Between a Prince and a Businessman

Between a Prince and a Businessman

sweet-stripes

4.7

Ini pertama kalinya aku berani mengambil sebuah keputusan penting dalam hidup, tanpa campur tangan siapa pun. Keyakinan itulah yang membuatku sekarang ada di sini. Di satu ruangan yang tidak terlalu luas, tetapi dipenuhi oleh orang-orang yang sebagian besar bernasib sama. Tidak bahagia atau tidak dipedulikan oleh pasangannya.

Aku sedikit kesulitan bernapas karena detak jantung yang berdegup begitu cepat. Semua perilaku manusia di sekitar, memaksaku untuk terus memejamkan mata. Bersembunyi di balik hitamnya lensa kacamata. Aku tidak ingin terburu-buru membukanya. Sebab, aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terlihat begitu mata ini kembali terbuka. Pasti akan ada sepasang mata bulat yang menatapku dengan penuh tanya. 

"Milania Armand?"

Seketika aku membuka mata dan melihat ke arah asal suara. Sesuai dugaanku, kedua mata lelaki itu memandang dengan sedikit memiringkan kepalanya. Menunggu jawaban. 

Kepalaku mengangguk pelan. Memberi tahu lelaki paruh baya itu bahwa benar aku adalah orang yang dipanggilnya. Kutegakkan posisi badan. Bersiap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilayangkan, di depan loket pengajuan perceraian.

"Anda Milania Armand?"

Aku kembali mengangguk. 

"Umur Anda dua puluh dua tahun, dan Anda ingin mengajukan perceraian?"

Aku mengangguk sekali lagi.

Lelaki itu kembali membaca berkas formulir yang kuberikan. Ia membetulkan kacamatanya, walau terlihat tidak salah posisi. Aku semakin gugup. Jari-jari serta telapak tangan mulai berkeringat. Karena tidak bisa lagi berdiri tegak dengan benar, akhirnya aku kembali bertumpu pada meja kecil yang menempel di depan jendela loket.

"Apakah Anda sudah membicarakan masalah ini dengan suami Anda? Karena tanpa persetujuan dari yang bersangkutan, Anda tidak bisa mengajukan perceraian."

"Saya sudah membicarakan masalah ini dengan suami saya, Sir. Tapi, suami saya sedang berada di luar negeri, dan tidak bisa ikut mengurus perceraian kami," kataku berusaha berbicara senormal mungkin, tanpa mengalihkan mata dari tatapan petugas itu untuk menyakinkannya. Setelah mendengar jawabanku, akhirnya petugas itu terlihat melunak. 

Ia membaca kembali semua lembar berkasku dengan cermat, sambil menghela napasnya beberapa kali. Aku yakin pasti ia sudah tahu siapa suamiku. Hampir semua masyarakat di negeri ini tahu kalau aku adalah istri Kenayo Ditch. Foto-fotoku sampai saat ini masih sesekali dimuat di majalah atau tabloid. Hal itu yang membuatku datang dengan perlengkapan menyamar. Sebuah kacamata hitam, topi baseball, dan masker untuk menutupi wajah.

"Anda yakin ingin mengajukan perceraian ini? Suami Anda Kenayo Ditch, putra pemilik Ditch Corporation, kan?"

Aku langsung mengangguk dengan pasti.

"Saya yakin, Sir," jawabku dengan sangat lancar. Hingga akhirnya petugas tersebut mengangguk, memutuskan untuk menerima berkasku agar bisa ditindak lanjuti.

"Baik, kalau memang Anda sudah yakin dengan keputusan Anda. Saya akan memeriksa berkas-berkas yang Anda ajukan. Sekarang Anda bisa pulang sambil menunggu kabar selanjutnya. Nanti akan ada yang menghubungi, untuk mengabarkan jadwal mediasi dengan Hakim. Tapi, jika mediasi gagal atau mau dilewati, maka proses selanjutnya langsung ke sidang penetapan pemutusan pernikahan. Pada saat sidang nanti, Anda dan suami harus hadir. Minimal dalam satu kali persidangan. Apa Anda mengerti, Mrs. Ditch?" ucap petugas itu dengan penekanan di setiap katanya. Keputusanku sudah bulat, jadi aku mengangguk mantap sekali lagi. Lalu mengucapkan terima kasih beberapa kali pada petugas tersebut sebelum pergi.

