“Sudah dua tahun,” gumam Aruma tanpa sadar melihat dari kejauhan sepasang manusia yang kini sedang mengobrol dengan mesranya, sambil berpegangan tangan, sambil melempar senyuman menghangatkan.
Dia lelah. Tentu saja lelah.
Kali ini dia sudah tak dapat menghitung berapa kali dia melihat pandangan seperti itu dengan matanya sendiri. Pulang dari lokasi syuting dini hari, tubuhnya terasa begitu remuk saking lelahnya, dan kini dia harus melihat kekasihnya bermesraan dengan sepupunya di dalam apartemennya sendiri.
Aruma melangkah masuk, membuat kedua orang itu menyadari keberadaannya. “Ah, sayang. Kau sudah pulang?” tegur Tirga, membuat Aruma ingin sekali menghela napas namun dia memutuskan untuk menahan diri.
Pria itu memanggilnya dengan sebutan ‘sayang’ tapi dia bahkan tak melepaskan genggamannya pada tangan Nania, sepupunya. Dia jadi bingung sebenarnya siapa yang disayangi oleh pria di hadapannya ini?
Apa dia? Lalu mengapa selalu dia yang harus mengalah? Apa karena Nania begitu baik, dan dia tidak cukup baik untuk menjadi satu-satunya? Apa tiga tahun itu adalah batas waktu yang dia miliki untuk disayangi oleh kekasihnya itu, sampai-sampai kini dia harus terus mengalah dan membiarkan Nania menjadi sosok gadis yang dicintai oleh kekasinya sendiri?
Dia merasa seperti menjadi orang kedua di dalam hubungan yang bahkan sudah dia mulai lebih dulu. Mengapa Tirga selalu menyambutnya seperti itu? Mengapa tidak memeluknya seperti dulu? Mengapa tidak menyiapkan makanan untuknya? Menanyakan bagaimana harinya? Menghangatkan air agar dia bisa mandi dengan nyaman.
Mengapa sosok Tirga yang seperti itu kini malah diperlihatkan pada Nania, bukan pada dirinya? Memang siapa di sini yang menjadi kekasihnya Tirga?
Sudah dua tahun dia bertahan dalam hubungan seperti ini. Mengapa baru sekarang dia berpikir untuk meninggalkan mereka? Ke mana saja dia sampai-sampai tidak pernah menyadari bahwa sejak terungkapnya hubungan Nania dengan kekasihnya, dia kini tak pernah diutamakan?
Tirga bilang, mereka akan memiliki citra buruk jika hubungan ini berakhir. Aruma baru menyadari hal itu. Mungkin yang buruk bukan citranya di kasus ini, melainkan citra Tirga dan sepupunya sendiri, Nania. Mengapa dia begitu tidak tega untuk melukai kedua orang yang sejak dulu tak pernah segan dalam menyakitinya?
Ke mana saja dia selama ini?
Aruma menelan salivanya tanpa sadar, “Alasanmu tak melepaskanku adalah, karena kau tak ingin citramu buruk bukan?” tanya Aruma dengan begitu tenang pada pria di hadapannya tersebut.
Tirga seketika melepaskan genggamannya pada tangan Nania dengan perlahan. Sorot matanya terlihat begitu kalut, seakan dia bisa dengan mudah menebak apa yang ingin Aruma sampaikan padanya di dini hari seperti ini.
“Jujur saja padaku, aku janji tidak akan marah.” Aruma kembali berujar dengan cepat.
Tirga menelan salivanya, lalu tanpa sadar mengangguk pelan. “Kau tahu, aku membangun citraku sejak awal aku menjalankan karier ini. Aku berdiri seorang diri sejak awal, aku tak pernah meminta bantuan orang lain, aku—“
“Kau juga tak ingin citra Nania memburuk karena kau kan?” potong Aruma, begitu datar, mencoba untuk tidak memperlihatkan emosinya.
Dia sudah begitu lelah. Dia tak memiliki energi sama sekali bahkan untuk sekedar menangis. Ini bukan kali pertama Tirga melakukan hal seperti ini padanya. Aruma juga begitu bingung mengapa dia bisa bertahan selama dua tahun dalam hubungan yang terus menyiksanya seperti ini.
“Nania baru merintis kariernya, Ruma.” Tirga berucap dengan suara memelas, “Kau tahu akan hal itu.”
