Pagi itu Jose sibuk menyiapkan kantor barunya. Tentu saja ia dibantu sahabatnya Joice Sejak beberapa hari yang lalu Jose telah mengatur beberapa barang di kantornya itu. Kini ia hanya memasang papan nama kantornya dengan Joice. "Gimana Jo, udah bener atau kurang pas?" tanya Jose ke sahabatnya. Jose yang naik di kursi dan memasang papan nama kantornya kemudian Joice melihat dari bawah apakah papan nama itu terpasang dengan simetris atau tidak.
"Emm ... kurang kiri sedikit," ujar Joice memberi instruksi pada Jose. Jose berusaha menggeser papan nama itu ke sebelah kiri. Ia berusaha mengikuti instruksi Joice, "Apa seperti ini Joi??"
"Ya, udah pas. Thanks ya, aku traktir makan bakwan habis ini."
"Siip."
Jose dan Joice sahabatan sejak SMA. Bahkan setelah kuliah pun mereka masih bersahabat, kebetulan mereka satu kampus. Hanya beda fakultas saja. Mulai tahun ini, Jose buka kantor sendiri. Ia bekerja sebagai motivator sekaligus konselor. Sudah dua tahun ini, impian gue jadi motivator belum terlaksana dengan baik. Karena itu dari sekarang ia sengaja membuka kantor pusat, dengan nama Biro Curhat. Orangtua Jose awalnya tidak setuju, tapi setelah ia meyakinkan mereka jika pekerjaan ini menghasilkan uang, mereka akhirnya setuju. Sudah berkali-kali Jose diundang ke acara TV. Tidak sesering artis ibukota, tapi dari situlah Jose mendapat tambahan pundi-pundi uang. Kadang ia dipanggil sekolah yang butuh motivator bagi muridnya yang menghadapi UN. Bulan-bulan sibuknya adalah bulan April hingga Juni. Di bulan-bulan itu, ia lebih sering menghabiskan waktu ke sekolah.
Hari ini sesuai dengan jadwal, Jose akan membuka layanan curhat online. Zaman modern seperti ini semua serba internet, kalau ia enggak memanfaatkan dengan baik, maka peluang dikenal banyak orang sedikit. Karena itulah ia membuat blog yang menampung segala pertanyaan dari pengunjung blog. Kemudian ia akan menjawab pertanyaan mereka dan memberi mereka motivasi agar lebih yakin dengan tindakan yang harus dilakukan. Seperti itulah pekerjaan gue sebagai motivator.
"Ya, silakan masuk," kata Jose pada seorang wanita seumuran Mama.
"Saya ke sini mau cerita soal suami saya."
"Oh, iya silakan." Jose memberinya segelas air mineral dan mulailah pekerjaan Jose sebagai motivator. Belum lama ia bercerita, Joice datang. Ya ampun, ia datang di saat yang tidak tepat.
"Silakan Bu, lanjutkan lagi."
"Saya enggak mau, Mas. Ada Mbak ini soalnya. Takutnya bocor keluar Mas," katanya sambil melirik Joice dengan tatapan tidak nyaman. Ia menoleh ke arah Joice dengan melayangkan tatapan seram. Ia malah tersenyum tanpa dosa melihatku yang sibuk melayani pelanggan.
"Tenang Jo, aku nggak ikut campur. Aku akan duduk manis di sini. Ibu jangan sungkan cerita, saya enggak akan mendengarkan," ucap Joice meyakinkan ibu ini, seolah tahu apa yang aku pikirkan sekarang. Jose menoleh ke arah ibu ini dan ia menggeleng.
"Joi, masuk dulu gih. Aku masih kerja dan kamu enggak bisa duduk di sini. Ibu ini enggak akan cerita sebelum kamu masuk ke dalam."
