“Dark Shadow?”
Sandra mengangguk cepat disertai seringai gembira demi menjawab pertanyaan Nathan, salah satu senior editor yang juga merupakan kerabat terdekatnya di Harold & Hammer Publishing yang berlokasi di Rockefeller Plaza, New York. Iris cokelat yang sering mengerling genit padanya, kali ini terbelalak tak percaya mendengar betapa beraninya Sandra menerima tugas menantang dari pemimpin redaksi, Raffael Smith.
“Satu Caramel Frappuccino grande dan satu Caffé Americano tall 3 shots," pesan Sandra ketika tiba di depan meja kasir Starbucks. “Kau pesan apa?”
“Kenapa kau pesan dua minuman?" Sambil menekan satu tangan di pinggir meja kasir dan tangan yang lain berkacak pinggang, Nathan terus menatap Sandra seolah dirinya adalah tersangka kejahatan.
“Aku butuh melek malam ini. Kau tidak ingat kalau aku punya tugas penting?" jelas Sandra seraya mengeluarkan kartu pembayaran dari dompet.
“Dark Shadow itu bukan hanya tugas pen—”
“Kau pesan apa?” potong Sandra cepat, tidak ingin percakapan mereka memperlambat barisan antrean.
"Pistachio Cream Cold Brew grande,” jawab Nathan pada wanita cantik di balik mesin kasir, kemudian kembali menatap Sandra dengan sorot tegas dan bibir mengerucut sarat protes. “Ceritakan padaku selengkapnya!”
“Take it easy, Darling." Sandra menyerahkan kartu pembayaran kepada kasir. Nathan, yang sudah tidak sabar mendengar ceritanya, langsung menggepit lengan Sandra dan menariknya ke area pengambilan pesanan setelah ia memasukkan kembali kartu pembayaran ke dompet.
“Aku sudah sabar selama lima menit. Sekarang, cerita!” Nathan menuntut dengan tatapan yang sedari tadi tak henti-hentinya mengunci Sandra. Namun kali ini, kedua tangan pria itu terlipat di depan dada, sehingga barisan kancing kemeja di area perutnya yang sedikit berisi terlihat seperti ingin lepas dari tempatnya.
“Astaga, Nat! Tak bisakah kau menunggu sampai kita duduk?”
“Tidak!” jawab Nathan secepat kilat menyambar. “Tingkat kesabaranku sangatlah tipis. Kau tahu itu, Darling. Cepat cerita padaku atau aku bakalan kena serangan jantung.”
“Jangan bercanda! Jantungmu baik-baik saja.”
“Tidak ada yang baik-baik saja jika berkaitan dengan Dark Shadow," tukas Nathan, kemudian menyugar rambut hitam pekat yang mulai menutupi kening dan hampir menyentuh kelopak mata. Gaya kemayu dan kedipan bulu mata centil itu membuat pria berwajah oval dan bertubuh sintal yang saat ini berdiri di hadapan Sandra malah terlihat makin menggemaskan. Usia mereka memang tidak terlalu jauh. Nathan hanya berusia tiga tahun lebih tua dari Sandra.
“By the way, kenapa sih kau penasaran sekali dengan si Dark Shadow ini? Kenapa kau tidak penasaran dengan apa yang akan kudapatkan kalau aku berhasil mengajak dia bergabung?” Sandra tak sabar ingin menceritakan alasan di balik kesiapannya menerima tugas dari Raffael.
“Redaksi pelaksana. Aku sudah tahu karena Raffael sempat menawarkanku posisi itu, tapi aku menolaknya. Kau tahu kalau aku belum siap menerima tanggung jawab sebesar itu. Lagi pula, aku tidak peduli seandainya Raffael akan memberimu pesawat sekali pun. Aku hanya penasaran dengan apa yang dia katakan padamu tentang si Dark Shadow ini dan bagaimana caramu menggaetnya agar mau bergabung dengan penerbit kita," desak Nathan makin tak sabaran.
