Bukan Novel Romansa dalam Kuil Suci

Bukan Novel Romansa dalam Kuil Suci

apa sih

5

Terkadang aku berharap aku dilahirkan dengan wajah cantik. 

Jangan salah paham, aku cinta diriku. Namun, kita semua tahu, 'kan, menjadi cantik akan membuat hidup jauh lebih mudah. Apalagi kalau memiliki kepribadian yang membuat orang-orang betah untuk terus mengobrol denganmu. Sungguh sempurna!

Sayangnya, tidak satu pun dari keduanya yang mendefinisikan diriku. 

Sekali lagi, aku benar-benar cinta diriku---hanya sedikit rasa ketidakpuasan dan wajar jika aku punya perasaan itu. Pretty privilege is real. Jangan mencoba untuk mengubah pikiranku tentang ini, ya? Akan sangat sia-sia karena kalian tidak akan bisa. 

Aku tidak jelek, wajahku adalah tipe wajah yang bisa kalian temui dengan mudah di jalanan. Dengan kata lain, rata-rata ... atau mungkin dibawah rata-rata ....

Tentang kepribadianku ... umm, aku tidak banyak bersosialisasi.

Ha, ha, ha. 

Jadi begini ... tiga bulan yang lalu, aku dipecat. 

Aku dipecat bukan karena wajahku yang dibawah rata-rata maupun kepribadianku yang menyendiri, melainkan perusahan tempat kerjaku bangkrut. Sebenarnya, pembukaan di atas sama sekali tidak berhubungan dengan aku yang dipecat, aku cuma basa-basi. 

Akan tetapi, aku tidak berbicara omong kosong, kalian akan mengerti nanti. 

Jadi, aku merantau ke sebuah pulau di Indonesia yang selalu aku idamkan untuk tinggal di sana sejak kecil, yaitu Bali. Siapa sih yang tidak ingin satu lingkungan dengan orang-orang ramah dan toleran? Di sana juga ada banyak sekali tempat wisata yang sangat menakjubkan.

Akhirnya, begitu aku lulus SMA delapan tahun yang lalu, aku pindah ke Denpasar. Alasan yang diberikan untuk kedua orangtuaku tentu saja untuk kuliah. Namun, karena aku memang ada niatan untuk tinggal di sana, aku tidak pulang setelah menyelesaikan pendidikanku. 

Aku tahu itu salah, aku tahu aku harus pulang ... setidaknya setahun sekali. 

Ganti topik saja. 

Aku mengontrak sebuah apartemen murah dan kecil di pinggir kota. Aku tinggal sendirian, tidak ada kerabat maupun teman. Yah, hidupku sedikit bagus, sampai aku terkena PHK dua bulan yang lalu. 

Itulah mengapa satu bulan yang lalu, aku memberesi barang-barangku, bersiap-siap pulang ke rumah orangtua. 

Kemudian, sebuah insiden terjadi.

Aku tidak pernah menyangka bahwa kecelakaan bis pada Selasa tanggal 13 Mei 2017 akan membawaku ke dalam novel yang dua bulan lalu aku baca. Aku tidak bercanda. Jika kalian sering membaca novel atau komik, atau menonton film bergenre fantasi, tidak mungkin kalian tidak familiar dengan plot ini.

Jadi, poin yang berusaha aku katakan adalah harapanku akhirnya terkabul. Ketika aku melihat ke cermin, bayangan yang terpantul adalah rambut merah panjang dan mengombak seperti api yang membara megah, alih-alih hitam suram; sepasang mata ungu sebening kristal yang bisa membuatmu tersesat ketika melihatnya, alih-alih hitam suram (cokelat tua sebenarnya, tetapi, tolong, jangan rusak rimanya!); bibir tipis dan merah semerah daun maple dipagi hari musim semi, alih-alih hitam suram; tubuh ramping dan feminin yang dapat membangkitkan hasrat laki-laki mana pun untuk melindungi, alih-alih papan triplek (sayang sekali aku tidak bisa melanjutkan rimanya mulai dari sini); kulit selembut jubah sutera yang membuatmu ingin menyentuhnya setiap hari dan putih seputih batu marmer, alih-alih kasar dan belang seperti zebra cross

Singkatnya, sosok itu sangatlah cantik. Maaf, aku tidak bisa membuat deskripsi yang baik dan akurat. Kalaupun aku bisa, sepertinya seribu kata tidak akan cukup untuk menggambarkan sosok agung nan mempesona layaknya dewi dalam kisah-kisah mitos itu. Merupakan sebuah penghinaan untuk mendeskripsikan sosok itu dibawah seribu kata. 