"Ya ampun, Jo. Aku enggak akan ganggu, janji, gue serius. Aku bakal diam dan tutup telinga. Silakan, lanjutkan," katanya sambil menutup telinga. Ia tetap tidak mau pergi dari ruang kerja Jose. Jose menarik tangannya, namun tiba-tiba ibu itu berdiri dari kursi dan pamit pulang, "Lain kali saja, Mas. Makasih untuk waktunya," katanya lalu pergi. Jose memelototi Joice tajam. Gara-gara dia, pelanggan pertamanya pergi. Padal udah pas banget waktunya.
"Lihat, pelangganku kabur karena keras kepalamu itu. Ada perlu apa ke sini? Aku sudah selesai beres-beres kemarin, enggak ada yang perlu dibantu lagi."
"Ya ampun, sejak kapan kamu judes gini?! Siapa juga yang mau bantu? Lagipula ibu tadi lebai. Aku sama sekali enggak tertarik mendengar curhatannya. Cuman duduk manis di sini saja salah."
"Ya sudah, kamu mau cerita apa sekarang?"
"Jo, aku sama Erik putus."
"Oh, bentar—Erik yang mana? Dia pacar yang ke berapa?"
"Emm—lupa."
"Bentar," kata Jose lalu berdiri dan mengambil album foto. Dalam album itu, ia menyimpan semua foto Joice dengan pacarnya. Bukan karena Jose desperate atau gay atau apapun itu. Hanya saja Joice meminta menyimpan foto semua pacarnya, agar memudahkan ia bercerita pada Jose. Joice sudah pacaran sebanyak sebelas kali, terhitung sejak kami SMA. Sedangkan Erik, Erik adalah pacar ke-12. Maklum, Joice sangat populer di kalangan para cowok. Cantik, pintar, baik, ramah, dan sederet sifat manisnya membuat para cowok mengejar-ngejarnya. Wajar jika ia memiliki banyak mantan pacar. Tetapi ia selalu menjadi pihak yang diputuskan. Ia tak pernah memutuskan pacarnya satupun. Hal inilah yang membuatnya khawatir, ia merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia merasa harus memperbaiki diri lagi. Kalau menurut Jose, ia enggak perlu mengubah sifat apapun. Ia sudah sempurna sejak pertama kali mengenalnya.
"Nah, ini orangnya."
"Siapa yang mutusin?" tanyaku lalu menatap Joice.
"Dia yang mutusin."
"Oke, apa alasannya?"
"Alasannya karena aku cuek. Padal menurutku, aku perhatian. Aku enggak cuek, kan??"
"Cuek dalam hal apa dulu?" tanya Jose lebh mengerucut. Sahabatnya itu memiliki kebiasaan bercerita sepotong demi sepotong.
Joice mengambil permen di toples kecil. Ia mengunyahnya secara berisik, "Aku sempat lupa hari ulangtahunnya, lupa tanggal jadian, lupa jam kencan."
"Pantas marah. Sudah tahu pelupa malah enggak catat tanggal penting."
"Ya ampun Jo, jangan lebai. Aku tahu, aku pelupa kelas kakap, tapi pelupa itu beda sama cuek. Masa pelupa dibilang cuek, enggak masuk akal. Seharusnya Erik enggak perlu emosi tinggi, sampai mutusin aku. Lagipula, aku punya alasan sendiri kenapa bisa lupa." Ia selalu bisa menemukan alasan untuk membela diri. Kali ini Jose mengernyitkan alis heran. Dari dulu Joice tidak mau disalahkan. Selalu ada alasan untuk membenarkan dirinya, padal tidak sepenuhnya alasan itu benar.
"Ya, sibuklah. Kamu tahu sendiri, aku translator film. Banyak film yang harus gue translate dan semua menumpuk. Belum lagi kalau ada film baru rilis, gue harus mengejar deadline. Jadi, memang enggak ada waktu untuk santai. Tiba-tiba dia memutuskanku. Berarti dia enggak pengertian sama profesiku," omel Joice pedas.
