Berganti arwah

Berganti arwah

Rachel bee

0

Dua jam sudah aku dan Fandi mengutak-atik kendaraan miliknya yang tiba-tiba berhenti tepat di kilometer dua puluh arah kota Bandung. Aku ikut turun mengikuti Fandi sambil membawa senter kecil bercahaya panjang yang selalu ada di dalam tas kecilku. 


Fandi mengeluh. Ia terlihat bingung dengan tumpukan kabel yang teronggok malas di balik kap mobilnya. Tangan Fandi sibuk membuka tutup knop tabung lalu meniupnya perlahan. Berulang kali ia melilitkan tali kecil yang entah apa gunanya hingga giginya ikut meringis. 


Selesai. Ia menoleh ke arahku lalu menyuruhku kembali ke dalam mobil dan menunggunya di sana. Aku menurutinya. Jantungku terasa berdetak lima kali lebih cepat saat kakiku perlahan memasuki mobil. Seketika hawa dingin menyeruak diantara sela jok mobil yang aku duduki. 


Tak lama kemudian, Fandi menutup kap dan membereskan peralatan yang tadi sempat ia pakai. Ia masuk dan duduk di sampingku sambil mengusap peluh yang keluar dari dahinya. 


"Sudah beres mobilnya, Fan?" tanyaku penasaran. Fandi mengangguk. Ia memutar kunci dan menekan pedal gas dengan kakinya yang masih gemetar. Perlahan, mobil yang kami naiki berjalan pelan melewati areal hutan yang tadi kami singgahi. 


Aku sempat melihat ke arah luar jendela mobil, tak ada yang istimewa. Hanya langit yang tampak gelap tanpa cahaya bulan ataupun bintang bagaikan ruang kosong hitam pekat dan beberapa pohon besar yang berjajar rapi di pinggir jalan. 


Mataku terpesona sesaat menikmati keindahan malam tepat di saat permukaan bulan baru. Hitam pekat tanpa cahaya seolah mengubur sebuah cita-cita. 


"Ji. Sepertinya kita tersesat," ujar Fandi tiba-tiba memecah keheningan. Aku sedikit terkejut. Aku menoleh perlahan sambil mengernyitkan dahi. 


"Jangan bercanda, Fan." aku berusaha menghibur diri. Kulihat Fandi sedikit ketakutan. Wajahnya tiba-tiba berubah pucat dan tangannya semakin bergetar. Berkali-kali ia mencocokkan alamat yang ada di ponsel lalu menyetel ulang di GPS mobilnya. 


"Tadi, aku kira ada jalan potong lewat samping tol ke arah villanya Norman. Ternyata enggak ada," jawab Fandi. 


Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Aku mengusap pelan leher belakangku karena ada hembusan berat napas menerpa di sana. Fandi menoleh melihat kegelisahanku dan usapan di leher yang semakin jelas terlihat. "Kamu kenapa?" 


"Fan, jangan bercanda ah." aku sedikit membentaknya. Fandi tak terlihat melucu. Ia bahkan menampilkan aura ketegangan karena tampaknya kini ada sesuatu yang menganggu pikiran pria umur dua puluhan akhir itu. 


"Aku enggak bercanda, Ji. Tadi kamu lihat enggak, ada dua jalan bercabang saat mau ke luar tol?" tanya Fandi. Aku mengangguk karena tadi aku memang melihatnya. "Jalanan itu enggak ada di GPS, Ji." 


Aku sontak terkejut. Bibirku bergetar. Aku berusaha tak terpengaruh akan isi kepalaku yang terus menerus berbisik dan mengatakan ada hal mistis hadir saat ini. "Lalu?" 


Fandi tak memberi jawaban atas pertanyaanku. Ia terus mengutak-atik GPS dan mencari titik dimana saat ini kami berada. Raut wajahnya semakin terlihat bingung. Sesekali ia melirik ke arahku dengan wajah memelas dan putus asa. 


"Ji, coba telpon Norman. Siapa tahu dia bisa bantu," usul Fandi. Aku seketika mengangguk dan segera membuka ponselku lalu mencari nama Norman di sana. Lima detik panggilan tak terhubung. Aku mencobanya lagi. Hingga tiga kali berturut-turut tak terhubung juga, aku pun pasrah. 


Tanganku lemas. Perlahan kutunjukkan layar ponselku pada Fandi. "Fan, nomor telpon Norman tidak terdaftar. Padahal, baru tadi sore aku hubungi." 


Fandi menggeram. Ia menghentikan laju kendaraannya dan membanting tangannya diatas setir cukup keras hingga aku bisa merasakannya dari jauh. 


"Sial. Kenapa juga aku harus menuruti keinginannya datang ke villa hanya untuk bertemu dia," geramnya. 


Aku menepuk pundaknya dan mengusapnya perlahan. "Are you okay?" 