“Well, kau harus menambah sedikit lagi kesabaranmu karena aku tidak akan bicara sampai minumanku datang. Kau tahu, otakku tidak bisa berpikir jernih kalau belum minum kopi," kilah Sandra sambil mengalihkan perhatian ke barista yang bergerak cekatan meramu setiap pesanan.
Akhirnya, Nathan berdecak kesal lalu menatap tak sabaran ke arah barista. Sandra tahu betul betapa enggannya Nathan disuruh menunggu. Pria itu adalah manusia paling tidak sabaran yang pernah Sandra kenal.
Beberapa saat kemudian, minuman mereka pun sudah siap di nikmati. Sandra langsung membawa dua minumannya ke salah satu meja yang kosong, sementara Nathan memilih untuk menyesap kopinya terlebih dahulu. Senyum kecil seketika menghiasi wajah Nathan, kemudian pria itu bergegas menghampiri Sandra yang sudah duduk dan menyesap minuman melalui sedotan.
Seperti biasa, mereka berdua selalu mengisi sisa waktu istirahat makan siang dengan menikmati segelas kopi di Starbuck sambil bertukar informasi mengenai pekerjaan. Saking seringnya berkunjung, para pekerja di tempat itu mengenal mereka layaknya sahabat. Bahkan, tak jarang mereka melakukan pertemuan ringan dengan beberapa penulis di sini demi efisiensi waktu dan biaya.
“Nah, otakmu sudah bisa berpikir jernih, kan? Sekarang, cerita padaku!” tuntut Nathan tak sabaran sembari memajukan tubuh hingga menyentuh pinggiran meja.
“Apa tadi pertanyaanmu?” Sandra pura-pura lupa demi memancing kekesalan Nathan. Ia mengibas ringan rambut hitamnya yang panjang ke balik pundak, kemudian menopang dagu dengan salah satu tangan.
Benar saja, pria itu mendengus kesal, kemudian memutar bola mata. “Apa yang Raffael katakan padamu mengenai Dark Shadow?”
“Hmm, dia hanya mengatakan kalau Dark Shadow adalah penulis ternama yang telah menerbitkan 10 buku terlaris, yang membuat salah satu penerbit saingan kita memperoleh keuntungan berlipat-lipat karena karya-karyanya. Jujur, aku tidak terlalu mengenal penulis ini. Kau tahu sendiri kalau aku tidak suka dengan cerita bergenre pembunuhan. Aku memang pernah mendengar namanya dari beberapa editor junior karena mereka membaca karya pria itu, tapi … tetap saja aku tidak berniat mencari tahu tentang—”
“Oh, God! Langsung ke inti masalah, Darling. Kau benar-benar membuatku gemas,” potong Nathan sambil mengaduk-aduk minuman dengan sedotan, tak sabaran.
“Oke, oke,” sahut Sandra sembari tersenyum kecil. “Jadi, Dark Shadow ini sempat memutuskan untuk menarik seluruh karya-karyanya dari penerbit tersebut dua atau tiga tahun lalu, bahkan rela membayar ganti rugi yang ditimbulkan dari penarikan naskah itu. Nah, katanya Raffael, Dark Shadow ini tiba-tiba muncul di salah satu platform menulis dengan karya terbaru. Dari situlah Raffael tahu, bahkan para pemimpin penerbitan menyadari bahwa Dark Shadow telah memutuskan kembali ke dunia menulis. Itulah kenapa Raffael memintaku untuk menghubungi Dark Shadow agar mau bergabung dengan penerbitan kita.”
“Itu saja?” Nathan tampak tak percaya, keningnya mengerut hingga kedua alis hampir menyatu.
“Iya. Memang itu saja yang dia ceritakan padaku.” Sandra menyesap Caramel Frappuccino kesukaannya, menikmati manisnya karamel dan pahitnya kopi yang bercampur menjadi satu kesatuan nan menyenangkan di lidah.
