar lo pilih ya, Yen." Dava bangkit ke kamar Joe untuk mengambil kertas dan pena.
Sementara di ruang tamu, semua orang menatap Rayen yang agak takut setelah mendengar ucapan Lay. Benar juga katanya, bagaimana bila orang itu meminta hal yang macam-macam?”
"Biar gue yang ngomong sama Dava." Joe bangkit dari duduknya, lalu menyusul Dava ke dalam kamar.
Suasana hening menjadi satu-satunya pemeran utama. Rayen merasa malu. Semua orang tahu hidupnya bagaikan anak perempuan yang tidak dapat menyuarakan haknya. Semua temannya tahu seperti itulah hidupnya. Hanya sekali, ia tak ingin terlihat lemah di hadapan teman-temannya. Rasa malu itu membuatnya berani selayaknya pria sejati.
Tak lama Dava dan Joe keluar. Joe menggelengkan kepalanya. Sementara Dava yang tampak bersemangat itu, tersenyum lebar bak habis memenangkan olimpiade.
"Gue terima tantangan Dava," ucap Rayen mantap.
Dava mengangguk dan menaruh telepon rumah ke atas meja.
"Ini daftar nomornya. Semuanya nomor yang gue acak. Pilih salah satu!"
Rayen mengangguk mengerti. Ia memilih nomor pertama dan menekan angka di telepon.
Tersambung.
Bunyi monoton yang tak pernah berubah itu membuat Rayen mengantuk. Berkali-kali nada itu berbunyi, namun si pemilik telepon tak kunjung mengangkat. Barulah saat Rayen akan menyerah, tiba-tiba telepon itu diangkat.
"Halo?" Sapanya lebih dulu.
[Halo?] Balas seseorang di sana. Suara wanita.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rayen langsung. Ada jeda cukup lama saat menunggu balasan wanita itu.
[Ada yang bisa saya bantu?] Tiru gadis itu.
"Lah, lo gimana sih? Kan gue yang nanya duluan!" Rayen tak dapat memgabaikan kekesalannya. Ia ingin segera mengakhiri semua ini, namun lawan bicaranya itu mempunyai otak yang sulit menyerap perkataan orang.
[Lagian situ yang telepon tapi situ yang nawari bantuan. Kan ambigu, cuk!]
Hah! Rayen melotot. Ia menatap gagang telepon. Orang ini tidak ada sopan santun sama sekali. Perkataannya kasar dan tidak pantas untuk orang asing yang berbaik hati menawarkan bantuan.
Helaan napas Rayen kembali terdengar. Kali ini ia berusaha sabar untuk menyudahi misi kekanak-kanakan ini.
"Jadi gue dapet dare dari temen gue buat kasih bantuan ke nomor acak yang gue pencet. Lo mau minta bantuan apa?" Jelasnya tanpa bertele-tele. Namun dalam hati, Rayen tidak ingin menolong perempuan kasar itu.
[Gue mau minta tolong jangan pernah telepon nomor ini lagi. LO UDAH BANGUNIN GUE JAM DUA BELAS MALEM KARENA HAL GAK PENTING KAYAK GINI. PUNAH AJA LO, BRENGSEK!]
Tut... tut... tut….
Sambungan itu diputus begitu saja secara sepihak.
"Wah!" Rayen tak habis pikir. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, kesal. Tingkah laku anak itu benar-benar kurang ajar.
"Gimana?" tanya Dava yang masih penasaran.
"Anjir!" umpat Rayen. Kesal setengah mati. Tiba-tiba Dava mengalihkan pandangannya, takut. Bila Rayen sudah marah, sosoknya jadi sangat menyeramkan. Bahkan teman-temannya tidak ada yang berani bertanya lagi.
Sosok itu berubah jadi sosok yang disegani yang tatapannya dapat mengintimidasi orang.
"Gue dimaki. Sial!" Rayen mengepalkan tangannya erat-erat.
"Tapi dia gak minta tolong macem-macem, kan?" tanya Joe agak khawatir.
"Dia nyuruh gue gak usah telepon dia lagi. Hah, kayak mau aja gue!" Rayen tertawa getir.
"Syukurlah. Yang penting dia gak minta macem-macem," ucap Lay.
Meski begitu, pikiran Rayen sedari tadi berkecamuk. Ia kesal. Tidak dapat mengendalikan diri. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa lebih baik saat ini adalah pulang dan belajar. Semua fokusnya akan teralihkan untuk soal-soal yang lebih penting.
Rayen bangkit. "Gue pulang," ucapnya sambil melangkah pergi.
"Gue juga!" Ikut Rangga.
"Tunggu!" Sahut Dava tak ingin ketinggalan.
"Ya udah gue juga," susul Lay, lalu berpamitan pada Joe yang membalasnya dengan anggukan.
***