Bujang Kost Pak Cahyo

Bujang Kost Pak Cahyo

Rachel bee

0

Bimo berdiri dengan wajah serius di depan papan pengumuman penerimaan sejak lima menit lalu. Bibirnya komat-kamit membaca kalimat yang sedikit membingungkan, sedangkan tangannya aktif menulis di buku catatan miliknya. Berkali-kali ia membaca dengan seksama dan memastikannya kembali bahwa tulisannya tidak salah. 


Bimo pun menggeser langkahnya ke arah kiri. Niatnya ingin mencari nama dan kelompok mana ia ditempatkan. Namun saat ia hendak menelusuri namanya di papan pengumuman, tiba-tiba saja seorang gadis bertubuh mungil datang lalu berdiri tepat di depannya. 


Bimo mengerutkan dahinya. Merasa kesal karena ulah gadis itu, ia menepuk pelan bahunya hingga gadis itupun menoleh ke arahnya. 


“Kenapa ya, Mas?” tanyanya pada Bimo. Wajah bulat dan matanya yang besar membuat Bimo terkesima. 


‘Cantik.’ 


“Boleh sedikit bergeser? Gue juga mau baca pengumuman.” 


Gadis itu mengangguk. Ia sedikit memundurkan langkahnya ke samping memberikan ruang pada Bimo untuk mencari namanya. Gadis itu hanya diam menunggu Bimo selesai membaca sambil melirik ke arahnya. Merasa kasihan, Bimo pun bertanya lagi padanya. “Namanya siapa? Biar gue bantu cari.” 


“Rayya, Rayya Lestari.” 


Bimo segera mencari nama gadis tadi di urutan paling bawah. Bibirnya tersenyum saat melihat nama gadis itu terpampang dengan nama kelompok yang sama dengan dirinya. 


“Nama lu ada di urutan bawah, kelompok lima,” jawab Bimo. Bibir Rayya menyunggingkan senyum manis. Ia segera mencatat namanya di dalam buku yang dibawanya. 


“Terima kasih ya, Mas. Boleh tahu namanya?” 


Bimo mengulurkan tangannya, mengajak gadis itu berkenalan. “Boleh. Nama gue Bimo, Bimo Tri Waluyo. Salam kenal.” 


“Rayya Lestari. Salam kenal juga.” 


Sejak perkenalan itulah Rayya dan Bimo saling dekat dan sering bertukar pesan. Bimo yang jatuh hati pada pandangan pertama berusaha mengejar Rayya untuk dijadikannya sebagai kekasuh hati. Namun, itu tidaklah mudah karena banyak pria mengejar gadis cantik itu termasuk kakak kelasnya. 


*** 


“Bim, Bimo....” 


Seseorang melambaikan tangannya dari jauh. Mata Bimo tampak menyipit, lalu melengos ke samping mengabaikan lambaian tangan itu. 


"Bim, Rayya tuh." Abbi menyikut lengannya. 


Bimo berpura tak melihatnya. Ia malah sibuk memilih menu makan siangnya hari ini. 


"Bodo amat," batin Bimo dalam hati. 


"Hadi, gue minta udang asam manis," teriaknya pada Hadi yang sedang memesan makanan di ujung dekat tempat bakaran. 


"Ok!" 


Suasana warung tenda di dekat parkiran sebuah mall di utara Jakarta siang itu begitu ramai. Banyak pengunjung yang datang hanya untuk sekedar mencoba menu makanan laut yang sudah terkenal sejak sepuluh tahun yang lalu. 


Bimo dan teman-temannya tergiur harga miring menu di sana. Katanya, cocok untuk mahasiswa rantau yang uang bulanannya selalu mepet. Kapan lagi makan makanan enak tapi ramah di dompet. 


"Kenapa ada Rayya di sana?" tunjuk Kuncoro ke arah seberang yang tengah bersiap menyantap kepiting saus Padang kesukaannya. "Kata gue sih, lu jodoh ketemu sama dia. Ya, walaupun ada si bedebah di sampingnya." 


Bimo mendecih. Ia berdiri mengambil piring udang asam manis pesanannya lalu kembali ke meja dengan membawa sepiring nasi hangat yang asapnya masih mengepul. 


"Makan beginian kalau di kampung pasti setahun sekali," celetuk Bimo. Nasi panas itu dikepalnya, lalu udang dimasukkan ke dalam kepalan. Bulat-bulat ia gigit nasi kepal itu lalu dikunyahnya hingga pipinya terlihat menggembung. 


Kuncoro jadi melongo melihat kelakuan aneh Bimo. 


"Bulet-bulet lu telen?" 


