Bus Terakhir

Bus Terakhir

Cumipluto

4.7

“Rin, Arin!”

“Astaga!”

Hanya itulah kalimat pertama yang terlintas di benakku saat Kak Seokjin dengan kerasnya menggebrak pintu seraya berteriak kencang memanggil namaku.

“Bukannya kamu kumpul jam tujuh malam ya, kok belum berangkat? Sudah beres magrib, nih.” Kakakku itu berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang terlipat di atas dada.

“Ya ampun, Kak,” lagi aku berucap, kali ini dengan sebuah usapan kasar di wajah bantalku. “Kenapa enggak bangunin aku dari tadi sih.”

Aku segera meraih handukku  di belakang pintu lalu berjalan cepat-cepat ke luar, ingin buru-buru mandi. Ya, mandi ayam pun tak apa, asal jangan sampai bau iler sama masih belekan.

Oh ya, ngomong-ngomong aku Arin, umurku enam belas tahun, baru naik kelas dua SMA. Harusnya sekarang aku sudah di perjalanan menuju terminal bus, tapi karena tadi siang di sekolah sibuknya bukan main, aku terpaksa pulang sore dan tepar sampai lupa jika hari ini kami akan berangkat ke Cirebon untuk karyawisata.

Sebenarnya, bus kami nanti dijadwalkan berangkat pukul setengah delapan malam, tapi dari pihak guru-guru ingin kami kumpul jam tujuh. Mungkin akan ada pengarahan atau pembagian kelompok sebelum berangkat. Entahlah, yang pasti aku telat parah.

“Kak, anterin Arin ya nanti.” Aku berteriak begitu selesai mandi.

Kak Seokjin terdengar menyahut dari arah ruang keluarga. Ia setuju, asal dibawakan oleh-oleh katanya.

Setelah mendengar persetujuan dari kakak laku-lakiku itu aku mulai berdandan.  Aku hanya pakai pakaian seadanya, rambut dikucir kuda, pakai bedak tipis, selesai. Rasanya enggak perlu dandan menor-menor, nanti kakakku malah sangka aku mau malam mingguan lagi.

Terhuyung-huyung aku berlari ke arah beranda depan. Kak Seokjin sedang memanaskan mobil, sambil sesekali bersiul dengan irama yang tak jelas. Ia lalu berjalan mendekat ke arahku begitu aku muncul.

“Makanya, jangan tidur sore-sore. Tahu rasa kan, kamu.”

“Iya ih, bawel. Sana simpan tasku ke mobil.”

Ia dengan tampang dongkolnya meraih ranselku. Dilemparnya benda itu, seolah tak ada barang berharga di dalamnya. Aku sudah mau protes, tapi melihat bagaimana wajah kakakku yang semakin kesal, aku memilih diam. Bisa gawat kalau dia marah. Bukannya apa-apa hanya saja tidak ada lagi orang yang bisa menolongku selain Kak Seokjin.

Kami memang hanya hidup berdua. Ibu dan bapak tinggal di Bandung, sementara aku dan Kak Seokjin yang kini tengah menempuh pendidikan di UNPAD tinggal di Sumedang. Kami menempati rumah peninggalan nenek di sana.

“Cepet, ya Kak.” Aku berkata setelah mengenakan sabuk pengaman.

“Kamu ini, kaya enggak tahu aja jalanan Nangor gimana kalau jam segini,” Omelnya dengan wajah masam.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan jam tujuh lewat sepuluh menit. Sementara mobil kami benar-benar sulit berjalan di antara banyaknya kendaraan. Sepanjang perjalanan, mataku tak pernah beralih dari layar ponsel. Berbalas pesan dengan Soobin, teman sekelasku yang telah sampai di titik pertemuan.

 “Ah, sial.” Aku mengumpat begitu selesai membaca pesan terakhir dari Soobin.