Bisa dibayangkan perasaanku saat itu, mengetahui bahwa aku telah berubah menjadi wanita yang tak tertandingi cantik. Bahagia? Tentu saja! Namun, hanya butuh satu detik untuk euforia hati itu semuanya runtuh. 

Hal itu karena ... aku teringat keluargaku ....

Walaupun aku tidak dekat dengan mereka, mengetahui bahwa aku sudah mati dan tidak akan bisa menemui mereka lagi membuatku merasa menyesal. Sangat menyesal. Juga sedih. Sangat sedih

Aku tidak tahu mengapa ... bisa-bisanya, diriku untuk satu detik merasa sangat beruntung karena tidak perlu untuk mengunjungi mereka lagi .... Setelah aku pikir-pikir, aku memang anak yang sangat tidak berbakti .... Namun ... tidak ... aku tidak. Aku tidak membenci keluargaku, aku hanya ingin hidup sendiri. Aku ingin kebebasan, seperti kupu-kupu yang terbang bebas dibawah langit lembayung merona senja, menyisip diantara indahnya dan wanginya bunga-bunga lavender di ladang. 

Aku tidak tahu apakah aku sekarang masih dianggap hidup atau sudah mati. Aku adalah seorang gadis katolik. Meskipun aku tidak taat, aku cukup spiritual. Aku tahu bahwa didalam Alkitab, sesuatu yang bernama reinkarnasi itu tidak ada. Namun, keadaanku ini, dengan istilah apa aku harus menyebutnya? Aku tidak yakin jika diriku sekarang sedang berada di akhirat karena dunia ini memang bukan dunia akhirat! Dunia ini adalah dunia novel! Novel yang berjudul Romansa dalam Kuil Suci. 

Aku tidak ingin berpikir jauh tentang ini .... Terlalu rumit untukku yang belum lama ini---tujuh hari---mati. Namun, yang jelas, cerita tentang tiba-tiba seluruh duniaku berputar 180 derajat, lalu batu sungai yang keras meretakkan tengkorakku benar-benar bukan omong kosong. Rasa sakit dan pusing itu nyata. Suara 'krek' setelah tengkorakku menabrak batu sungai juga bukan kesalahan teknis telingaku.

Sayangnya, aku tidak langsung mati. 

Sekitar dua puluh penumpang di bis, tidak ada satu pun dari mereka yang hidup sedikit lebih lama daripada aku. Aku dikelilingi oleh mayat orang-orang yang beberapa waktu lalu masih berbincang-bincang, masih bermain ponsel--

--masih hidup.

Aku hanya bisa menyaksikan air sungai yang jernih perlahan-lahan menjadi merah. Sungai yang mulanya nyaman untuk dinikmati mata dan membuat pikiran tenang, tanpa ampun berubah penuh trauma dalam sekejap. Darah perlahan-lahan menyatu dengan air. Bau-bau kematian tak henti-hentinya meneror pikiranku. Tidak ada ketenangan sama sekali. Aku ... sangat takut. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan roller coaster emosiku pada saat itu. 

Setengah badanku terjepit dan aku benar-benar tidak bisa membebaskan diri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya terus memuji nama Tuhan dan berharap akan datangnya keajaiban dengan memunculkan sekelompok tim SAR pada saat itu juga dan menyelematkan diriku yang sedang sekarat. Aku sangat kedinginan. Angin, terutama angin malam, benar-benar tidak ingin bermain sebentar denganku. Dinginnya air sungai mengalir ganas diantara luka-lukaku. Puing-puing bis semakin dalam menusuk kakiku, hingga akhirnya aku benar-benar tidak merasakan rasa sakitnya lagi. 

Akan tetapi, aku sempat menyaksikan langit siang berganti malam selama dua hari, sebelum pemandangan yang kulihat berubah total menjadi aula yang sangat besar dan hening. Di bawahku, ada banyak sekali orang, mungkin ratusan atau lebih, sedang ... berlutut. Ya, mereka berlutut kepadaku. Sedangkan diriku, berdiri di platform, melihat mereka. Mereka tampak kecil dari atas sini, memberiku perasaan agung.