"Kenapwa mwemang?" mulut bimo penuh dengan makanan. Kuncoro menggelengkan kepalanya heran. "Ini enak, Kun." 


"Aneh." 


Melihat cara makan Bimo yang tak biasa, membuat kedua temannya yang lain spontan membelalakkan matanya. Biasanya, Bimo hanya makan sedikit tapi hari ini malah sebaliknya. Dua piring munjung nasi habis dalam sekejap. 


"Makan apa kesurupan?" gumam Abbi. 


Tiba-tiba ide aneh melintas di kepala Kuncoro. Tangannya yang besar menepuk bahu Hadi lalu berteriak kencang sambil menunjuk ke sebelahnya, “Di, lu ambil daun kemangi, sini kasih ke gue.” 


“Ini?” tanya Hadi yang dibalas anggukan oleh Kuncoro. 


Kuncoro pun meraih daun kemangi yang diberikan oleh Hadi lalu mencelupkannya ke dalam kobokan air di dalam mangkuk.  


Ia berdiri mendekati Bimo yang masih menikmati makanannya. 


Pratt Pratt 


"Slaman slumun Mbah Slamet tolong usir jin pengganggu dari badan temen saya." Kuncoro komat-kamit sambil terus menciprati Bimo dengan air kemangi tadi. 


“Eh, mau diapain tuh anak orang?" teriak Hadi. 


Beberapa orang di sana tertawa melihat tingkah Kuncoro dan Bimo tak terkecuali Rayya di seberangnya. 


"Sini!" Bimo menarik daun kemangi di tangan Kuncoro lalu membalas kelakuan temannya itu. 


Bimo mengusap wajahnya yang basah lalu melirik sinis pada Kuncoro yang malah tersenyum memperlihatkan giginya. 


“Sorry, Bim. Gue kira lu kesurupan setan laper. Sorry.” 


Setelah itu, Bimo kembali ke tempat duduknya semula menikmati hidangan yang tersisa. Abbi dan Hadi hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum malu pada beberapa pengunjung yang lain. 


“Malu-maluin aja lu.” 


Di ujung seberang sana, tampak Rayya sedang menahan tawanya. Berkali-kali ia menutup mulutnya dengan tangan. 


Pria di sampingnya yang bernama Marco terganggu karena ulah Rayya. Ia menoleh, alisnya sempat menukik. Tatapannya beralih pada sekumpulan orang di seberang sana yang sedang menertawai sesuatu. 


“Rayya, kalau lagi makan jangan tertawa. Nanti kamu tersedak.” Marco menegur Rayya. Ia sedikit risih jika ada orang berbicara atau tertawa saat makan. 


“Itu, mereka lucu,” tunjuk Rayya pada gerombolan Bimo. 


“Tapi itu enggak bagus. Aku enggak suka,” ujar Marco dengan nada ketus. Rayya pun segera menutup mulutnya dan kembali meneruskan acara makannya. 


“Aku selesai.” Rayya menyapu bibirnya dengan tisu, dibantu oleh Marco yang sengaja ingin membuat gerombolan di ujung sana terbakar. 


Sulut api yang sengaja diciptakan oleh Marco membuat Bimo menyala. Kepalanya mendidih melihat adegan mesra terpampang di depan mata. Kuncoro yang paham dengan situasi itu bukannya meredakan, dia malah menjadi bensin agar apinya membesar. 


“Hareudang, euy. Hareudang. Hareudang enggak, Kun?” teriak Hadi sambil melirik Bimo dan pasangan di depannya. Kuncoro tersenyum. Ia mengacungkan dua jempolnya. 


“Hareudang banget,” teriak Kuncoro hingga membuat pemilik warung mendatangi mereka. 


“Maaf ya, Mas. Kipas anginnya memang lagi diservis. Makanya sedikit panas, tapi ada kipas atap kok.” tunjuk bapak pemilik warung ke langit-langit warung tendanya. 


“Bukan warungnya, hati teman saya Pak. Kemarin katanya ditolak sama cewek yang dia suka, eh enggak tahunya ceweknya pacaran sama orang lain," celetuk Hadi. 


"Alasannya basi, Pak. Katanya enggak mau pacaran terus anggep teman saya hanya sebatas teman. Basi banget kan, Pak?” tambah Kuncoro yang sengaja bicara dengan suara lantang. 


Bimo menyikut lengan Kuncoro dan melotot ke arahnya. “Malu-maluin aja.” 


Marco mendengus di ujung sana. 


“Memalukan! Kumpulan cowok norak. Untung kamu enggak pilih dia,” ujar Marco. Rayya tak menjawab. Ia memilih diam lalu menganggukkan kepalanya. “Ayo pulang.”