Bulu Angsa Hitam

Bulu Angsa Hitam

S. A. Nadia

4.8

Di bawah langit yang menguning, dua pasang layang-layang terbang meliuk. Benang keduanya pun saling terpilin. Layangan yang terbuat dari kantong plastik hitam bergerak kian agresif membelit tali layangan kertas. Dari kedua ujung benang itu, sang pengendali layangan sesekali melempar tatapan sengit ditingkahi suara riuh rendah orang-orang yang menonton.

Pemuda pemegang benang layangan plastik hitam mengangguk ke arah layangannya. Tetapi tak ada yang tahu bahwa dia sebenarnya sedang memberi isyarat tersembunyi. Tanda itu langsung dimengerti oleh sesosok wanita di atas sana. Tubuhnya melayang seakan grafitasi hanyalah mitos, dan dengan mudah jemari lentik itu meraih tumbukan tali yang saling melukai satu sama lain agar salah satunya segera putus. Seperti seorang sutradara yang menentukan nasib para tokohnya, wanita itu membuat layangan dari kertas terhempas.

Kegaduhan pun kian membahana. Orang-orang berhamburan mengejar layangan kertas yang terbang lemas terbawa arah angin. Layangan kalah bertarung adalah layangan tak bertuan.

“A Namjoon, layangannya jangan diturunkan!” sahut seorang anak kecil, beberapa dari mereka tidak ikut mengejar layangan putus, melainkan mengerubunginya berebut untuk mencoba menarik benang layangan yang masih terbang.

“Layangannya untuk kalian saja. Tapi ingat, mainnya harus sakali ewang1!” seruan Namjoon langsung disambut riang mereka.

“Kang Namjoon!” panggil seorang lelaki seusianya. Dia berlari menghampiri, “wah, jawara Salikur! Nanti malam selesai acara, kita ngaliwet dong?”

“Iya, iya, ayo!” timpal Namjoon dengan tawa kecil. Menyembunyikan rasa bersalah membuat dadanya sedikit berdenyut nyeri, kemenangan yang diraihnya tidak benar-benar murni.

Setelah satu-dua kalimat, mereka pun berjalan berlainan arah. Senja mulai turun, lapangan pun berangsur sepi. Dari kejauhan terdengar orang-orang mengeluh kecewa, karena layangan yang tadi jadi rebutan itu mendarat di atas basahnya air kolam milik Wa Haji Suga. Letak lapangan memang tidak jauh dari kolam yang luasnya sampai dua ratus meter persegi itu. Jika angin bertiup ke arah barat, mustahil layangan lepas mampu melewati luasnya kolam.

“Malam nanti, Neng juga boleh ikut kan, A?” perempuan yang tadi memutus tali layangan kertas berjalan mengekori.

Berdeham sebentar, Namjoon pun mengangguk. Dia tidak keberatan, toh orang-orang juga tidak bisa melihat sosok wanita itu, “Nuhunnya, sudah bantu sampai diperlombaan terakhir!” senyum terbaik ia hadiahkan pada wanita yang masih tergopoh-gopoh menyamai langkahnya.

“Jangan berterima kasih! Kan Neng membantu Aa atas kemauan sendiri. Aa senang kan sudah Neng bantu?”

Demi menatap mata berbinar itu Namjoon mengangguk pelan.

Tetapi kemenangan tetaplah kemenangan bagi Namjoon. Kali ini pun setelah akhirnya kembali ke kampung dan mengikuti lomba tujuh belas agustus lagi, Namjoon berhasil mempertahankan gelarnya. Jawara Kampung Salikur. Setiap cabang lomba yang diikuti, dialah pemenangnya. Warga satu kelurahan begitu mudah mengenalnya. Jika bukan karena wabah pandemi, tahun ini pun mungkin dia akan tetap bekerja di ibu kota. Kesempatan langka itu diambilnya, agar bisa pulang barang satu atau dua bulan ke kampung.