"Joi, menurutku kali ini kamu juga salah. Ini bukan soal sibuk atau enggaknya, tapi soal prioritas. Kalau Erik jadi prioritas utama, sesibuk apapun, kamu tetap telepon dia, meski cuma untuk ngobrol sebentar. Paling enggak setengah jam kalian luangkan untuk komunikasi. Kalau aku jadi Erik, aku juga marah. Belum lagi kamu lupa tanggal jadian. Tanggal jadian penting banget untuk beberapa orang. Kalau kamu lupa, dia ngerasa kamu main-main sama perasaannya."
"Main-main gimana? Aku serius sama dia. Jo, aku udah usaha jadi cewek yang baik, sesuai katamu, enggak bakal ganti pacar sering-sering. Tapi akhirnya dia juga yang mutusin duluan," kata Joice kesal.
"Aku bilang juga apa, jangan jadi cewek yang terlalu cuek."
"Ye, malah nyalahin orang. Seharusnya kamu kasih semangat. Bukan memojokkanku gini."
Jose menggelengkan kepala karena bingung dengan Joice. Ia meminta saran, tapi giliran dikasih saran ikut protes, "Terus gimana Jo? Masa' aku minta balik sama Erik?"
Aku menutup album foto Joice lalu mengembalikan lagi ke lemari. Beginilah, kalau Joice curhat, enggak akan berhenti sebelum bener-bener ngerasa puas.
"Jo, jangan diam mulu. Aku butuh saran. Kamu kan pakar kayak gini. Ayolah, kasih usul kek, ide apa gitu."
"Ya mau gimana lagi. Dia yang mutusin."
"Tetep aja, enggak adil buatku."
"Kamu udah cerita belum, soal pekerjaanmu, sebagai translator?"
"Emm ..., baru semenit sebelum kami putus aku cerita, enggak ada waktu buat cerita. Kalaupun kami kencan, dia terus yang ngobrol."
"Ya sudah, berarti dia juga enggak serius. Buktinya dia cerita soal dirinya sendiri. Dia pernah tanya, kerjaanmu apa?" tanyaku mencoba memperjelas lagi.
"Enggak pernah. Aku yang beritahu dia duluan."
"Itu artinya dia enggak tertarik sama kamu. Berarti enggak masalah kalau kalian putus."
"Ya, iya—eh kok gitu?!! Kamu mah gitu, enggak bantu sama sekali," katanya sambil memukul bahu Jose pelan.
"Joi, tolong bantu aku buat pindah catatan ke buku ini. Daripada kamu enggak ada kerjaan." Joice mengambil buku catatannya itu dan mulai mencatat.
"Joi, kenapa kamu bisa secuek itu sama orang lain tapi ke aku selalu kamu perhatikan? Apa kamu bisa jawab pertanyaanku ini?"
"Lah aku enggak merasa merhatiin kamu sih. Aku ke kamu juga sama seperti aku ke Erik atau aku ke mantan-mantanku. Apa sih yang beda?" tanya Joice. Jose kini menatap Joice lekat dan berusaha mendekat ke Joice. Kini mereka berdua berhadap-hadapan, "Beda. Apa kalau sakit kamu akan merawat mereka semalaman di rumah mereka? Apa kamu pernah ke rumah mantanmu jam 12 malam hanya untuk menyanyi lagu ulang tahun? Apa kamu pernah mengajak mereka menginap di rumahmu?" tutup Jose dengan pertanyaan terakhir yang berhasil membuat Joice berpikir keras. Joice kini memandang kawannya itu lalu menjawab, "Beda Jos. Mereka itu statusnya pacar. Ya kali aku ke rumah anak orang tengah malam dan nyanyi keras-keras. Aksesku ke mereka sangat terbatas. Tapi kalau ke kamu kan gampang, tinggal hubungin aja mamamu atau papamu. Mereka juga pasti dukung aku. Soal menginap di rumahku, kalau kamu memang waktu itu terpaksa menginap aku tidak akan mengajakmu lagi. Aku belum siap membawa pacarku menginap di rumah dan mana boleh sama orangtuaku. Tapi kamu kan beda Jose. Orangtuaku dan keluargaku sudah kenal denganmu mereka juga mengizinkanmu toh. Kita juga tidak tidur dalam kamar yang sama. Jadi apa salahnya?" Protes Joice panjang. Jose menggeleng dan berkomentar, "Sebenarnya yang jadi pacarmu itu Erik atau aku sih?" ujar Jose pada Joice. Joice tak menjawab dan hanya berdiam tanpa tahu harus membalas kata-kata Jose. Semua yang dikatakan Jose memang benar. Selama ini Jose selalu menjadi pria yang diizinkan untuk mengantar Joice tengah malam, menginap di rumahnya, berkunjung ke rumahnya hingga malam, atau mengajak Joice menginap di rumah Jose.