“Apa dia tidak cerita seberapa sulitnya menemui Dark Shadow? Apa dia juga tidak cerita kalau sampai detik ini tidak ada yang tahu seperti apa wujud seorang Dark Shadow? Apa dia juga tidak memberitahumu sekeras apa penerbit sebelumnya membujuk pria itu untuk bergabung?”
Suasana Starbuck yang ramai tak sedikit pun menyurutkan Nathan untuk memuntahkan pertanyaan-pertanyaan itu. Nada bicara yang semakin tinggi dan cara Nathan menatapnya seolah-olah memarahi kebodohan Sandra yang begitu mudah menyanggupi perintah Raffael. Bingung dengan pertanyaan dan reaksi Nathan, ia hanya menggeleng sambil memasang raut polos, sementara tangannya sesekali menarik keluar sedotan demi bisa menjilati whipped cream yang menempel di badan sedotan.
“Oh, please, Darling. Jangan memasang wajah innocent-mu yang menggemaskan itu. Aku tahu kau tidak sepolos itu."
Teguran Nathan malah membuat Sandra menyeringai malu. Nathan memang sangat dekat dengannya. Begitu dekatnya sampai kedua orangtua Sandra selalu mengundang pria itu ke rumah kelahirannya di Beaver Hills, New Heaven. Setiap kali mereka mengadakan hari raya, mulai dari Paskah, Thanksgiving, Natal, hingga tahun baru, Nathan selalu menjadi bagian dari keluarganya.
Nathan juga selalu menjadi tempatnya bercerita. Pria itu tak pernah sekali pun memarahinya jika ia menelepon tengah malam hanya untuk menangis dan marah-marah setiap kali mendapatkan naskah yang berhasil menguras emosinya. Bahkan, selalu siap menemaninya tidur setiap kali Sandra ketakutan sehabis menonton film horor.
Selain itu, hanya Sandralah yang tahu seperti apa Nathan yang sesungguhnya. Meski sering tampil dengan gaya centil dan kemayu, Sandra tahu kalau Nathan tetap menyukai wanita. Bahkan, Nathan sempat menjalin hubungan yang cukup serius dengan seorang wanita satu tahun yang lalu. Sayangnya, hubungan itu kandas karena Nathan tidak berani melamar. Mereka berdua begitu dekat dan terbuka satu sama lain. Saking terbukanya, Sandra sulit sekali untuk menyimpan rahasia dari Nathan.
“Aku memang tidak polos, Nat, tapi aku tidak pernah berbohong padamu. Memang hanya itu yang Raffael ceritakan padaku.”
Sandra menyandarkan punggung di sandaran kursi yang terbuat dari kayu, sementara Nathan menggeleng kesal mendengar kejujurannya. Pria itu kemudian menyedot minumannya lalu mengembuskan napas panjang, tampak seperti terbebani oleh pikirannya sendiri.
“Kau tahu kenapa aku bilang ‘tidak ada yang baik-baik saja jika berkaitan dengan Dark Shadow’?” Nathan membuka kembali percakapan yang sempat terhenti selama beberapa detik lamanya. Spontan, Sandra menggeleng cepat, kemudian mengangkat minumannya dan merasakan kembali perpaduan manis-pahit yang begitu ia sukai.
“Dark Shadow adalah masalah!” tukas Nathan sedikit menekan volume suara sembari menjulurkan kepala ke depan, seolah yang pria itu bicarakan adalah sebuah rahasia yang sangat penting.
“Kau terlalu berlebihan, Nat.” Sandra menanggapi dengan santai sambil menikmati minumannya yang sudah hampir habis setengah gelas.
“Aku serius, Darling! Dia itu … aduh, bagaimana aku menggambarkannya, ya?" Nathan berhenti sejenak untuk menyedot minumannya. Kepanikan nyata yang tergambar di wajah pria itu membuat Sandra kembali menegakkan posisi duduknya.
