
“Aku menyukaimu sejak lama,” ucap seorang laki-laki bernama Kevin—salah satu dari jajaran pangeran sekolah yang kini berdiri di depan Drea.
“Ha? Betulan? Aku juga loh!” seru Drea sambil melompat kegirangan.
“Kalau begitu, apakah kamu mau jadi kek—”
Tiba-tiba saja ucapan Kevin terhenti. Berganti menjadi sebuah teriakan yang membuat Drea terbangun dari mimpi indahnya, yang hanya terjadi sekali seumur hidup.
“Drea, bangun cepat! Udah jam berapa ini ha? Kamu mau gak sekolah, iya? Bangun cepat! Nanti kalo telat malah nangis-nangis. Lihat aja, Mama gak mau peduli nanti kalau kamu sampai terlambat,” ucap seorang wanita paruh baya sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar putrinya.
“Astaga, sekolah dimulai satu jam lagi loh, Ma, tidur 10 menit lagi juga masih bisa loh, Ma,” ucap Drea sambil membuka pintu kamarnya.
“Bibir kamu itu sana yang 10 menit lagi! Cepat siap-siap ke seko—,” tiba-tiba ucapan sang ibu terhenti karena begitu terkejut melihat kondisi kamar dari sang putri.
“Kamu habis ngapain ha? Kamar perempuan kok kayak begini. Kertas berserakan di mana-mana, astaga, Drea! Tiap hari bikin mamanya pusing aja, gak pernah bisa bikin mamanya senang sesekali. Lihat aja, sebentar lagi Mama datang dan kamar kamu masih tetap kayak begini, Mama hajar kamu,” ucap sang ibu lalu berjalan pergi menuju dapur, melanjutkan kegiatan memasak untuk keluarganya.
Drea menghela napas kasar, lama-lama ia terbiasa dengan ibunya yang akan selalu memarahinya untuk membangunkan dirinya di pagi hari, “Ck, padahal tadi lagi mimpiin Kevin. Miris banget,” ucap Drea.
“Cih, padahal kalau Kakak tidak apa-apa kalau kamarnya berantakan. Dasar orang tua yang melakukan tindak diskriminasi kepada anak bungsu,” cibir Drea sambil merapikan kamarnya yang terlihat seperti adanya badai yang menerpa kamarnya.
Terlihat banyak kertas berserakan di lantai kamarnya, handphone yang beberapa jam yang lalu masih saja memutar musik, dan laptop yang masih dalam keadaan terbuka.
“Ck, karena mengerjakan majalah sekolah, aku jadi kurang tidur begini, dan kamarku jadi berantakan. Hah, aku hanya tidur sekitar 3 jam kurang saja tadi,” gerutu Drea yang kini mulai bersiap menuju sekolahnya, SMA YRC atau SMA Yuk Raih Cita-Cita, yang merupakan salah satu sekolah favorit dan terpopuler di kota tersebut.
***
Drea sedang bersama teman-temannya di perpustakaan sekolah. Yang mana karena gedung SMA dan SMP bersebelahan, jadi perpustakaan tersebut digunakan juga oleh murid-murid SMP.
“Haih, kenapa banyak sekali anak SMP jam segini? Sejak 30 menit yang lalu kan anak SMP sudah pulang sekolah sebenarnya, kenapa mereka masih banyak di perpustakaan?” gerutu Drea ketika ia sedang menyusuri perpustakaan bersama kedua temannya.
“Tapi kayaknya biasa saja. Lagi pula, kenapa kalau mereka masih di perpustakaan jam segini? Kita juga seperti mereka kan? Saat bel pulang berbunyi, kita bukannya pulang, tapi malah ke perpustakaan,” ucap Vina.
“Tapi konteksnya beda,” ucap Drea sambil menatap dengan kesal para murid SMP yang berada di salah satu rak.
“Beda dari mananya? Kita ke sini buat pinjam buku, mereka juga. Kamu harusnya senang melihat mereka rajin ke perpustakaan,” ucap Vina lagi yang sedang memilih-milih buku yang ingin ia pinjam.
“Ck, Vina, Vina, kamu masih gak ngerti ternyata. Sebenarnya Drea ngomong kayak gitu karena malu buat mengambil buku di rak sana,” ucap Caca sambil menunjuk ke arah rak yang menyediakan banyak komik.
Vina dan Caca menatap Drea dengan tatapan mengejek, “Cih, ternyata cuma gara-gara komik aja. Ya udah, pergi aja sana, kenapa kamu sampai harus menggerutu begitu karena mereka di sana?” tanya Vina.
“Aku takut ditertawai sama mereka. Apa kamu gak lihat para anak SMP yang ada di rak itu adalah laki-laki. Kan aku perempuan, ya malu dong,” ucap Drea dengan wajah memerah.
