Bibit, Bebet, Bobot

Bibit, Bebet, Bobot

ferisanisvaran

4.9

Oh, tidak. Ternyata tidur cuma tiga jam bikin aku bangun dengan kepala senut-senut dan mata super lengket, kayak dikasih power glue yang disebut lem Korea, tulisan di kemasan aksara Jepang, tetapi made in China. Apalagi AC sepoi-sepoi masih membelai rambutku.

“Fara, bangun! Udah jam setengah lima.”

“Hm,” balasku singkat dan malah menarik selimut menutupi kepala. Aku tau, Ma. Dari tadi alarmku juga udah jerit-jerit. Sekarang ditambah Mama yang jerit di telingaku.

Usaha Mama tidak berhenti hanya dengan berteriak di telingaku, kini beliau memukul-mukul meja menggunakan sendok. Sontak, aku langsung melompat bangkit.

“Mama apa-apaan, sih? Ini kan properti umum!”

Kurebut sendok itu dari genggaman Mama. Dia malah tersenyum penuh kemenangan. Kubalas dengan cibiran.

“Lagian, kamu susah banget dibangunin.”

Aku mengembuskan napas keras dan memutar bola mata. Kubenamkan lagi wajahku ke bantal. “Mama tau nggak semalem aku tidur jam berapa?” gumamku yang pasti nggak bakal didengar Mama.

Kemudian, kuangkat lagi wajah dan duduk bersimpuh di atas kasur. “Emangnya Fira udah bangun? Kan yang mau nikah dia, aku bisa make-up sendiri kok nanti jam enam, nggak perlu pakai MUA.”

Ketika aku mau menenggelamkan diri lagi ke kasur, Mama langsung menyeret lenganku.

“Nggak bisa! Kamu harus siap-siap sekarang dan ngecek ballroom. Pastiin dekorasi akad udah selesai. Kamu juga kan harus koordinasi sama WO. Ayo, cepat, awas kalau tidur lagi! Mama mau ngurusin keluarga.” Mama merepet sambil berjalan ke pintu kamar. Begitu keluar, suaranya yang menggelegar langsung terdengar menggaung di lorong hotel.

Astaga, Mama. Malu-maluin. Gimana kalau ganggu pengunjung lain?

Aku menggeram dengan kepala menelungkup ke bantal. Rambutku saja sudah nggak berbentuk karena kuacak-acak dengan gemas. Kalau sudah begini, aku memang nggak bisa menghindar. Harusnya aku nggak nurut untuk kasih kartu aksesku ke Mama semalam.

Lagian, aku sebel banget. Fira, kembaranku, yang mau nikah, tetapi justru aku yang ribet. Keinginannya banyak sekali, kayak Nobita. Dan sejak dulu, biasanya apa yang dikerjakan Fira itu berakhir dengan nggak bener. Akhirnya, Mama menugaskanku untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan Fira sementara kembaranku itu cuma tinggal duduk, haah-hooh tiap kuajukan sesuatu, sah, dan ena-ena sama Keenan, calon suaminya.

Sementara aku … babak belur. Hampir tiga bulan full mengurus persiapan pernikahan, sampai-sampai bosku di kantor menegur karena aku nggak bisa memenuhi target kuartal dan bikin bonusku dipotong. Lo harus tanggung jawab, Fir!

“Fara, mandi!”

Tiba-tiba Mama udah di pintu lagi dan meneriakiku. Duh, Mama!

Aku mandi dengan cepat, sepuluh menit selesai. Setelah itu kukeringkan rambut dengan hair dryer yang kupinjam dari hotel. Iya, aku lupa bawa hair dryer saking sibuknya.

By the way, I love my new hair colour.

Aku baru mengecat rambut minggu lalu. Warna deep violet dengan ombre pink muda dan cokelat menjadi pilihanku dan cocok di rambut lurus medium serta kulitku yang cerah. Hair treatment ini adalah penyelamatan atas kepalaku yang mau pecah. Sebelumnya aku cuma mengecat rambut dengan warna-warna natural, tapi gara-gara Fira, aku jadi nekat ngecat rambut dengan warna nyentrik ini—meskipun pada akhirnya I’m deeply fall in love with this colour.

Makin mendekati hari pernikahannya, kembaranku itu makin getol ngomel-ngomel dan panik nggak jelas setiap hari. Bahkan terkadang malam-malam dia sering bertengkar dengan Keenan di telepon yang suaranya menembus tembok, alias sampai ke kamarku yang bersebelahan dengan kamarnya.