Aruma menarik napas, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Kepalanya terangkat, menatap ke langit-langit ruang apartemennya sambil mencoba mengingat ulang bagaimana hubungannya dengan Tirga berjalan sebelum kehadiran Nania. Dia bahkan lupa kapan terakhir kali mereka merayakan hari jadi mereka yang ke satu dan dua tahun, atau bahkan yang ke tiga tahun.
“Tanggal berapa ini?” pikir Aruma tanpa sadar.
Dia ingat bahwa ini adalah bulan hari jadian mereka, namun dia tak ingat tanggal berapa mereka akhirnya mengubah hubungan pertemanan mereka menjadi sepasang kekasih. “Ini mungkin sudah lima tahun berlalu,” batinnya mencoba mengingat-ingat hari jadian mereka.
“Hari yang indah,” gumam wanita itu tanpa sadar. Aruma lalu menarik senyuman, “Baiklah, kita sudahi hari indah ini.” Dia berujar sambil menatap kedua orang itu.
Aruma lalu menatap ke sekelilingnya. Apartemen ini menyimpan banyak sekali kenangan menyakitkan, padahal mereka juga jadian di tempat ini namun dia sama sekali tak bisa mengingat bagaimana kenangan indah itu terjadi. Hanya ada kenangan buruk, hanya ada tangisannya di tempat ini. Dia mungkin harus menjual tempat ini setelah semuanya berakhir.
Wanita itu enggan melihat wajah Nania atau pun Tirga, dia mengutuk dirinya sendiri yang selalu tak tega menyakiti kedua orang yang dulu begitu dia sayangi. “Aku akan kabarkan pada media bahwa kita putus dengan baik-baik,” ujar Aruma tanpa menoleh ke arah Tirga. “Aku pastikan tak akan ada media yang menaruh curiga pada Nania.”
Mengapa dia merasa seperti orang jahat di dalam situasi seperti ini?
Kembali menelan saliva, Aruma lantas menarik senyuman untuk dia tunjukkan pada kedua orang itu sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan apartemen tersebut. “Nikmati hari terakhir kalian di apartemen ini. Pagi nanti, aku akan menjual tempat ini, jadi pastikan kalian sudah pergi dari sini sebelum malam tiba.”
“Tunggu! Aruma! Kau—“
Aruma menoleh menatap Tirga. “Aku janji tidak akan ada satu pun media yang tahu tentang hubungan kalian. Kalian akan baik-baik saja. Aku akan mengurus semuanya.”
Wanita itu lalu meninggalkan apartemen tersebut. Pergi seorang diri ke basement, memasuki mobilnya, dan berkendara jauh meninggalkan gedung apartemen tersebut. Aruma membawa dirinya ke apartemen lamanya, tempat manajernya tinggal seorang diri. Dia lalu mengistirahatkan diri di sana selama tiga jam sebelum akhirnya kembali ke lokasi syuting pagi-pagi sekali.
Dia telah menuliskan di akun sosial medianya tentang akhir hubungan dirinya dengan Tirga. Mengagumkan sekali bahwa Aruma tidak menangis sejak semalam padahal hubungan yang sudah dia jaga selama lima tahun lamanya ini telah berakhir.
Sesampai di lokasi syuting, wartawan telah berkumpul untuk menanyakan ulang tentang postingan dirinya pagi lalu. Aruma hanya tersenyum halus mendengar sederet pertanyaan klasik itu, lalu menjawabnya dengan begitu tenang.
“Tidak ada orang ketiga,” balas Aruma pada salah satu wartawan. “Kami hanya memikirkan masa depan kami, dan setelah melalui diskusi yang cukup panjang. Kami akhirnya memutuskan untuk berpisah. Aku dan Tirga memiliki visi misi yang berbeda dalam menjalankan hubungan di masa depan, akan mustahil bagi kami untuk melanjutkan hubungan tersebut ke jenjang yang lebih serius lagi. Jadi, kami memutuskan untuk berpisah saja.”
Setelah itu dia pergi masuk ke dalam lokasi syuting yang telah dijaga ketat. Hal itu membuat para wartawan tak lagi bisa mewawancarainya. Hubungan dirinya dan Tirga yang sudah berjalan selama lima tahun, kini akhirnya bisa dianggap selesai oleh Aruma.
Namun ... tidak dengan Tirga.