Langkah kaki terhenti begitu sampai di pintu mobil. Setelah menyalakan mesin, aku menelepon Pheya dan Nora. Kami berjanji akan bertemu di kafe tempat biasa berkumpul.

Tiga puluh menit kemudian, aku tiba di area parkir kafe. Pheya juga Nora sudah sampai terlebih dahulu. Mereka berdua bisa membaca raut wajahku yang gugup sekaligus lelah.

Kuhempaskan tas ke kursi kosong di sebelah sebelum menyandarkan tubuh yang sudah kehabisan tenaga. Pheya segera menyodorkan segelas punch dingin ke hadapan. Tanpa pikir panjang, cairan berwarna jingga yang menyegarkan langsung kuteguk sampai tandas.

"Bagaimana tadi? Kau jadi mengajukan gugatan perceraianmu, Mila?" Nora bertanya dengan raut wajah prihatin.

"Jadi. Aku sudah berhasil memasukkan berkas perceraian. Sekarang hanya tinggal menunggu kabar jadwal mediasi dan jadwal persidangannya," jawabku tanpa semangat.

"Kau tahu kan, kalau semuanya tidak akan berjalan sesederhana yang kau pikir? Proses perceraian itu sangat rumit, Mila." Pheya yang kurang mendukung keputusanku akhirnya berbicara.

Aku tahu, semuanya tidak akan berjalan dengan mudah. Aku harus memikirkan cara untuk berbicara pada Bibi Meelan. Aku juga harus memikirkan cara untuk mendapatkan tanda tangan Kenayo yang entah ada di mana.

"Aku tahu, Pheya. Tapi, aku akan berusaha mencari cara untuk menyelesaikannya. Aku mohon, tolong dukung aku. Jangan membuatku ragu dengan keputusan yang sudah telanjur basah ini," kataku memelas. Pheya menghela napas panjang, lalu menyilangkan kedua tangannya.

"Baiklah. Aku yakin kau tahu yang terbaik untuk hidupmu. Aku juga berharap kalau itu memang yang terbaik."

Aku tersenyum padanya. Pheya dan Nora memang tidak begitu mendukung keputusanku. Karena yang mereka berdua tahu, alasanku ingin bercerai dari Kenayo hanya karena lelaki itu sudah mengabaikanku selama enam bulan terakhir. Namun, sebenarnya ada alasan lain yang enggan kuberitahu pada siapa pun. Alasan yang hanya diketahui olehku dan calon mantan suamiku.

"Thanks girls, aku tidak tahu bagaimana jadinya hidupku tanpa kalian," kataku sambil memeluk erat keduanya.

Akhirnya kami bertiga bisa tertawa, dan aku berusaha menikmati sore dengan bahagia. Sebab, saat tiba di penthouse nanti, aku harus segera memikirkan cara untuk menyelesaikan satu per satu masalah. Hah, perjodohan ini memang sangat merepotkan.

▪▪▪

Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak. Ketika mencoba memejamkan mata, bayangan raut wajah kecewa dan marah dari Bibi Meelan selalu muncul berkali-kali. Aku terus berpikir keras. Bagaimana cara menjelaskan keputusan ini pada Bibi Meelan. Lagi-lagi aku sudah mengecewakannya. Setelah semua yang dilakukan Bibi, apa ini balasan terbaik yang bisa kuberikan?

Dengan berat hati, kuputuskan untuk bangun dan mencuci muka. Daripada terus-terusan larut dalam penyesalan tak berujung.

Setelah selesai sarapan, aku malah melamun. Memandangi ruangan besar tempatku berada. Ruangan ini, menjadi saksi bisu dari perjalanan hidupku selama hampir satu tahun terakhir. Tempatku menangis, tempatku tertawa. Aku pasti akan merindukan penthouse ini, yang pernah kupanggil rumah. Pikiranku jadi pergi ke mana-mana, hingga ke hari di mana untuk pertama kalinya aku berbicara serius dengan Kenayo. 