Lelaki itu bilang kalau bus pertama sudah berangkat, begitu juga dengan bus ke tiga yang seharusnya aku naiki. Namun aku masih bisa ikut dengan naik ke bus terakhir. Masih untung sih, tapi aku tetap kesal karena sepertinya perjalananku akan sedikit membosankan. Mengingat aku sama sekali tak mengenal satu pun anak dari bus terakhir itu, menurut kabar sih, mereka anak-anak IPA.

“Ya sudahlah, masih untung masih bisa berangkat,” ucap Kak Seokjin yang masih fokus dengan jalanan di depannya.

Begitu sampai, aku  turun di depan sebuah mini market. Aku ingat, di dekat sana ada gang atau jalan kecil yang biasanya aku dan teman-teman  lalui untuk guna mempersingkat waktu ke arah terminal.

Harusnya, hanya berjalan sekitar lima menit saja aku sudah sampai di terminal. Namun, entah kenapa rasanya lama sekali perjalananku saat itu.

Aku mencoba melihat jam tanganku. Sudah pukul delapan kurang ternyata. Dalam hati aku hanya bisa berdoa semoga mereka tidak akan kesal karena keterlambatanku membuat bus mereka molor sampai setengah jam.

Dari jauh, terlihat sebuah bus warna biru yang sepertinya sudah siap berangkat. Tak jauh dari sana seorang pria berdiri sambil sesekali menengok ke kanan dan ke kiri. Aku kembali melajukan langkah kakiku, kasihan mereka kalau menunggu lebih lama lagi.

“Pak, maaf saya  terlambat,” ucapku begitu sampai di dekat bus. Napasku ngos-ngosan, namun sepertinya itu tidak mengganggu pria tersebut. Ia tersenyum maklum dan berkata supaya aku cepat masuk dengan suaranya yang parau.

Oleh pria itu aku dibantu menyimpan ransel di dalam bagasi bus. Selanjutnya, ia menanyai nama dan kelasku.

Suasana canggung langsung menabrak kulitku begitu aku masuk. Anak-anak ini jauh lebih tenang, suara mereka begitu pelan, hingga di telingaku hanya terdengar suara-suara lirih yang samar. Aku mencoba berpikir positif dengan menganggap anak-anak IPA memang lebih santai dari pada anak-anak IPS atau dengan berspekulasi jika mereka sudah sangat lelah dan sudah ingin tidur.

Aku pun akhirnya duduk di sebelah seorang siswa perempuan. Aku tidak tahu siapa dia. Maklum, aku ini tidak banyak kenal anak-anak selain murid kelasku.

Dia menoleh ke arahku saat aku duduk di sebelahnya. Pandangannya tajam, rambutnya yang lurus memenuhi sebagian besar wajahnya. Aku tersenyum, tapi anak itu malah buang muka. Menyebalkan sekali.

Aku berusaha memanjangkan leherku untuk melihat keadaan di depan sana. Beberapa guru yang aku kenal ada di barisan paling depan, mereka sedang berbincang-bincang satu sama lain. Sementara pria yang tadi menghampiriku kini berada di belakang kemudi. Baru tahu aku, kalau sopir bertugas mendata penumpangnya juga.

Bus kami berjalan begitu saja, tak ada baca doa apa lagi aba-aba. Itu membuatku sedikit tak tenang, hingga akhirnya aku melafalkan doaku sendiri.

Usai berdoa, aku kembali membuka mata dan melihat sekitar. Anak-anak ini mungkin benar-benar kelelahan, hingga tak sanggup terjaga lebih lama lagi.

Siswa perempuan di sampingku pun sudah tidur seperti siswa lainnya. Aku mencoba memainkan ponsel, sebelum ingat jika daya ponselku sudah hampir habis. Aku memutuskan untuk mematikannya, supaya masih ada sisa baterai ketika aku benar-benar butuh nanti.

Jam sembilan malam, aku masih terjaga dan bus melaju dengan konstan. Terakhir kali aku melihat ke luar saat bus melintasi Kantor Polsek Pamulihan. Mungkin sekarang kami sudah melewati Cadas Pangeran, pikirku ketika tak melihat satu pun bangunan di luar sana.