Jemariku menyisir rambut lalu menggelungnya secara asal. Kemudian, masih dengan memakai piyama yang semalam baru kupakai selama tiga jam dan selop hotel, aku keluar dari kamar dan turun ke lobi, berniat melakukan final check dekorasi ballroom dulu sebelum dirias.

“Mas Fadli, semua udah oke, ya?” tanyaku kepada pihak WO.

Mas Fadli mengacungkan dua jempol dengan cengiran lebarnya, meskipun matanya terlihat lelah. Dia pasti tidur lebih sebentar daripada aku.

Fira mau akad nikahnya dilaksanakan di dalam ballroom. Dekorasi lantai area akad dibuat serupa panggung dengan bahan kaca dan di bawahnya dipenuhi dengan bunga anyelir merah. Seleranya enggak banget bagiku, soalnya warna suasana akad jadi terlihat terlalu mentereng. Padahal, menurutku lebih bagus kalau lebih soft dan syahdu. Lebih baik pakai mawar putih. Tapi Fira malah menghardik yang bikin aku gondok setengah mati.

“Yang mau nikah itu gue atau elo? Suka-suka selera gue, lah!”

Hello, kalau dia yang mau nikah, harusnya dia juga yang mengurus persiapannya, bukan aku!

Tidak hanya area akad, dekorasi pelaminan juga sangat jauh dari seleraku. Yah, meskipun tetap bagus. Aku nggak mungkin menjerumuskan saudara kembarku pada pesta pernikahan yang norak. Hanya saja, aku kurang suka nuansa yang terlalu mewah, dengan banyak lampu-lampu kristal di sekitar pelaminan dan tentunya buaaanyak bunga. Aku suka, sih, tetapi not my dream wedding. Aku lebih suka suasana yang lebih intimate dengan dekorasi sederhana, rustic, dan kental dengan suasana alam.

Persetan, ngapain berandai-andai wedding dream segala. Lo aja masih jomlo sampai mau tiga puluh tahun begini, Ra! Hilal jodoh belum kelihatan!

Aku langsung memberengut mendengar suara di kepala.

“Mas, coba cek sound-nya dulu ya. Sama pastiin kalau AC jangan sampai mati.”

Bahuku bergidik ngeri mengingat momen sakral pernikahan sepupuku diiringi dengan suara kibasan kipas-kipas karena tiba-tiba AC sentral mati sepanjang acara.

Aku berjalan menuju pintu ballroom sambil menguap lebar dan meregangkan tangan. Saat melewati pintu besar itu, aku melihat Mama berlari tergopoh-gopoh dengan tatapan mengarah kepadaku.

“Mama, awas!”

Peringatanku sia-sia karena Mama sudah bertabrakan dengan seorang pemuda yang berjalan melintasi lobi hotel. Mama hampir jatuh, untung saja laki-laki itu segera menopang tubuh Mama. Untung juga, cowok itu cukup atletis jadi bisa menahan bobot Mama yang nggak bisa dibilang ringan.

“Maaf ya, Mas,” kataku sambil menunduk kepadanya dan kedua tangan ditangkup.

“Iya, nggak apa-apa, Mbak.”

Mama sigap mengambil dua kartu akses yang terjatuh dan menyerahkan salah satunya kepada lelaki itu.

“Maaf ya, saya nggak lihat.”

Pemuda itu tersenyum dan mengangguk lalu meneruskan perjalannya keluar dari hotel. Mau ke mana tuh orang subuh-subuh gini?

“Fara, Fara, gawat!” Mama berseru panik, membuyarkan lamunanku saat memandangi punggung lelaki itu. Penampilan Mama terlihat berantakan dengan keringat sebesar biji jagung mengalir di pelipisnya.

“Kenapa sih, Ma? Persiapan udah selesai semua, kok. Aman.”

“Kamu cepetan ke kamar Fira. Mama ngurusin Papa dulu, jantungnya kumat. Papa lagi sesak napas sekarang. Cepetan!”

W-wait, what? Mama jelasin pelan-pelan, dong. Kenapa harus ke kamar Fira padahal Papa yang lagi kumat?”

“Keenan kabur! Fira ngurung diri di kamar. Papa syok. Ini mama udah minta duplikat kuncinya ke resepsionis. Cepetan kamu ke kamar Fira, ya!”

Aku melongo semelongo-melongonya. Fira dan Keenan kelihatan sudah mantap menikah. Yah … meskipun menjelang pernikahan mereka sempat berdebat kecil, tetapi itu wajar bagi pasangan menjelang pernikahan, kan? Kenapa tiba-tiba Keenan kabur? Di hari pernikahan ini? Di pagi hari ini? Tiga jam lagi sebelum akad nikah! Gila!