"Ken, apa menurutmu pernikahan kita masih baik-baik saja?" tanyaku pagi ini, di hari kedua setelah Kenayo pulang secara tiba-tiba. Ia mengangkat kepalanya, tapi tidak menjawab. Ia mengamati raut wajahku yang menatapnya sendu.

"Kita tidak pernah bertemu selama enam bulan lamanya. Sikapmu itu membuatku sempat berpikir, untuk apa aku melanjutkan pernikahan ini? Walaupun aku tahu, pernikahan kita memang terjadi karena perjodohan. Namun, setidaknya aku berharap akan bahagia denganmu, Ken," kataku berkeluh kesah.

Akhirnya aku memberanikan diri menumpahkan semua kekesalan dan kekecewaan yang terpendam selama enam bulan terakhir. Aku tidak menyangka kalau ternyata hanya aku sendiri yang merasa gelisah. Apa selama ini dia tidak pernah memikirkan perasaanku? Apa dia tidak tahu kalau aku begitu merindukannya hingga putus asa seperti sekarang?

"Aku benar-benar minta maaf, Mila. Tapi, aku sama sekali tidak berpikir bahwa ini adalah sesuatu yang salah. Sejak awal kau tahu, kalau aku adalah pewaris tunggal perusahaan Ayahku. Seharusnya kau tahu betapa banyaknya hal yang harus aku kerjakan. Aku juga sudah mengajakmu ikut bersamaku, tapi kau yang menolak karena urusan perkuliahanmu, kan?"

Aku tertegun mendengar jawaban Kenayo. "Aku tahu dan paham dengan tanggung jawabmu pada perusahaan, aku hanya berharap kau menyisakan sedikit saja waktumu untukku," jawabku sedih.

"Aku sudah pernah memintamu untuk berhenti kuliah, Mila," sanggah Kenayo.

"Aku tidak bisa berhenti kuliah, Ken. Aku harus lulus dan mendapatkan gelar. Aku tidak ingin hanya mengandalkan nama-nama orang di sekelilingku-"

"Tapi kau istriku, Mila. Kau tidak butuh gelar apa-apa lagi. Kau sudah menjadi Mrs. Ditch sekarang," potong Kenayo mulai kesal.

Iya, ia benar. Aku memang Mrs. Ditch, tapi aku akan menjadi seorang Mrs. Ditch yang hanya lulusan sekolah menengah atas. Setidaknya aku menginginkan ada dua huruf di belakang namaku kelak. Menjadi sarjana adalah impianku sejak kecil. Aku yakin almarhum kedua orang tuaku juga pasti menginginkan yang sama.

"Maafkan aku, Ken ...." 

Kenayo diam. Ia mengembuskan napas dengan begitu berat.

"Baiklah, aku mengerti dengan keinginanmu. Aku akan berusaha lebih banyak meluangkan waktu untukmu. Besok, aku bisa mengambil cuti satu hari. Aku akan menemanimu pergi ke mana pun kau mau. Bagaimana?" jawabnya mencoba menenangkan. 

Akhirnya aku mengalah. Sepertinya memberi ia kesempatan satu kali lagi adalah satu-satunya pilihan yang kumiliki saat ini. 

▪▪▪

Aku sedang santai menonton TV saat tiba-tiba ada yang menekan bel pintu dengan tidak sabar. Tidak lama kemudian terdengar suara Nora dan Pheya yang sedang bercanda. Mereka muncul dengan membawa tas belanja yang besar, dan langsung menghambur ke arahku setelah melemparkan tas belanjaannya.

"Hei, apa-apaan ini? Kalian ingin membunuhku?" teriakku saat tubuh mereka berdua menghimpit. Aku sampai harus meronta-ronta, berusaha melepaskan diri.

"Coba tebak! Apa yang terjadi hari ini di kampus, Mila!" Pheya berkata sangat antusias.

"Aku tidak datang ke kampus hari ini, masa kau lupa? Memangnya apa yang terjadi?" kataku tidak tertarik. Akhirnya Nora dan Pheya melepaskan pelukan mereka dan duduk manis di samping kiri dan kananku.

"Baiklah, ceritakan padaku! Hal besar apa yang terjadi hari ini." Aku pun duduk santai sambil menyandarkan tubuh ke sofa, lalu mengecilkan volume tv.