"Pokoknya, dia itu malapetaka! Kau sebaiknya menolak tugas itu atau kau akan menyesal. Ini saran dari pria terbaik yang tak akan pernah membohongimu, Sandra. Dengarkan aku, please!” mohon Nathan yang malah membuat Sandra semakin penasaran dengan sosok Dark Shadow.
“Kenapa sih? Apa dia pembunuh berdarah dingin? Dia cabul?”
“Bukan! Dia lebih dari itu. Dia adalah … apa ya istilah yang tepat untuknya? Emm, kau tahulah arti dari Dark Shadow. Dia itu serupa bayangan hitam yang mampu membuat siapa pun menyerah, bahkan mengundurkan diri dari pekerjaannya. Dia itu ….”
“Iblis?” lanjut Sandra sembari tersenyum geli.
“Kurasa dia pantas disebut seperti itu,” timpal Nathan setuju. “Asal kau tahu, lebih dari lima orang editor senior langsung mengundurkan diri setelah menghubungi dia. Aku dengar selentingan kalau dia itu tak segan menantang para editor. Aku tidak tahu tantangan seperti apa, tapi yang pasti mereka semua selalu berakhir sama. Menyerah dan mengundurkan diri.”
“Ah, itu kan hanya selentingan. Kenapa kau—pria yang selalu percaya pada fakta—malah percaya hal-hal seperti itu?” ujar Sandra setelah mendengus geli mendengar cerita Nathan.
“Karena, salah satu editor yang menyerah itu adalah temanku waktu kuliah dulu.”
Pernyataan Nathan malah membangkitkan rasa penasaran Sandra. “Hmm … kau tahu kan kalau aku suka tantangan?”
“OMG! Please, jangan bilang kalau kau akan tetap menerima tugas itu?” sahut Nathan sambil memasang raut tak percaya.
“Tentu saja! Kau sangat mengenalku, Nat. Semakin sulit sebuah tugas, semakin senang aku mengerjakannya." Senyum lebar mengembang di wajah Sandra. Namun, kali ini Nathan tidak setuju dengan pilihan Sandra. Pria itu bahkan tampak kecewa.
“Kau pasti gagal!”
Sandra mendengus geli mendengar penilaian Nathan. Ia kembali menyedot minumannya, kemudian menatap sahabatnya lekat-lekat. Sambil meletakkan gelas minuman di meja, Sandra memajukan tubuh hingga menempel di pinggiran meja.
“Bagaimana kalau aku berhasil? Kau berani memberiku apa?” Sorot menantangnya berbanding lurus dengan senyum miring angkuh yang mengukir bibir Sandra saat membalas ucapan Nathan. Kuku jemari yang dipoles kuteks merah muda mulai mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ritme tetap, tapi sarat antusias.
Sandra tak sabar menunggu jawaban Nathan. Pria itu tahu betul bagaimana Sandra sangat menyukai tantangan. Selama empat tahun bekerja di H&H Publishing sebagai editor senior, ia tak pernah gagal melaksanakan tugas yang diperintahkan padanya. Bahkan, tugas terberat sekali pun.
Terlahir sebagai anak bungsu perempuan satu-satunya, bukan artinya Sandra tumbuh menjadi wanita manja dan cengeng. Memiliki dua kakak laki-laki yang rentang usianya tidak terlalu jauh pun berhasil membentuk Sandra menjadi wanita yang tangguh dan cerdas. Tekad bulat serta sifat pantang menyerahnya pun ia peroleh dari gen keluarga yang merupakan keturunan marinir.
Sandra Anderson tidak pernah gagal! Nathan tahu betapa ia begitu berambisi menjadi redaktur pelaksana di H&H Publishing. Saat redaktur pelaksana yang sudah bekerja selama tujuh tahun memutuskan mengundurkan diri, Sandra sudah bertekad ingin mengisi posisi itu bagaimana pun caranya.