Aku dan Mama memelesat secepat kilat menaiki lift. Mama berhenti di lantai dua, tempat kami sekeluarga menginap, sedangkan aku lanjut ke lantai delapan, kamar Fira dengan … Keenan menginap, nanti setelah mereka sah sebagai suami istri.

Kamar Fira nomor berapa, ya?

Aku lupa soalnya kemarin sibuk banget, nggak sempet nemenin Fira check in. Yang jelas, Fira maunya di kamar suite, minimal junior suit. Sedangkan kami keluarga cukup di kamar standar saja. Lagian, menurutku kamar standar hotel bintang 4 ini sudah lebih dari nyaman.

“Ah, untung ada nomor kamar di kartu aksesnya.”

Aku bergegas keluar lift dan berlari sepanjang lorong. Sesampainya di depan kamar Fira, aku segera menyentuhkan kartu akses ke sensor.

“Fir,” panggilku pelan.

Sejujurnya aku juga deg-degan. Lututku masih lemas mendengar kabar bahwa Keenan kabur. Aku memang nggak terlalu mengenal Keenan karena Fira jarang membawanya ke rumah dan aku terlalu sibuk untuk meladeni tamu Fira. Tapi, rasanya aku nggak menemukan hal janggal selama persiapan pernikahan mereka. Keenan terlihat seperti eksekutif muda pada umumnya, cuek, sibuk, tetapi masih mau diajak ke sana ke mari olehku dan Fira. Meskipun aku juga kurang suka dengannya karena terkesan agak sombong. Biasa lah, pewaris tunggal.

Dan juga, hubunganku dan Fira nggak seperti kembar kebanyakan. Seperti yang sudah kuceritakan di atas kalau aku dan dia punya selera yang berbeda, karakteristik kami juga berbeda. Fira lebih suka aktivitas yang kecewek-cewekan, misalnya belanja di mal atau nyalon, sementara aku lebih suka berdiam diri di kamar dan nonton film di kamar. Saat dia sibuk dikejar-kejar lelaki di kantornya, aku justru sibuk mengejar lemburan. Aku nggak pernah ngerti ketika dia nangis-nangis karena diputusin.

Jadi, bisa bayangkan bagaimana aku harus menenangkan dia yang ditinggal calon suami H-tiga jam?

“Fir, lo di mana?”

Kamar ini terasa sepi, tetapi aku bisa mendengar suara kucuran pancuran air dari kamar mandi yang letaknya persis dekat pintu masuk.

Fira lagi mandi?

Tiba-tiba pintu kamar diketuk.

Breakfast.

Aku urung mengetuk pintu kamar mandi dan akhirnya membuka pintu kamar dulu.

“Dua porsi nasi goreng seafood, satu gelas jus jeruk, satu gelas kopi hitam, satu porsi wagyu steik, satu porsi salad.”

Aku melongo mendengar begitu banyak makanan yang dipesan Fira. Tumben banget, biasanya dia rela kelaparan demi tetap kurus. Padahal, aku dan dia sama-sama tipikal yang cukup stabil meskipun makan banyak.

“Sebanyak ini? Sepagi ini Memang orang di kamar ini yang pesan, Mas?” tanyaku.

“Iya, Mbak.”

“Yaudah, taro di meja aja, deh.” Aku maju, memberi jalan agar troli itu bisa masuk melewati lorong. Bodo amat porsi kuli!

Sementara room boy menaruh makanan di meja, aku menempelkan telinga di daun pintu kamar mandi. Sudah tidak terdengar lagi suara air.

Waduh, jangan-jangan Fira bunuh diri di bathub kayak di film-film!

Bayangan-bayangan mengerikan mulai tergambar di kepalaku, bathub merah penuh darah dan tubuh Fira tenggelam. Aku sudah menyiapkan hati untuk skenario itu. Panik mendadak membuatku refleks menarik tuas pintu kamar mandi. Namun … ketika pintu terbuka ….

Aku menjerit. Orang itu juga menjerit.

Secepat kilat, dia menyambar handuk dan melilitkannya di pinggang. Sementara aku kehilangan kendali atas tubuhku! Aku cuma diam terpaku dengan mata membelalak.

Dia langsung mendorong tubuhku menjauh dari pintu kamar mandi, tetapi ….

“Fara? Kamu tidur sama laki-laki?!”