Vian dan Caca saling bertatapan, “Ada apa dengan ekspresimu itu ha? Kenapa kamu malu coba sama anak-anak SMP itu? Kamu pikir mereka bakal godain kamu? Mereka melirikmu aja nggak,” ucap Vina.
“Apa yang dikatakan Vina itu jahat, tapi ya memang benar sih. Kan secara umur, mereka adalah adik kita sih, jadi buat apa malu? Harusnya kamu memasang wajah malu merona begitu ketika bertemu Kevin,” ucap Caca.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah mendapat buku yang ingin mereka pinjam.
“Gimana? Anak SMP itu godain kamu?” tanya Caca ketika mereka sedang berjalan ke arah tempat peminjaman buku.
“Ck, stop,” ucap Drea dengan wajah dingin.
Ingatan sewaktu Drea mendekat ke rak yang berisikan kumpulan komik itu pun terputar di dalam kepada Drea. Yang mana ketika Drea mendekat dan mengambil salah satu komik di rak tersebut, tiba-tiba saja para murid SMP yang sejak tadi ada di sana langsung menjauh, pergi meninggalkan Drea sendirian di rak tersebut.
“Ck, dasar anak SMA, bisanya ganggu aja,” ucap salah seorang dari murid SMP itu, sambil berjalan meninggalkan rak tersebut.
Ucapan itu terdengar sampai ke telinga Drea, dan sampai sekarang Drea masih bisa mendengar perkataan tersebut di telinganya. Seakan orang yang tadi mengatakannya berada tepat di samping Drea dan meneriaki Drea menggunakan kata tersebut.
“Hih, dasar bocah SMP nyebelin,” gerutu Drea sambil meremas kuat buku yang ada di tangannya, untuk melampiaskan rasa kesalnya kepada murid SMP yang mengatainya.
“Haih, udahlah. Anak SMP memang begitu. Adikku yang SMP juga demikian. Maklumi aja,” ucap Caca sambil mengusap punggung Drea untuk membuat Drea tenang.
“Tapi harga diriku terasa terinjak-injak, Ca,” ucap Drea dengan mata yang berkaca-kaca.
“Ekhem, kalian mau sampai kapan bicara di tengah jalan seperti ini?” ucap seseorang yang berada di belakang mereka, membuat mereka bertiga tersentak.
“Eh maaf,” ucap mereka sambil membukakan jalan kepada orang tersebut.
Drea menatap orang tersebut hingga bayangan orang itu hilang, “Kevin?” ucap Drea sambil menatap punggung orang tersebut hingga bayangannya hilang.
“Hei, udah ngelihatinnya, Kevin udah pergi keluar perpustakaan. Sekarang ayo kita pinjam buku ini,” ucap Vina menarik tangan Drea.
“Bu Linda, kami mau pinjam buku, Bu,” ucap Vina.
“Oh kalian lagi? Rajin banget ya kalian baca buku. Senang deh Ibu kalau ada orang yang suka baca buku,” ucap Bu Linda, sang penjaga perpustakaan.
“Ini, Bu, saya pinjam 3 komik pelajaran ya Bu,” ucap Drea sambil memberikan buku yang ingin ia pinjam kepada Bu Linda.
Saat Bu Linda sedang menulis tanggal pengembalian buku tersebut, tiba-tiba beliau berseru, “Astaga! Hampir saja Ibu lupa. Ada yang mau Ibu kasih ke kamu. Kayaknya kamu kelupaan bawa pulang ini deh kemarin,” ucap Bu Linda sambil mengambil sesuatu di lacinya.
“Nah, ini dia. Ini buku kamu kan? Awalnya ibu gak tahu itu buku siapa, tapi pas Ibu lihat ada gambar wajah kamu di situ, baru deh Ibu tahu kalau itu punya kamu. Nih, Ibu kembalikan. Tenang aja, Ibu gak ada baca isinya kok, cuma lihat sekilas aja kalau itu isinya tentang panduan memikat orang yang kita suka,” ucap Bu Linda sambil memberikan buku catatan tersebut kepada Drea.
“HA? BUKU APAAN NIH?” seru mereka bertiga ketika melihat isi buku catatan tersebut.
Terlihat adanya wajah Drea yang digambar dengan pensil pada halaman pertama buku catatan tersebut. Kemudian sebuah tulisan besar yang memenuhi lembaran kedua buku tersebut, yang bertuliskan Panduan Memikat Gebetan.
“Drea, ini punyamu?” tanya Vina dengan suara yang terdengar seperti orang yang sangat terkejut dan takut secara bersamaan.
Drea menggelengkan kepalanya, “Bukan, bukan aku, betulan. Lagian seandainya ini punyaku, buat apa coba aku menggambar wajahku sendiri di sini? Lebih baik aku menulis namaku saja sebagai pertanda kalau ini buku ini milikku,” ucap Drea sambil membolak-balikkan buku catatan tersebut, melihat apa saja yang ditulis di sana.