Pada dasarnya, pemuda bernama lengkap Namjoon Kosasih ini memiliki jiwa kompetitif yang tinggi. Mengikuti berbagai lomba, amat memanjakan adrenalinnya. Dulu kala masih SMA, dia pernah ketahuan tanding judi ikan di kolam Wa Haji Suga bersama pemuda dari berbagai kampung. Ayahnya begitu marah, mengancam menghapus namanya dari kartu keluarga. Terdengar berlebihan, tetapi Namjoon tahu ayahnya amat serius. Tanding judi adalah hal baru baginya, pun tak butuh usaha banyak untuk menang. Karena bantuan sesosok wanita di sana, hari itulah pertama mereka bertemu. Namjoon pikir, mungkin di sekitar kolam ikan Wa Haji Suga ada tempat bersemayam sosok itu.

“Neng Suji, nanti di sana jangan minta jajan macam-macam, ya?” titah Namjoon, terakhir dia membawanya ke pasar malam, wanita itu selalu minta dibelikan aksesoris seperti ikat  rambut, bando, dan sebagainya. Selain bingung harus menyimpan muka di mana, dia pun tidak ingin membiasakan hal itu. Bisi tuman2, keluh Namjoon.

Suji mengangguk cepat, daripada tidak diizinkan ikut sama sekali.

Namjoon mengacungkan jempol ke arahnya, lalu segera mengenakan masker kain di wajah. Dirasa tidak ada yang kurang, dia pun bergerak meraih gagang pintu.

“Aa!” seru Suji, “katanya mau ngajak Neng!”

Kening Namjoon berkedut, “eh, iya, hampir lupa!” Namjoon menarik laci meja, dan mengambil sebuah bulu unggas hitam sepanjang lima belas senti, “ayo!”

Suji tersenyum lebar, berjalan mengekor di balik punggung pemuda tinggi itu.

Selepas waktu isya malam ini, masyarakat mengadakan malam puncak tujuh belas agustusan. Karena diadakan secara bersama satu kelurahan, tentulah bukan acara kecil. Di sana nanti akan ada banyak pertunjukan seni, dan tidak sedikit orang memanfaatkannya untuk berjualan. Serta pembagian hadiah pun dilakukan saat itu juga. Namjoon bisa membayangkan hiruk pikuk yang ada di lapangan nanti, antusias warga tidak surut kendati di tengah pandemi saat ini, mungkin karena virus belum menyentuh kampung mereka.

Jarum pendek jam menunjuk angka sembilan, acara sudah berjalan separuhnya. Namjoon berdecak, dirinya masih tertahan di rumah. Oleh ayahnya.

“Usiamu sebentar lagi dua puluh tujuh tahun, pekerjaan pun sudah mapan. Rek nungguan naon deui3?”

Namjoon menghela napas panjang, seraya menghempaskan punggung di sandaran kursi. Hampir dua jam ayahnya berpidato dengan satu tujuan; menyuruhnya menikah. Jika saja bukan karena wasiat Wa Haji Suga yang sekarang sakit keras, jika saja ayahnya bukan saudara persepupuan dengan Wa Haji Suga, jika saja dirinya tidak bekerja di ibu kota, jika saja ... mungkin ayahnya tidak akan setegas ini mendesaknya menikah.

“Teungteuingeun na teh mun maneh nolak4, Joon! Kasihan juga Neng Ros sudah diterima di kampus itu, kita niatkan saja untuk menolong. Lagi pula menikah itu ibadah.”

“Benar kata Hoseok. Kamu boleh pertimbangkan lagi jawabanmu, Joon. Jangan pikirkan diri sendiri!” ayah membenarkan ucapan Kakaknya.

Obrolan ini akan kian alot. Sekali pun dirinya menolak sampai mulut berbusa, ayah pasti akan meminta untuk pertimbangan kembali. Hingga jawaban yang didengar sesuai apa yang diinginkan. Sebab memang seperti itulah cara ayahnya memaksa.

Ngagawekeun pisan!5 rutuk batin Namjoon. Kenapa kepentingan Neng Ros kuliah jadi berada di tangannya. Salah gadis itu sendiri ingin kuliah, belum lagi jurusan yang diincarnya ada di ibu kota. Padahal jika memang Wa Haji Suga mengkhawatirkan anak gadisnya, kenapa tidak dicegah saja keinginan Neng Ros itu, bukan memberi titah sepupunya untuk menikahkan anak mereka. Hanya agar Neng Ros ada yang menjaga di ibu kota nanti. Sembari kuliah juga mengurus rumah tangga. Memangnya akan mudah?

