Bara memakai kembali celana dan kaos hitamnya, lalu becermin dan merapikan rambutnya. Sementara aku masih berselimut sambil tiduran, kutatap pria itu lekat-lekat.
"Ke mana habis ini?" tanyaku sembari menarik pakaianku.
"Ke tempat buah, " jawabnya. Ia balas menatapku lalu tersenyum, "kenapa? Belum puas?"
Aku langsung tersipu malu, "Ih apaan sih!" dengusku sembari memalingkan wajahku.
Tidak ada jawaban apapun dari pria itu. Aku kembali menoleh padanya, ternyata ia tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Wajahku langsung berubah masam. Aku bangkit dan mulai memakai pakaianku dengan sedikit kesal.
"Kenapa?" Suara lembut itu tak lantas membuat rasa kesalku hilang.
"Siapa?" tanyaku ketus sembari melipat selimut dan merapikan tempat tidur.
"Temen aku, yang pedagang buah. Nanyain kapan aku mau ke sana," jelas Bara lembut. Aku hanya diam sambil memunguti tisu-tisu yang berserakan di sekitar tempat tidur. Bara menghampiriku dan membantuku memunguti tisu-tisu itu.
"Emang kamu pikir siapa?" tanya Bara.
"Pacar kamu," jawabku ketus. Soalnya pria itu malah tertawa, padahal jelas-jelas tidak ada yang lucu sama sekali. Apa rasa sakit hati ini adalah lelucon baginya?
"Liat ini jam berapa? Dia kan kerja kalau jam segini," jawab Bara dengan lembut ia mengusap rambutku namun aku langsung menepis tangannya. Aku berdiri membelakanginya, masih kesal padanya. Lebih tepatnya pada diriku sendiri yang masih belum bisa lepas darinya padahal aku sendiri tahu bahwa dia sudah menjalin hubungan selama empat tahun dengannya.
"Kenapa?" tanya Bara dengan nada membujuk.
Aku diam, entahlah tiba-tiba sesuatu seperti berkecamuk dalam dadaku. Sebuah tangan pun mengalung di perutku dari belakang dibarengi dengan dagu yang disandarkan pada bahuku.
"Sayang, kenapa?" tanya Bara lagi, kali ini bujukannya lebih lembut dari sebelumnya.
Tangisanku pecah saat itu juga. Kenapa aku harus terjebak dalam semua ini?
Pelukan Bara pun ia lepas dari perutku, ia langsung berdiri di hadapanku.
"Kenapa?" tanya Bara lagi, kini terselip kekhawatiran pada nada bicaranya.
"Kenapa kita kayak gini?" tanyaku dengan suara parau, "Aku nggak mau kita kayak gini!"
Bara merangkulku dan membiarkan aku menangis di pelukannya. Sembari mengusap lembut rambutku ia terus meyakinkanku bahwa kita pasti bisa melewati semua ini.
"Sekarang kamu mau gimana? Mau aku mutusin Sheerin? Itu bisa aja--"
"Enggak! Jangan!" selaku. Aku tidak pernah ingin hubungan mereka hancur, aku wanita Sheerin juga wanita sudah terbayang akan sehancur apa jika hubungan empat tahun itu diakhiri begitu saja.
"Tuh kan. Dari awal aku udah bilang, aku bisa putusin Sheerin kapan aja, tapi kamu selalu larang. Tapi sekarang kamu malah kayak gini," tegur Bara.
Aku terdiam. Aku paham, pasti sangat serba salah menjadi seorang Bara. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku ingin Bara yang saat ini tengah bersamaku dan Bara yang milik Sheerin adalah dua orang yang berbeda. Namun itu lebih mustahil dari kata mustahil itu sendiri. Mana mungkin bisa hal itu terjadi.
Tiba-tiba sebuah notifikasi whatsapp masuk ke handphone-ku. Aku hanya meliriknya sementara Bara langsung mengambilnya dan membacanya.
Ia menurunkan ponselku dari pandangannya lalu beralih menatapku dengan tatapan tajam.
"Kamu masih chatan sama dia?" marahnya.
Kedua keningku berkerut, "dia siapa?"
"Fahmi!"
Aku terdiam mengingat-ingat kapan terakhir kali aku chattingan dengannya. Itu sudah lama sekali.
"Aku udah nggak chatan sama dia lama loh. Emang dia ngechat apa?" tanyaku heran.
Bara membating ponselku ke tempat tidur sambil berkata, "dah ah, males!"
Ia mengantongi ponsel dan kunci motornya, mengecup keningku lalu berpamitan dengan nada ketus.
Aku benar-benar heran dengan perubahan sikapnya itu. Memangnya Fahmi mengirim pesan apa sampai bisa membuat Bara semarah itu.
Aku meraih ponselnya dan melihat pesan dari Fahmi yang ternyata...
Bisa nggak kita kayak dulu lagi?