Seolah sudah digariskan, tadi pagi Raffael memanggilnya ke ruangan dan menawarkan posisi redaktur pelaksana padanya. Sandra tentu saja menyambut tawaran tersebut dengan tangan terbuka meski ia harus menjalani satu tugas sebagai penentu apakah dirinya layak untuk posisi itu atau tidak.
Jujur, Sandra baru tahu kalau ternyata Dark Shadow adalah penulis yang sulit untuk ditaklukkan. Mengetahui bahwa beberapa editor senior dari penerbit pesaing menyerah dan mengundurkan diri, sempat membuat Sandra ragu dengan tugas itu. Namun, entah mengapa kemustahilan yang menempel pada Dark Shadow malah semakin membakar semangat Sandra.
“Bagaimana kalau kau tidak berhasil? Kau berani memberiku apa?” tantang Nathan balik, sadar bahwa usahanya untuk mencegah Sandra telah gagal.
“Oh, come on! Kau tahu kalau peluang menangmu sangat kecil. Aku selalu berhasil, Nat.” Sandra begitu bangga pada dirinya sendiri. Mendengar besarnya kepercayaan diri yang terlontar dari bibir Sandra, Nathan hanya mengedikkan bahu sembari melengkungkan bibir ke bawah. Sikap acuh tak acuh itu malah membuat Sandra makin tertantang.
“Tak ada yang tak mungkin,” balas Nathan, kemudian menyedot kopinya. “Bahkan, pembalap motor terhebat sekali pun pernah jatuh, Sandra.”
“Oke! Aku terima tantanganmu.” Sandra menjulurkan tangan ke hadapan Nathan sebagai tanda persetujuan akan sebuah taruhan. “Kalau aku tidak berhasil, aku akan membelikan laptop terbaru yang sudah kau incar sebulan yang lalu.”
“Ah, terlalu mudah,” balas Nathan seraya menepis ringan telapak tangan Sandra. Sambil melipat kedua tangan di atas meja, Nathan memasang raut serius dan mengangkat satu alis, licik dan penuh siasat.
“Kalau kau kalah, kau harus membelikanku tiket pulang-pergi ke Hawaii beserta hotel dan uang jajannya. Bagaimana?” tantang Nathan bersemangat diiringi senyum lebar sarat kemenangan.
“Damn! Kurasa kau ingin membuatku bangkrut.” Sandra kembali bersandar di kursi kayu, melipat kedua tangan di depan dada seraya memasang raut cemberut.
“See! Aku tahu kau takut,” ledek Nathan sembari menyugar rambut.
“Siapa bilang kalau aku takut?” sahut Sandra tak mau kalah aksi. “Hanya saja, permintaanmu bisa menguras tabunganku. Lagi pula, kalau aku menang, kau berani memberiku apa?”
“Kau mau apa? Sebut saja.” Kali ini, Nathan menanggapi dengan kobaran semangat di matanya.
“Hmm, kalau begitu aku samakan saja dengan permintaanmu. Hawaii sepertinya menarik untuk dikunjungi,” sahut Sandra sambil tersenyum miring. Kemudian, Sandra menjulurkan kembali tangannya ke hadapan Nathan. “Deal?”
Sejenak, Nathan menatap tangan Sandra, seolah menimbang peruntungannya. Sementara, Sandra sudah sangat yakin dengan keberhasilan yang akan ia peroleh. Dark Shadow bukanlah hambatan baginya. Dark Shadow tak jauh berbeda dengan penulis-penulis ternama yang berusaha memasang harga tinggi demi sebuah keuntungan semata. Maka dari itu, tak ada secuil pun keraguan muncul dalam diri Sandra.
Akhirnya, Nathan menjabat tangan Sandra. “Deal!”
*****