"Aku baru ini kebingungan jawab pertanyaanmu Jos. Iya ya, kenapa perlakuanku dan perlakuan keluargaku berbeda ke kamu dan berbeda ke semua mantanku? Aku juga belum menemukan jawabannya."
"Itu yang harus kamu cari tahu Joice. Cari dulu jawabannya. Kalau sudah ketemu jawabannya beritahu aku. Mungkin aku bisa menarik kesimpulan dari jawabanmu," ucap Jose. Joice yang mendengar itu mengembuskan napas merasa keberatan. Selama ini hubungannya dengan Jose sudah sedekat itu, hingga orangtua Jose tidak keberatan jika Jose yang menginap di rumah Joice atau sebalikanya. Asal dengan Jose, pergi ke mana saja tetap diizinkan meskipun pergi ke ujung dunia. Kini Joice yang giliran bertanya pada Jose mengenai sesuatu yang mengganjal hatinya, "Emang enggak boleh ya, kalau sahabatan inap di rumah bergantian?" Kamu ngerasa terganggu dengan pertemanan kita yang begitu?" tanya Joice. Joice masih melanjutkan omelannya, "Kalau memang kamu udah mau berhenti berteman enggak apa sih. Tapi aku enggak bisa Jose, jadi aku akan tetap mengganggumu."
Jose lalu membalas, "Apa kamu pernah merasa terkadang pertemanan kita menyakitkan hati orang lain?" ucap Jose mengingatkan Joice kembali dengan hubungan Jose yang kandas karena pertemanan mereka.
"Jos, ayolah. Kamu bahas masalah itu lagi? Bukannya waktu itu udah clear ya? Katamu itu bukan salahku, bukan salahmu, bukan salah hubungan kita tapi mantanmu yang enggak mau ngerti soal kita berdua. Terus sekarang kamu singgung masalah itu maksudnya apa? Kamu sekarang mikir aku yang salah gitu?" Joice kini menatap Jose tajam. Jose yang merasa ditatap kini mencoba menenangkan temannya itu sebelum semua menjadi berantakan. Jose memegang kedua pipi Joice dan berkata, "Bukan salah kita memang Joice. Aku hanya mengajakmu bicara seperti orang dewasa. Tapi kamu ternyata belum siap kuajak bicara dengan topik itu. Kamu jadi emosi kan mendengarku membahasnya, membahas kita. Jangan marah dulu ya dengarkan aku dulu," kata Jose kemudian ia mengusap kepala Joice lembut. Ia melanjutkan kalimatnya lagi, "Besok yang menikah denganmu adalah suamimu. Kita harus membangun batasan mulai dari sekarang Joice. Aku tidak bisa seenaknya mengunjungi, mengajakmu jalan-jalan, atau bahkan mengajakmu ke acara keluargaku lagi karena itu pasti membuat suamimu marah. Aku jug—"
Joice yang tak sabar kemudian memotong, "Lalu apa poinmu? Kamu tuh muter-muter dari tadi Jos. Kamu enggak langsung bilang inti dari pembicaraan kita."
"Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri untuk tidak menghubungiku terlalu sering. Sibukkan dirimu Joice dengan hal-hal lain dan jangan hanya berputar-putar di kehidupanku saja." Jose kini kembali duduk di kursi tempat kerjanya berusaha menjaga jarak dari Joice.
"Lah kenapa sih? Kenapa enggak boleh ngehbungin kamu sering-sering? Kamu tuh sahabatku Joice! Kita dari kecil udah sahabatan, tetanggaan juga, terus kenapa jadi minta aku jauhin kamu?"
Jose mengambil beberapa buku kemudian mengambil pulpen. Ia menuliskan beberapa catatan penting dari buku itu. Ia berusaha mengabaikan Joice yang mengoceh soal pembahasannya tadi.
"Tuh kan, aku udah berusaha serius untuk membahas masalah ini kamu malah pura-pura enggak dengar. Mau kamu tuh apa?" tanya Joice sedikit memaksa.
Jose menghela napas dan berkata, "Seperti yang sudah kubahas Joi, suamimu bisa marah jika kamu terus berhubungan denganku. Jadi cobalah untuk tidak menghubungiku terlampau sering, kamu bisa kan?"
"Kamu udah ada cewek? Udah punya gebetan? Belum kan? Ya udah kenapa minta dijauhin sih?"
"Apa harus kuulangi lagi?" Kata Jose lalu menatap mata Joice yang kini mulai berair.
"Aku belum punya calon Jos. Baru aja putus dan sekarang kamu bahas soal suami. Hebat. Kamu sekarang minta dijauhi dan enggak aku hubungi secara tiba-tiba. Aku terlalu clingy kan? Aku terlalu manja? Aku terlalu ganggu kamu? Salahku dimana Jose? Jelasin lagi, biar aku paham kenapa harus jauhin kamu?!" kata Joice sembari terisak.
Joice kini menangis di hadapan Jose. Jose berusaha mengabaikan tangisan sahabat ceweknya itu. Ia mencoba tidak terlalu peduli dengan Joice yang menangis sekarang. Kalau Joice tidak bisa menjauhinya maka ia yang harus menjauhi Joice perlahan lebih dulu. Joice berjalan keluar dari kantor Jose sambil menangis kencang.
Jose melihat Joice berjalan keluar berusaha menahan kakinya untuk tidak mengejar temannya itu. Ia merasa sudah terlampau sering mereka menghabiskan waktu bersama sampai-sampai Jose tidak menyadari bahwa ada wanita yang harus ia jaga juga perasaannya. Oleh karena itu Jose mencoba mengabaikan Joice mulai dari sekarang. Hubungan sahabat mereka sudah terlalu dekat dan ketergantungan satu dengan lainnya juga semakin besar. Jose menatap ke arlojinya sudah 3 menit ia duduk. Mungkin Joice telah pergi dari kantornya dan pulang. Jose berdiri dan mencoba mengintip dari jendela kantornya. Joice tidak lagi berada di sekitar kantornya.
"Oke, aku bisa melakukan ini." Jose mengambil HP yang masih terpasang wallpaper Joice memegang ice cream yang pernah ia belikan dulu. "Shit, kenapa runyam gini Joice." Ia cepat-cepat membuka pengaturan HP dan mengganti wallpapernya dengan gambar One Piece, salah satu anime kesukaannya. Belum lama ia ganti wallpaper ibu Joice menelepon. Jose mangangkatnya, "Iya Tante. Tadi Joice ikut ke kantor tapi dia sudah pulang duluan kok Tante. Baru saja dia pulang. Iya Tante, makasih." Jose melanjutkan kembali pekerjaannya berusaha melupakan kejadian barusan.
-tbc-