Oleh: Weede
“Ibu sudah mengambil keputusan. Ini semua demi kebaikan Ragil. Dia anak lelaki satu-satunya, penerus trah Aryo Wicaksono. Ibu harap kamu paham dan mengerti,” ujar Ibu mertuaku tanpa merasa berdosa.
Perempuan dengan penampilan sangat angkuh itu memandang dingin. Tatapan menghina seorang perempuan yang sudah lebih dari enam tahun menikah dengan anaknya, tetapi belum juga memberinya cucu.
Aku hanya menunduk, menyembunyikan tetesan bening yang mulai membasahi sapu tangan di pangkuanku. Kulirik sekilas lelaki yang pernah memujaku. Seseorang yang pernah memohon pada orangtuaku agar diizinkan menyunting putri satu-satunya mereka. Pada akhirnya dia memikirkan janji di depan penghulu dan saksi enam tahun lalu. Kini, lelaki yang aku harapkan pembelaannya justru seakan tak berdaya menolak keinginan Sang Ibu tercinta atau memang dia sendiri yang menginginkan semua ini terjadi.
Aku meremas sapu tangan yang sudah basah oleh air mata. Entah aku harus berkata apa. Ingin rasanya berteriak dan berlari pulang. Mengadukan semua perlakuan mereka pada Ayah dan Ibu. Namun, itu tidak mungkin dilakukan karena saya sebatang kara di dunia ini.
***
Aku cerdas sebagai putri tunggal dari sepasang orang tua yang sangat bijak dalam setiap sikap mereka. Dinda Prameswari nama yang diberikan orang tuaku. Ketika saya masih kuliah semester lima di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, ada seseorang yang belum melamar saya. Ayah dan Ibu memang melarang aku pacaran. Beberapa kali lelaki itu datang padaku, menyatakan perasaannya dan ingin menjalin hubungan pacaran sampai kami tamat kuliah. Dengan tegas aku menolaknya.
“Maaf, Kakak kalau hanya mencari perempuan untuk senang-senang, aku rasa Kakak salah orang. Aku bukan perempuan yang suka dipacari. Silakan Kakak cari perempuan lain,” ujarku saat itu.
“Aku tidak akan main-main denganmu. Saya serius! Tapi saat ini aku belum siap menikah,” ucapmu sambil menatap lekatku.
“Kalau Kakak adalah lelaki yang bertanggung jawab, tidak mungkin berani memacari anak gadis orang. Datangi orang tuaku kalau Kakak benar-benar menyukaiku,” ujarku tegas sambil melangkah pergi meninggalkannya tercenung setelah mendengar ucapanku.
Dua bulan setelah pertemuan itu, aku resmi menjadi istrinya. Istri seorang Ragil Putra Aryo Wicaksono, putra bungsu kesayangan dari Raden Ayu Arum Kusuma Ningsih dan Raden Mas Aryo Wicaksono yang konon masih berdarah bangsawan karena merupakan bagian dari keluarga besar Pakualam Solo. Darah biru yang mengalir di tubuh mereka seakan menjadi pembenaran atas semua perlakuan mereka padaku.
Aku yang hanya anak dari rakyat jelata yang berprofesi sebagai guru SD, tentu bukan orang yang diharapkan menjadi menantu mereka. Sebelum bertemu denganku, Kak Ragil sebenarnya sudah dijodohkan dengan seorang putri yang sama-sama keturunan darah biru. Namun, takdir berkata lain, Sang Putra kesayangan justru memilih aku, gadis desa yang tak berharta dan tak punya gelar kebangsawanan. Ini merupakan pukulan berat bagi keluarga besar Aryo Wicaksono, apalagi Kak Ragil adalah putra satu-satunya di keluarga mereka. Kak Ragil mempunyai empat kakak perempuan yang semuanya sudah menikah. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, suamiku adalah penerus dari Aryo Wicaksono karena keturunan menjadi sangat penting bagi mereka.
“Kalau bukan kamu yang mandul siapa lagi? Ndak mungkin Ragil mandul! Lihat semua kakaknya sudah punya anak. Ndak ada keturunan kami yang mandul. Lihat keluarga kamu, ibumu cuma bisa melahirkan kamu!” ujar Ibu mertuaku dengan ketus sambil melirik dengan jijik kepadaku.
“Dari pertama ibu sudah ndak setuju kamu menikah dengan perempuan kampung. Enggak jelas trahnya, enggak sepadan dengan status kita. Sekarang coba lihat, ngasih cucu aja ndak becus! Sampai kapan ibu harus menunggu? Kalian sudah lima tahun lebih menikah! Kurang sabar apalagi ibu?” bentak Ibu dengan kesal.
Setahun yang lalu, Kak Ragil masih menjadi pengayomku, dia selalu menggenggam tangan dengan lembut setiap kali ibu datang ke rumah kami dan mulai mengungkit semua kekuranganku. Suamiku kala itu masih sabar memelukku dengan segala kelembutannya. Menyediakan bahunya untuk tempatku menumpahkan air mata dan sering membiarkan lengannya menjadi sasaran kekesalanku yang tak berani aku perlihatkan di depan ibu. Namun, itu setahun yang lalu, sebelum ibu mempertemukannya dengan Raden Ajeng Rastianingtyas Sastro Wiryono.
Pertemuan demi pertemuan yang diatur oleh ibu ternyata setahun lebih berjalan tanpa sepengetahuanku. Hingga pada suatu hari, seorang teman mengungkap sebuah postingan di sebuah akun media sosial yang terpampang foto suamiku dengan seorang perempuan cantik berkulit putih bersih, dengan rambut tergerai ditiup angin. Dengan caption yang membuat darahku berdesir dan jantungku hampir saja berhenti berdenyut.