Fandi menggeleng. Ia menundukkan wajahnya dan menaruhnya diantara setir mobil. Suasana hening. Aku memilih diam sambil terus menatap ponsel dan merapal doa sejak tadi. Fandi masih terdiam, kulihat dari samping ia nampak sedang memejamkan matanya. 


Namun keheningan itu tiba-tiba terusik oleh suara ketukan kaca mobil. Seorang pria paruh baya dengan perawakan kecil berdiri di depan kaca mobil samping Fandi. Aku terperanjat kaget dan hampir menjatuhkan ponsel kesayanganku. Fandi pun sama. Ia terbangun dengan wajah lelahnya lalu membuka perlahan kaca jendela mobil yang tadi diketuk. 


"Den, orang sini atau bukan?" tanya pria itu. Fandi terdiam. Ia nampak masih syok karena kaget. Aku pun berinisiatif membantu menjawabnya. "Kami dari Jakarta, Pak." 


"Oh, dari Jakarta?" Pria itu melirikku pelan dengan mulut yang tampak komat-kamit mengucapkan sesuatu. Lalu pandangannya beralih ke arah Fandi yang masih terdiam karena syok. "Den, kayaknya dia enggak berhasil ambil satu malam ini. Karena nengnya ada yang jagain. Lebih baik kalian segera pergi dari tempat ini." 


Fandi mengernyitkan dahinya. Ia menoleh ke arahku lalu kembali menatap pria paruh baya tadi. "Maksud bapak?" 


"Aden jalan lurus terus jangan potong kiri kanan. Setelah lihat ada cahaya banyak Aden silakan belok kiri," tunjuknya. Pria tua itu menunjukkan arah yang harus kami tempuh. Fandi masih bingung aku pun sebenarnya sama, hanya saja aku paham apa maksud perkataan pria tua tadi. 


"Maksudnya, Pak?" 


"Kami mengerti, terima kasih Pak." aku memotong pembicaraan mereka. Pria tua itu mengangguk lalu tangannya mempersilakan kami berdua untuk segera pergi. Kucubit lengan Fandi hingga ia meringis kesakitan. Fandi pun menyalakan mesin mobil dan menutup kembali kaca jendela mobilnya setelah mengucapkan terima kasih. 


Mobil pun berjalan pelan. Fandi melirik ke belakang dari spion samping arah luar. Ia ingin melihat ke arah mana pria tadi berjalan. Namun lagi-lagi dahinya berkerut. Tampaknya ia makin bingung. 


"Ji, bapak-bapak tadi ke arah mana ya? Kok hilang?" tanyanya kepadaku. Aku menggedikkan bahu. Aku ikut melirik spion tengah dan mencari arah bayangan pria tua tadi. Aku pun akhirnya ikut mengernyitkan dahi. 


"Aku merinding, Fan." bisikku pada Fandi. Ia terlihat menegang tak berani menengok lagi. Mobil yang ia kendarai berjalan semakin cepat meninggalkan tempat tadi. Aku terus merapal doa dalam hati. Mulutku tak berhenti berkomat-kamit berharap ketakutan kami tak berujung dengan kejadian tak diinginkan. 


Mobil berdecit. Fandi mendadak mengerem kendaraannya. Tangannya masih gemetar kulihat. Kini, ruangan yang semula dingin berubah menjadi panas karena hawa adrenalin kami berpacu dengan ketakutan yang tak berujung. Fandi menoleh padaku. Napasnya turun naik seperti baru saja turun dari pegunungan saat mendaki. 


"Ji. Tidak seharusnya kita memaksakan diri ke Bandung hanya untuk melihat seseorang yang seharusnya tidak aku lihat," ujar Fandi pelan. Giginya bergemeletuk menahan gerakan yang sejak tadi ia simpan. Aku sebisa mungkin hanya diam menanggapi keluhannya. Aku hanya diajak olehnya, tidak lebih. Kalaupun aku protes, apa hakku? 


"Lebih baik kita langsung pulang ke Jakarta. Aku punya firasat tak baik," ujarnya lagi. Aku tersenyum pahit. Habis sudah rencana di kepalaku untuk berlibur mengelilingi kota Bandung yang indah. 


Fandi kembali menjalankan kendaraannya. Kali ini ia serius. Ia ingin keluar dari tempat tadi. Hingga sampai di tikungan yang berada tak jauh dari tempat kami berhenti, sinar lampu yang terang menyala menyapa mata kami berdua. Fandi tetap nekat melajukan kendaraannya, berbelok diantara tikungan sinar itu. Lima menit aku hampir tak bisa bernapas. Ini seperti menyiksaku. Hamparan sinar tadi membuat dadaku terasa sesak seperti habis menghirup asap tebal. Mataku menggelap dan tiba-tiba aku merasakan tubuhku melayang.