Setelahnya mungkin aku sempat tertidur, namun kembali bangun ketika aku mendengar sebuah suara gebrakan keras dari arah kursi pengemudi. Aku berdiri sangking kagetnya. Namun di sana tak ada apa-apa, si sopir masih anteng mengemudi dengan mengangguk-angguk seperti seseorang yang sedang terbawa suasana sebuah irama musik.

Aku tak lantas terduduk lagi, entah  kenapa rasanya lebih nyaman berdiri. Dan saat itulah aku sadar jika seluruh jendela sudah tertutup tirai. Sambil berusaha menelan bulat-bulat perasaan bingungku, Aku akhirnya menyalakan ponsel, takut-takut Soobin kembali mengirimkan pesan singkat.

Belum sempat aku memeriksa notifikasi, aku dibuat terkejut sendiri melihat jam yang ada di layar ponselku. Pukul sebelas malam. Aku sama sekali tidak mengira akan tidur selama itu. Setelahnya aku segera melarikan jariku untuk masuk ke aplikasi chatting. Nama Soobin langsung muncul di urutan paling atas dengan sebelas pesan yang belum aku baca.

Awalnya, aku pikir mungkin Soobin hanya khawatir karena aku tidak memberikan kabar setelah pesan terakhir kami. Namun  begitu aku membaca semua pesannya, aku bukan lagi terkejut. Rasanya jantungku seperti jatuh ke perut.

‘Rin, kamu ke mana sih. Katanya sudah tiga puluh menit bus terakhir nungguin kamu, tapi kamunya belum juga datang. Ngga jadi ikut ya.’

‘Rin, bus terakhir sudah berangkat duluan. Kalau kamu mau ikut mending suruh Kang Seokjin anterin kamu sampai ke Cirebon. Suruh siapa lama, wek.’

Dua pesan itu seolah mendorongku terjun ke jurang tanpa dasar. Tanganku bergetar tak karuan, keringat dingin berjatuhan di dahiku, begitu juga dengan suhu kakiku yang mendadak berubah menjadi sangat rendah.

Aku, dengan sedikit keberanian yang tersisa melirik ke arah siswa perempuan yang duduk di sampingku. Dia masih tertidur, seperti manusia pada umumnya. Namun setelah aku perhatikan lebih lama, kulitnya berubah menjadi lebih pucat dari sebelumnya.

Dia tidak bangun, bahkan saat tanganku meraih tirai jendela di sebelahnya sekali pun. Begitu aku berhasil membukanya, ingin rasanya aku memukul kepala bodohku ini.

Aku terpekik ketika melihat tak ada satu pun bayangan yang terpantul dari jendela kecuali bayanganku sendiri. Suhu di sekitarku semakin menurun, aku bahkan bisa merasakan sentuhan dingin di sepanjang tulang ekorku. Belum lagi dengan suara dengungan hebat yang muncul begitu saja hingga membuat kedua telingaku sakit bukan main.

Ingin rasanya aku menangis, namun aku masih bisa berpikir waras untuk tidak membuat keadaan semakin buruk dengan tangisanku. Maka dari itu aku memilih mundur dengan pandangan mata tertuju pada sopir bus yang masih mengangguk-angguk di kursi kemudi.

Namun, belum juga aku melangkahkan kakiku lebih jauh, aku kembali terdiam ketika semua orang, kecuali si sopir bus, berdiri. Mereka tampak kaku, seperti barisan tentara.

Saat itu aku masih belum mau kalah, aku tetap melangkahkan mundur begitu sadar mereka tak berbalik ke arahku. Tapi lagi-lagi, di langkah ketigaku yang pelan, aku merasakan punggungku menyentuh sesuatu. Bertepatan dengan itu, semua orang mengarahkan pandangannya ke arahku.

Mereka, dengan mata merah yang menyala, tersenyum bengis dengan wajah hancur penuh luka. Aku menutup mulutku menahan teriakan. Sementara mereka mulai bergerak terpincang-pincang menuju ke arahku, bahkan salah satu dari mereka menyeret tubuhnya sendiri, tertatih-tatih dengan lidah yang menjulur bak seekor anjing kehausan.