'Liburan dengan calon suami, sebentar lagi kita halal ya ... jangan syirikkkk' dengan emot tertawa ditambahkan di akhir kalimat.
Di rumah, aku tunggu kepulangan suami yang seminggu lalu berpamitan akan mengecek persiapan pembukaan cabang baru untuk rumah makan yang dikelola bersama dua kakaknya. berusaha menata hatiku agar tidak menimbulkan percikan api yang justru menyulut pertengkaran dengan Kak Ragil. Bagaimana pun aku masih istrinya, dan dia adalah suami yang wajib aku hormati.
***
“Aku tahu aku salah, tapi tidak ada jalan lain selain ini, Dinda. Kamu tahu bagaimana Ibu kalau sudah mengeluarkan ultimatum. Aku mohon kamu ikhlaskan aku, dulu ketika kita menikah, Ibu juga ikhlas menerima kamu dan kealuargamu menjadi bagian dari kami,” ujar suamiku ketika aku menanyakan perihal kepergiannya selama seminggu.
“Kalau keluargamu ikhlas menerimaku, kenapa harus ada menantu perempuan lain di sini?” tanyaku sambil meninggalkannya sendiri di kamar.
Sejak Kak Ragil kembali dari perjalanannya, tidak ada waktu lagi untukku. Semua sibuk mempersiapkan acara lamaran sekaligus pernikahan lelaki yang masih berstatus suamiku. Tanpa mampu menolak apalagi melawan, saya hanya menjadi penonton dan saksi yang tidak termasuk dalam keluarga Kak Ragil. Mereka seolah tak merasa ada aku yang masih menjadi istri syah dari Ragil Putra Aryo Wicaksono.
Aku sadar kekuranganku, tapi haruskah aku mendapat perlakuan seperti ini? Andai ayah dan ibuku masih ada, tentu saya tidak akan merasa seterpuruk ini.
“Yah, Bu… Dinda kangen…,” bisikan aku berbisik.
Setiap malam dalam sujud-sujud panjangku, entah sudah berapa banyak air mata tertumpah di atas sajadah yang sudah terlihat lusuh. Sajadah mempersembahkan Ibu saat aku di wisuda enam tahun yang lalu. Sering saya bertanya mengapa saya harus mengalami kehilangan bertubi-tubi ini? Setahun lalu kedua orang tuaku pulang dalam waktu yang hampir bersamaan. Hanya berselang satu bulan setelah ibu pergi selamanya, ayahku menyusul. Keduanya memang mempunyai riwayat penyakit jantung. Namun, saya tak pernah menduga bahwa saya akan kehilangan keduanya sebelum saya bisa mempersembahkan cucu pada mereka.
***
“Dinda, maafkan aku… aku mohon kamu bisa mengikhlaskan semuanya. Aku tidak bisa menolak keinginan Ibu, dan kami juga tidak bisa menolak syarat dari keluarga Rasti,” ujar Kak Ragil sambil memberikan amplop berwarna merah padaku.
Aku membukanya, membaca isinya, hanya ada selembar akta cerai yang tertulis namaku di sana. Aku tidak pernah mengira, suamiku menceraikan aku diam-diam. Selama ini dia tidak hanya sibuk mengurus pernikahannya, tapi dia juga mengurus perceraian denganku. Aku tidak ingin menangis di depannya. Aku mencoba tersenyum walau getir terasa di dada.
“Ya, Kak, aku mengerti. Aku ikhlas, maafkan Dinda yang belum bisa menjadi istri yang baik bagi Kak Ragil. Semoga Kakak bahagia bersama Rasti,” ucapku tulus.
Kucium tangannya kemudian aku masuk ke kamar, menata semua barang pribadiku. Saya tidak ingin meninggalkan sedikit pun kenangan di rumah ini.
'Semua akan baik-baik saja, Nak,' batinku seraya mengelus perutku yang belum terlihat buncit.
'Mama janji kita akan baik-baik saja,' ujarku sambil tersenyum ikhlas.
Saya sudah mengikhlaskan semua. Memaafkan semua perlakuan suami dan keluarga besarnya saya. Tadinya aku ingin memberi kejutan pada lelaki yang pernah sangat mencintaiku itu, tapi dia dulu membuatku tersentak dengan keputusannya.
Aku melangkah keluar rumah megah milik keluarga mantan suamiku. Dengan tenang dan senyum ikhlas. Setelah semua urusan beres termasuk resign dari kantorku, aku akan pergi jauh dari sini. Pergi selamanya dan berharap tidak akan kembali ke kota ini lagi.
***
Dua tahun kemudian ...
Tanpa sengaja Raden Ragil Putra Aryo Wicaksono menemukan sebuah amplop putih yang berhubungan dengan nama Ny. Dinda Aryo. W di bawah tumpukkan buku yang selalu di baca Dinda, mantan istrinya.
“Klinik Bunda dan Buah Hati,” gumamnya berbisik membaca nama klinik yang tertera di sudut kiri bantal.
Dia perlahan membuka, membaca, dan duduk dengan tubuh lemas bagai tidak bertulang.
“Aku sudah jadi ayah sejak dua tahun yang lalu,” ujarnya pada diri sendiri dengan penyesalan berlinang air mata.
Dua tahun dia menunggu istri keduanya hamil, tapi tak jua kunjung tampak tanda-tanda itu. Hari ini dia baru tahu bahwa sebenarnya dia adalah seorang ayah dari anak yang tidak pernah dia tahu keberadaannya.
Weedee, Taipei, 3122023