Menikah belum tercatat dalam rencana hidup Namjoon. Tapi melihat tatapan mengiba dari ayah dan kakaknya, terlebih mata basah ibunya, air muka Namjoon berangsur melunak.

“Baiklah, aku bersedia!” wajah-wajah itu pun seketika semringah, serentak menggumam-gumamkan kalimat puji dan syukur. Setelah berpamitan, Namjoon pun segera keluar.

“Sepertinya Namjoon tidak sedang disukai oleh jin, buktinya dia masih mau menikah,” ucap Hoseok hati-hati pada orangtuanya, yang segera dibenarkan bersama. Kecurigaan muncul karena Namjoon tidak pernah terlihat dekat dengan wanita, apalagi pacar. Sejak beberapa bulan ini Hoseok semakin merasakan keanehan, dia pun pernah tidak sengaja melihat sebuah bulu hitam misterius menyembul dari saku celana adiknya. Sudah tentu tidak lazim seseorang membawa benda tersebut ke mana-mana. Tapi dugaannya runtuh malam ini.

“Aa pokoknya jangan menikah sama wanita itu!” Namjoon terkesiap, dua tangan mungil terjulur melingkari lehernya dari belakang. Suji baru menampakkan dirinya lagi.

Namjoon berusaha mengurai lengan pucat nan dingin itu, untuk segera menatap wajahnya. “Neng dengar semua obrolan tadi?”

Wanita itu mengangguk lemah, kepalanya tertuduk dalam, “Aa kan sukanya sama Neng, kenapa Aa malah mau nikahin perempuan lain? Pokoknya Aa nikahnya harus sama Neng!” Suji mengangkat wajah dengan suara parau, cairan hitam yang menggurat pipinya mungkin saja itu air matanya.

“Ap-apa?” berseru tertahan, Namjoon segera menoleh ke segala arah, rumah warga yang hanya terhalang beberapa pohon tampak sepi, dia pun menurunkan maskernya ke dagu untuk lebih leluasa berbicara dengan Suji, “Apa? Kapan aku bilang suka sama kamu?”

“Itu buktinya Aa masih simpan benda punya Neng! Aa juga ngizinin Neng ikut ke mana-mana!”

Namjoon tercekat. Sambil berdecak, ia mengurut dahinya pelan. Apa dirinya tidak cukup peka untuk menebak hal seperti ini bisa terjadi dalam hidupnya. Dari dulu dia malas berhubungan dengan makhluk rumit bernama wanita. Cukup ibunya saja yang dia butuhkan. Dan hanya pada detik ini dia baru sadari, wanita dari kalangan astral pun sama rumitnya.

“Nih, kukembalikan padamu! Kuharap tidak ada lagi salah paham di antara kita.” Namjoon mengulurkan bulu itu.

Setelah memberi tatapan lekat, Suji meraih bulu dan tangan Namjoon bersamaan. Satu kali entakkan, tubuh mungilnya mampu membuat pemuda itu limbung serta tersungkur di tanah. Namjoon berusaha segera bangkit, tetapi tangan dan kakinya seketika kaku seperti ada tali tak kasat mata menjeratnya. Pemuda itu berhasil mendudukkan diri, dilihatnya sesosok wanita memeluk lutut menundukkan wajah, bahu dengan sayap hitam compang-camping itu bergetar. Rupanya Suji menampakkan wujud aslinya, gaun putih yang biasa dikenakannya itu pun terlihat lebih kusam. Apa pun itu Namjoon bingung, dia tidak tau cara menghadapi wanita yang sedang menangis.

Menjelang tengah malam, pintu rumah diketuk seseorang.

“Mang Seokjin, ini hadiah punya A Namjoon belum dibawa dari panitia.” Setelah menerima ucapan terima kasih, pemuda itu pun pamit.

“Ayah, ada siapa tadi?” Hoseok yang hendak ke toilet berpapasan, melihat bingkisan di tangan Seokjin. Mereka berdua sama-sama mengerutkan kening. Biasanya penyerahan hadiah dilakukan di atas panggung acara, dan bukannya tadi Namjoon pergi untuk mengambil itu. Keduanya mencoba berbaik sangka, mungkin saja Namjoon pergi ke tempat lain.