Aku berbalik, berharap sesuatu di belakangku tidak terlalu menyeramkan. Namun nyatanya itu keputusan yang salah.

Akhirnya aku berteriak, kencang sekali sampai rasanya pita suaraku terbakar dan hendak putus. Seorang pria, yang aku yakini sebagai sopir dari bus terkutuk itu, sekarang sedang berdiri di depanku dengan senyum yang sama-sama menyeramkannya dengan penumpang lain.

Ia masih mengangguk-angguk, bukan karna irama musik seperti yang aku duga, melainkan karena kepalanya yang setengah putus terguncang-guncang jalanan berlubang.

Aku berbalik dan berlari menuju pintu depan bus. Aku tak bisa berpikir jernih saat itu. Yang ada di pikiranku hanya tentang bagaimana aku bisa melarikan diri dari sana.

Bus masih berjalan, kini melewati pohon-pohon dengan ukuran tinggi besar. Suasana jalan sangat gelap, lampu-lampu jalanan yang sempat aku lihat kini lenyap.

Aku menggedor pintu kaca bus itu dengan keras, sampai rasanya tanganku bisa saja terluka karenanya. Suara dengungan yang tadi aku dengar semakin kencang, beradu dengan suara raungan kesakitan juga tawa si sopir di kejauhan.

“Mau ke mana, Neng. Perjalanannya masih jauh.” Suara si sopir terdengar dari arah samping, membuatku tak berani menengok.

Tiba-tiba pintu bus yang aku pukul-pukul tadi terbuka dengan sendirinya. Membuatku tergelincir dan terjatuh dari dalam bus.

Bus itu berhenti ketika aku sudah berada di luar. Dari jendela aku bisa melihat anak-anak itu tertidur seperti sebelumnya. Mereka tenang, seolah tak pernah menjadi makhluk menakutkan.

Tapi di antara mereka, si sopir bus ternyata masih diam di kursi kemudinya. Dia masih mengangguk-angguk, dengan luka melintang di lehernya.

“Mau turun di sini saja, Neng?” tanyanya lalu tertawa keras membuat kepalanya lepas dan menggelinding ke arah kakiku, membuatku berteriak lagi dan lari tunggang langgang masuk ke dalam hutan.

Aku menangis sejadi-jadinya sambil berlari, tak peduli kakiku semakin sakit atau suaraku yang telah sepenuhnya hilang. Dan dalam pelarian itu, aku mendengar suara-suara memanggilku. Suara Soobin, suara anak-anak yang gaduh di dalam bus juga suara Kak Seokjin. 

Suara mereka menggaung-gaung menyakiti telingaku. Sampai akhirnya aku jatuh, tersungkur dengan suara yang masih memenuhi kepalaku.

“Arin... ”

“Rin, Arin!”

“Astaga!”

Mimpi sialan.

“Bukannya kamu kumpul jam tujuh malam ya, kok belum berangkat? Sudah beres magrib, nih.”

“Ya ampun, Kak,” lagi aku berucap, kali ini dengan sebuah usapan kasar di wajah bantalku. “Kenapa tidak membangunkanku dari tadi sih.”

Aku segera meraih handukku  di belakangkan pintu lalu berjalan cepat-cepat ke luar, ingin buru-buru mandi.

Aku meminta Kak Seokjin untuk mengantarku ke terminal. Sepanjang perjalanan, mataku tak pernah beralih dari layar ponsel. Berbalas pesan dengan Soobin, teman sekelasku yang telah sampai.

“Ah, sial.” Aku mengumpat begitu selesai membaca pesan terakhir dari Soobin.

Bukan karena Gita menertawakan nasib burukku yang harus satu bus dengan kelas lain, tapi karena sadar semua yang aku lalui sekarang persis dengan mimpiku.

Entah karena mimpinya terlalu nyata, atau mungkin sebenarnya aku tidak pernah bermimpi?

***