"Hari ini ada seorang mahasiswa baru di fakultas kita, Mila!" teriak Nora.

"Lalu? Apa dia tampan?"

Pheya dan Nora bereaksi heboh dengan berpura-pura pingsan.

"Ya, Tuhan! Kau harus melihatnya sendiri, Mila! Dia begitu tampan hingga aku tidak tahu apakah ada lelaki lain yang lebih tampan di dunia ini!" Pheya sedikit berlebihan.

"Tebak dia siapa!" Nora berteriak. Aku pura-pura berpikir keras, lalu menyerah seketika dengan menggelengkan kepala.

"Dia Pangeran, Mila! Kau tahu kan, Pangeran Liam?"

"Pangeran Liam? Pangeran bungsu?"

Nora mengangguk-angguk penuh semangat. "Oh, Mila. Kau harus lihat kejadian tadi. Semua orang histeris mendengar Pangeran akan berkuliah di fakultas kita. Pangeran Liam sudah berdandan senormal mungkin dan memakai kacamata, tapi semua orang tetap tahu kalau dia itu Pangeran!"

Ah, orang terkenal lainnya. Setelah aktor tampan yang fenomenal, sekarang datang seorang Pangeran. Kenapa orang yang begitu penting itu harus berkuliah di Universitas dan Fakultas yang sama denganku, sih? Hari-hari tenangku, hilang sudah.

"Kenapa kau terlihat tidak bersemangat Mila? Apa kau tidak senang akan bisa bertemu dan bahkan mungkin berteman dengan seorang Pangeran?" tanya Pheya kecewa.

"Aku hanya, tidak suka dengan banyaknya kamera-kamera yang akan berada di kampus nanti, Pheya. Kau tahu, kan? Aku anti kamera?" Pheya mengangguk paham.

Pheya dan Nora memang tahu pasti kalau aku sangat tidak suka difoto oleh para awak media. Di awal pernikahanku, banyak sekali paparazzi yang selalu membuntutiku setiap hari di kampus. Hingga Kenayo harus menyewa banyak pengawal untuk menjaga semua pintu masuk, agar mereka tidak masuk dan mengganggu ketenangan. 

Untung saja saat ini mereka sudah tidak tertarik lagi, karena kehidupanku berjalan seperti biasa tanpa sensasi. Lalu sekarang, seorang Pangeran datang dengan diikuti oleh para awak media di belakangnya. Memang bukan aku yang menjadi sorotan, tapi pasti akan ada yang menangkap dan memberitakan sedikit kehidupanku, kan?

"Tenang saja, Mila. Kami akan selalu berada di sampingmu dan melindungimu. Hehehe ...." 

Setelah puas tertawa, aku mengalihkan pandangan pada tas belanja yang mereka bawa tadi. "Hei, apa yang baru saja kalian beli? Kenapa tidak mengajakku?" kataku berpura-pura kesal.

"Ahh, maafkan kami Mila. Kami tidak berencana akan berbelanja hari ini. Tiba-tiba Nora memaksaku menemaninya mampir ke butik langganannya setelah pulang kuliah. Dan, inilah hasilnya," jawab Pheya sambil menunjuk dua tas belanja besar itu.

"Baiklah, coba kulihat apa saja yang kau beli Nora!"

Aku segera mengambil salah satu tas belanja Nora dan mengeluarkan barang-barang yang ada di dalamnya. Ada satu gaun yang menarik perhatian. Sebuah gaun indah berwarna putih. Aku segera berlari ke kamar dan mencobanya. Nora berusaha mencegahku, namun tidak berhasil. Aku memandangi diriku yang terlihat cantik dengan memakai gaun milik Nora, lalu berlari menghampiri mereka.

"Coba lihat, Nora! Gaun ini sangat cocok untukku!" kataku bersemangat dengan berputar-putar di depan mereka.

"Ya, gaun itu memang sangat pas di tubuhmu, Mila," kata Pheya.

"Tapi, itu milikku! Jangan ambil gaun itu, Mila. Kumohon ...," Nora memohon sungguh-sungguh dengan wajah memelas.

Aku hanya menjawab dengan tawa renyah, lalu berjalan santai ke kamar dan melepaskan gaunnya.

"Baiklah, aku kembalikan!"


to be continued