(Belum) Siap Nikah — Menjemput Anak Tetangga

(Belum) Siap Nikah — Menjemput Anak Tetangga

Fitri Afaa

0

“Kenapa?” tanya Alisha yang tak berani menatap Dito.

Wanita berusia 25 tahun itu sangat takut jika perasaannya terbaca melalui sorot mata. Ia berusaha menyembunyikan apa yang seharusnya ia sembunyikan. Sebab menurutnya segala sesuatu tak harus ditunjukkan pada siapa pun jika memang tidak perlu dan tidak terdesak. Kadang waktu dan keadaan yang akan mengungkapkan sendiri perihal yang tersembunyi.

“Apanya yang kenapa, Sha?” Dito merasa heran dengan pertanyaan Alisha.

“Kenapa kamu menolak menikahi wanita yang sudah dijodohkan denganmu? Bahkan kamu terlalu tega meninggalkan wanita itu di kursi akad seorang diri sambil menangis menunggu kedatanganmu.” Alisha masih menatap ujung sepatunya yang sebagian tertutup gamis.

“Kenapa? Sampe saat ini kamu masih nanya kenapa, Sha? Masih, kah, kamu enggak paham dengan apa yang kulakukan untukmu sampe aku meninggalkan Lindra duduk di sana, di acara paling sakral itu?” Dito menggeleng pelan.

Alisha menatap ke sisi lain, yang jelas ia tak ingin melihat lelaki di depannya. “Ak-aku ....”

“Aku meninggalkan Lindra di sana karena yang kuharapkan ada di kursi itu adalah kamu, Sha. Kenapa sesulit ini untuk bisa meyakinkan kamu soal perasaanku ke kamu, Sha?” Dito menelan salivanya.

Suara musik yang diputar oleh seorang pengamen yang baru saja muncul menjeda keseriusan di antara Dito dan Alisha. Embusan angin dari dedaunan membuat keadaan yang panas menjadi sedikit sejuk. Namun, masing-masing hati keduanya tetaplah tak sesejuk udara saat ini.

Pepohonan yang tinggi dan rindang di taman itu membuat langit Jakarta tak begitu terlihat. Beberapa daun kering berlari terbawa angin. Alisha memainkan kakinya mengikuti alunan musik hanya untuk sekadar meregangkan kaki yang kaku.

“Makasih, Mas. Semoga hubungannya langgeng dan bahagia, ya,” ucap pengamen berambut pirang itu setelah menerima selembar uang kertas sebesar lima ribu dari tangan Dito. Kemudian, pemuda itu pergi dari sana.

Dito mengangguk sambil tersenyum mendengar doa yang terlisan dari pengamen itu. Ia berharap doa tersebut menjadi kenyataan sesegera mungkin. Ia mengaamiinkan doa itu berkali-kali.

Lelaki berkulit kuning langsat itu menatap Alisha yang membuang muka darinya. Wajah Alisha yang biasa-biasa saja selalu membuatnya tak bisa berpaling.

“Jangan menatapku seperti itu, Dit! Kamu tau, kan, kalo setan sedang menghiasiku? Harusnya kamu juga enggak berada di sini dan selalu membuntutiku.” Alisha menyadari bahwa Dito tengah memandanginya.

Dito mengerjap lalu melihat ke sisi lain. “Kalo gitu izinkan aku menikahimu dan bertanggung jawab atas dirimu sepenuhnya, Sha. Jadi, enggak ada lagi setan atau dosa yang menghalangi pandanganku ini ke kamu.”

Alisha menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan. “Bertanggung jawab atasku? Tanggung jawab untuk dirimu sendiri pun kamu belum mampu, Dit. Jadi, terasa janggal dan mustahil banget kalo kamu mampu menanggung jawabiku,” sahut Alisha dengan jawaban serupa untuk yang ke sekian kalinya.

“Maksud kamu apa, sih, Sha? Kenapa kamu selalu menolakku dengan jawaban itu-itu aja. Tolong kamu jelaskan ke aku supaya aku bisa mengerti!” pinta Dito penuh harap. Ia terheran-heran dengan jawaban Alisha yang sampai saat ini belum bisa ia pecahkan.

Alisha berdiri lalu memandang Dito sekilas. “Sadari sendiri, Dit! Kalo kamu udah berhasil menyadarinya dan memperbaikinya ... aku akan mencoba mempertimbangkan pertanyaanmu,” jawabnya lalu pergi meninggalkan Dito di bangku taman.