Ririn terbangun dari tidurnya karena lagi-lagi mendengar orangtuanya bertengkar. Ia terduduk di pojokan tempat tidurnya, lalu menekuk lutut. Telinganya ia tutup rapat karena tak tahan dengan suara ribut mereka. Gadis itu tidak berdaya. Yang hanya bisa ia lakukan adalah menangis, menangis, dan menangis.
“Bunda.. Ayah.. Ririn capek denger bunda sama ayah berantem terus. Ririn capek liat kalian lempar-lempar barang, Yah.. Bun.. Kapan kalian bisa berhenti marah-marah terus?” kata Ririn di tengah isak tangisnya.
Braakk! Pintu depan berdentum keras. Ia tahu, ayahnya pasti pergi lagi dari rumah mereka.
“Nggak usah kamu pulang lagi ke sini, Mas! Tinggal aja kamu di rumah selingkuhan kamu!” teriak Bunda Ririn.
Tangisan Ririn semakin menjadi-jadi. Ia tak tahan lagi. Ia berlari keluar kamar, memberanikan diri melihat keadaan Bundanya, walau hanya dari atas tangga. Setelah terdengar suara mobil ayahnya menjauh, gadis kecil itu turun dan menghampiri bundanya yang tengah terisak.
“Bunda.. Bunda nggak kenapa-kenapa, ‘kan? Ayah nggak ngapa-ngapain Bunda, ‘kan?” kata Ririn sembari menghapus air mata bundanya.
Bunda mengkok ke arah Ririn.Wanita itu sedikit terkejut melihat Ririn sudah berada disampingnya. “Ririn keganggu tidurnya ya? Maafin Bunda sama Ayah ya udah bikin Ririn nggak bisa tidur.”
“Nggak kok. Ririn nggak ke ganggu kok sama Ayah sama Bunda. Ririn tadi cuma kebelet pipis, terus denger suara ayah sama bunda yang lagi...” kata-kata Ririn terhenti.
“Yang lagi kenapa?” tanya Bunda halus sembari membelai lembut rambut Ririn.
“Bunda jangan nangis dong. Kalo Bunda nangis, aku juga ikut nangis nanti, Bun. Bunda diem ya. Walaupun nggak ada Ayah, kan masih ada Ririn di sini sama Bunda. Ririn nggak bakalan tinggalin Bunda kayak Ayah tadi. Soalnya Ririn sayang sama Bunda.” ucap Ririn.
Mendengar penuturan Ririn, air mata bunda mengalir lebih deras lagi. Ia memeluk erat Ririn, tak mau kehilangan buah hatinya. Bundanya tak tega memberitahu putrinya jika ia dan suaminya akan segera bercerai. Ia tak ingin, Ririn menjadi sakit hatinya.
Ayah Ririn memutuskan untuk bercerai dengan bunda Ririn karena sejak awal pernikahan mereka, ayah Ririn tidak mencintai bunda Ririn. Mengapa bisa mereka menikah jika ayahnya tidak mencintai bundanya? Itu karena perjanjian antara kedua kakek Ririn yang bersahabat sejak mereka masih kecil. Mereka berjanji jika mereka mempunyai seorang anak perempuan dan laki-laki, akan menjodohkan keduanya.
“Bunda, Ririn ngantuk. Besok Ririn sekolah. Ririn naik lagi ya? Ririn mau tidur dulu.” pamit Ririn.
“Iya, Sayang. Tidur yang nyenyak ya. Mimpi indah,” kata bunda lalu mencium kening dan kedua pipi Ririn.
Ririn berjalan naik menuju kamarnya, tetapi ia berhenti di tangga. Rasanya ia tidak ingin tidur lagi. Dilihatnya sang bunda telah mematikan lampu ruang tengah lalu masuk ke kamar. Bekas lemparan benda-benda berserakan dilantai. Mulai dari vas bunga, piring, bantal, semua benda yang bisa dilemparkan, tidak dibersihkan oleh bundanya.
Ririn kembali turun. Ia menyalakan lampu lalu mengambil sapu dan membersihkan sisa pecahan piring. Hatinya amat sangat sakit. Sejak kecil, ia selalu disuguhi dengan pemandangan seperti ini. Ayah yang selalu marah-marah dengan bunda, bunda yang selalu menangis sendirian di kamarnya, serta seorang tante, yang ia ketahui adalah kekasih ayahnya.
“Coba kalo dulu bunda nggak nikah sama ayah. Mungkin aku nggak akan sedih kayak gini. Coba bukan aku yang jadi anak mereka. Mungkin aku nggak akan nangis tiap malem kalo denger mereka marah-marah," Ririn menarik nafas panjang. "Kapan mereka bisa akur? Aku capek sama keadaan kayak gini. Aku pingin punya orangtua yang akur kayak temen-temen aku,” Disela tangannya membersihkan ruangan yang berantakan tersebut, ia hanya bisa berharap.
“Tuhan, jangan buat mereka marah-marah terus kayak gini. Aku cuma mau mereka akur, mereka damai. Aku sayang sama ayah sama bunda, Tuhan.” Gadis kecil itu menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia menengadah, lalu berdoa pelan. Yang ia mau, keluarganya bisa menjadi utuh seperti keluarga teman-temannya.
Setelah ia selesai membersihkan barang-barang tadi, ia kembali menaiki tangga. Di dudukkan dirinya di ujung tangga. Ia merenung lagi. Tak terasa air matanya sudah membasahi bajunya. Ia biarkan saja bajunya basah. Ririn terus menangis, hingga ia lelah dan tertidur.
***