“Terus siapa coba yang punya buku ini? Mana pake acara gambar muka orang lain, terus buku catatannya juga cuma 30 lembar aja, gak sopan dan gak modal banget yang punya ini buku. Di buku catatan yang lembar 50 kek atau yang 100 lembar kek biar agar mewah gitu,” ucap Vina yang ikut memperhatikan buku tersebut.
“Tapi buat apa juga orang yang punya buku ini beli buku lembar 50 atau 100? Lihat saja buku ini, walaupun cuma 30 lembar, tapi yang dipakai gak semuanya, masih ada sisa banyak lembaran yang belum dipakai. Jadi orang ini pasti udah memperkirakan kalau dia memang hanya butuh buku 30 lembar aja,” ucap Caca membela sang pemilik buku tersebut, yang sebenarnya entah siapa.
“Ah ini, Bu, saya kembalikan bukunya. Soalnya ini bukan milik saya,” ucap Drea menyodorkan kembali buku tersebut kepada Bu Linda.
Namun Bu Linda yang sejak tadi mengurus buku yang hendak mereka bertiga pinjam, hanya menggelengkan kepalanya, menolak Drea mengembalikan buku itu kepadanya.
“Sudah dua hari loh buku itu ada di sini, dan tidak seorang pun yang melapor ke Ibu kalau ada yang kehilangan buku. Jadi Ibu minta tolong, kamu kembalikan buku ini ke pemiliknya ya? Kalau dari hasil analisis Ibu sih, orang itu pasti kenal kamu, makanya dia sampai gambar wajah kamu. Jadi tolong kembalikan ke pemiliknya ya,” ucap Bu Linda.
“Tapi saya kan gak tahu siapa pemiliknya Bu,” ucap Drea dengan wajah memelas menatap sang penjaga perpustakaan.
“Ya kalau begitu, bukunya buat kamu saja. Kan lumayan tuh bisa kamu pakai tips yang ada di dalam buku itu buat pendekatan sama orang yang kamu suka. Ih, kalau Ibu masih gadis, udah Ibu pakai tuh bukunya buat dapatin orang yang Ibu suka. Ingat loh, kalau ada kesempatan, ya jangan dilewatkan, nanti nyesal jadinya,” ucap Bu Linda dengan nada yang meyakinkan.
Terlihat wajah Drea yang kini seperti ragu-ragu. Walau awalnya ia sangat tidak ingin membawa buku itu pergi dengannya, karena merasa takut dengan isi buku tersebut, apalagi dengan adanya gambar dirinya. Namun, ucapan dari Bu Linda mampu menggoyahkan hatinya.
“Gimana, Dre? Mau bawa buku itu jadinya? Lumayan loh tips yang ada di dalamnya bisa digunain buat dapatin Kevin. Kan kita bertiga gak ada yang pengalaman pacaran, jadi kayaknya buku ini bisa berguna banget buat bantu kamu,” ucap Caca.
“Terus gimana kalau orang yang punya datang cari buku ini? Yang pastinya orang itu suka sama Drea kan, karena di buku ini ada gambar wajah Drea. Lalu kita gimana? Kembaliin buku ini ke pemiliknya, lalu melanjutkan hidup seakan gak ada yang terjadi, begitu?” ucap Vina yang menolak keras untuk membawa pulang buku tersebut.
“Ih Vina gitu deh. Dengar ya, Vina, kan tadi Ibu udah bilang, dari kemarin gak ada yang melapor ke Ibu kalau bukunya hilang di sini. Jadi kemungkinan besar sih, orang yang punya buku ini udah ikhlas bukunya hilang. Lagian bukunya kan bisa kamu pakai juga buat dekatin orang yang kamu suka,” ucap Bu Linda lagi.
“Nah benar tuh, Vin, kan kamu bisa memakainya buat dekatin kak Dandi atau Kak Jordan,” ucap Caca sambil menaik turunkan alisnya, menggoda Vina.
“Bu, bukunya udah bisa diambil kan?” tanya Vina yang tak menjawab ucapan Caca.
“Oh udah, nih, dua minggu lagi kembalikan ya,” ucap Bu Linda mendorong buku yang ada di depannya ke dekat Vina.
“Kami pergi ya, Bu,” ucap Vina membawa buku yang ia pinjam dan dengan gerakan cepat mengambil buku yang tadi Drea pegang dan membawanya lari.
“Eh!” kejut Drea ketika Vina dengan cepat mengambil buku di tangannya.
“Dih, tuh anak ya emang. Padahal tadi dia pihak yang kontra sama buku itu, eh sekarang malah dia yang bawa lari buku itu buat bisa baca duluan. Licik sekali kamu sobat,” ucap Caca menatap Vina yang berlari ke luar perpustakaan.
“Woi, Vina! Buku itu punyaku woi! Kembalikan itu!” teriak Drea yang kini mengejar Vina, dan menyisakan Caca yang berdiri sendiri di sana, ditemani oleh sang penjaga perpustakaan.
***