Namun keesokan harinya, pemuda yang dikenal sebagai jawara kampung Salikur itu belum juga pulang.

***

“Berita hilangnya A Namjoon beredar cepat. Katanya sih diculik kuntilanak lah, atau jin gitu. Tapi A Hoseok kayaknya dapet wangsit, nyuruh warga buat bantu melempari kebun bambu kuning itu dengan kerikil yang sambil terus dibacakan ta’awudz.”

“A Taehyung, yang itu bukan!” seorang anak menunjuk satu kebun bambu yang paling rimbun di dekat mereka.

“Hush ... jangan ditunjuk gitu!” sergah Taehyung, merendahkan suaranya lagi untuk melanjutkan, “ajaib! Setelah dilempari batu-batu, A Namjoon pun ketemu, dia pingsan di antara pepohonan. Kata A Namjoon saat sadar, dia ngerasa baru pergi dua atau tiga jam-an, padahal dia sudah hilang hampir tiga hari lamanya. Tapi A Namjoon sekarang baik-baik saja, bahkan sudah punya bayi di ibu kota sama Teh Ros.” Pungkas Taehyung.

Peristiwa dari tiga tahun lamanya, seolah menjadi legenda yang sengaja diabadikan warga kampung Salikur. Sang Jawara Namjoon Kosasih makin dikenal banyak orang, apalagi saat itu berita kehilangannya sampai viral di internet. Tapi orang-orang masih belum tahu, mengenai sosok Suji sebenarnya, sosok yang kerap menyerupai angsa hitam kala menampakkan diri.

“Barudak, ayo pulang! Sudah sore banget nih!” teriak Taehyung. Para pemuda baru saja selesai membangun arena lomba di tepian kolam Wa Haji Suga untuk agustusan besok. Taehyung iseng bercerita pada anak-anak SD yang turut antusias menonton kesibukan para pemuda karang taruna.

Lapangan dan kolam Wa Haji Suga yang berdekatan, menjadi tempat strategis untuk gelaran momen kemerdekaan. Wa Haji Suga pun tidak pernah keberatan, kolamnya sudah seperti menjadi milik bersama. Bahkan meski Wa Haji Suga telah meninggal, kolam ikan itu tetap dibiarkan begitu oleh ahli warisnya.

“Hei, kalian berhenti! Airnya muncrat kena bajuku!” Taehyung memrotes dua teman sebayanya. Tinggal mereka yang masih berada di dalam kolam, bahkan keduanya pun sudah basah kuyup, “Jimin! Jungkook! Aku pulang duluan nih, buat ngaduin kalian sama emak kalian masing-masing!”

“Jangan gitu lah!” Jimin segera menepi, gelak tawa mereka belum reda. Melihat tingkah temannya ini, Taehyung tidak percaya bahwa mereka sebentar lagi lulus SMA.

“Eh, sebentar! Telingaku kemasukan air nih!” Jungkook mengeluh, dia kemudian memukul pelan kepalanya.

“Coba kamu cari bulu ayam sana, nanti cuci baru pakai itu ke telingamu!” usul Taehyung.

Tak tahan telinganya tersumbat, Jungkook segera mencari bulu unggas di tepian kolam. Tidak memedulikan apa dua temannya itu menunggui, atau pulang lebih dulu. Hingga sebuah bulu hitam berkilau indah ditemuinya, dan dirasa tak perlu untuk mencuci lagi. Serta merta Jungkook memasukkan ujung bulu itu ke dalam telinga. Sehabis bernapas lega karena tindakannya berhasil, Jungkook sejenak tertegun melihat sesosok wanita berambut hitam legam telah berdiri di hadapannya.

“A, boleh ya Neng main ke rumah Aa?” tanyanya lembut.

Jungkook mengerjap, paras cantiknya tidak begitu familier.

“Eh iya, nama Neng, Suji. Nama Aa siapa?”[]


Catatan:

1 bergiliran

2 takutnya jadi kebiasaan

3 mau menunggu apa lagi

4 keterlaluan jika kamu menolak

5 merepotkan sekali