Belong to You

Belong to You

Rufah Alfian

4.5

Sekeras-kerasnya batu, kalau terus menerus ditetesi air akan berlubang juga. Sama halnya dengan hati manusia. Sekeras-kerasnya hati manusia, kalau terus dihujani dengan kasih sayang dan cinta yang tulus, pasti akan luluh juga.

-Anonim-

 

 

Karin tertegun. Ia memandangi gerbang rumah yang sudah ia tinggalkan selama lima tahun. Ya, lima tahun lalu dia pergi meninggalkan Surabaya dan kini ia telah kembali. Ia melihat gerbang itu masih kokoh. Tampak juga kalau catnya baru diganti.

“Hei, kenapa hanya melamun saja?” tanya Abhi membuyarkan lamunan Karin tentang gerbang itu.

Karin memandang Abhi, lelaki baik hati yang kini berstatus sebagai kekasihnya, dengan tersenyum. Tak ada jawaban dari Karin atas pertanyaan Abhi. Tampak dari dalam mobil, gerbang itu dibuka oleh seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh tahunan.

“Karin, apa kamu kenal laki-laki yang membukakan pintu gerbang rumahmu?” tanya Abhi dengan penuh keingintahuan seraya memandu mobilnya untuk masuk ke pelataran rumah Karin yang asri dengan tanaman hijaunya itu.

“Tentu saja aku mengenalnya.” Kali ini Karin membuka mulutnya. “Namanya Pak Nono. Beliau sudah bekerja pada keluarga kami sejak aku masih bayi,”

“Lama juga, ya?” ucap Abhi seraya memarkirkan mobilnya ke sebuah sudut pelataran rumah Karin yang masih kosong dan memang digunakan untuk tempat parkir. Usai mematikan mesin mobilnya, keduanya pun bergerak turun dari mobil.

 “Rumahmu bagus sekali!” puji Abhi yang turun dari mobilnya sesudah Karin.

Abhi takjub dengan keindahan rumah Karin. Rumah yang terletak di kawasan Wijayakusuma Surabaya itu terdiri dari dua lantai dengan desain minimalis, namun terlihat elegan. Di depan rumah itu ada taman yang hijau yang terawat dengan baik. Sinar matahari yang tak terlalu terik itu menambah nilai keindahan dari taman tersebut. Abhi merasa jatuh cinta dengan rumah tersebut.

“Sudah selesai mengagumi rumahku?” tanya Karin yang giliran membuyarkan kekaguman Abhi. “Ayo masuk!”

Karin masuk ke rumahnya. Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Dan rumah yang terpaksa harus ia tinggalkan.

“Pasti akan sangat senang bisa tinggal di sini. Rumah ini sangat nyaman,” puji Abhi yang sudah menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. “Kalau aku jadi suamimu, aku pasti akan tinggal di sini, ‘kan?”

“Itu kalau jadi,” timpal Karin, “kalau nggak?”

Sejujurnya Abhi sedikit kaget dengan jawaban Karin. Bagaimana bisa Karin memikirkan kemungkinan ‘tidak jadi’?

Tapi Abhi hanya menghalau keterkkejutannya dan menghentikan langkah Karin yang akan beranjak ke kamarnya. “Pasti! Aku pasti akan jadi suamimu!” ucap Abhi dengan mantap. Sebuah seringai senyum muncul dari sudut bibirnya sebelah kanan. Ia bahagia bisa mengatakan kemantapan hatinya.

Wajah Karin hanya datar-datar saja. Jangankan membalas, gadis berkulit kuning langsat dan berambut sebahu itu bahkan tak memberikan ekspresi yang berarti untuk keinginan Abhi tersebut.

Seolah ada yang disembunyikan oleh gadisnya itu. Sesuatu yang tidak ia tahu.

Lagi-lagi Abhi mengabaikannya. “Lalu, bagaimana dengan rencanamu untuk membuka kembali usaha butik Mama?” tanya Abhi berusaha mencairkan suasana.

“Untuk saat ini aku ingin bersantai dulu. Aku ingin menikmati Surabayaku yang sudah lama aku tinggal,” jawab Karin.

Abhi hanya mengangguk. Ia sadar, Karin butuh waktu istirahat. Dan juga waktu untuk sendiri. Lagipula, ini adalah kepulangannya ke Surabaya setelah sekian lama. “Baiklah kalau begitu. Karin, aku pulang dulu!” pamit Abhi.

“Syukurlah kamu sadar sebelum aku mengusirmu,” kelakar Karin.

“Aku mencintaimu, Karinaku!” Abhi memeluk Karin dengan penuh cinta. “Selamat istirahat, Sayang!”

“Ya,” balas Karin singkat. “Hati-hati di jalan!”

Abhi tersenyum. Tak lupa kecupan sayang ia berikan di kening Karin sebelum benar-benar menghilang dari hadapan gadis pujaannya itu.

 

***

 

“Semuanya masih sama seperti yang dulu,” ucap Karin lirih.

Sepeninggal Abhi, Karin tak langsung membereskan barang-barang bawaannya. Namun ia malah pergi ke luar rumah dan bergerak menuju suatu tempat. Tempat di mana banyak kenangan yang tersimpan untuknya.

Tidak perlu waktu lama bagi Karin untuk sampai ke tempat itu. Tempatnya menimba ilmu semasa kuliah. Dengan bergegas ia menyambangi sebuah gazebo berukuran cukup besar yang terletak di sudut kiri Lapangan Persahabatan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Di gazebo itu, kenangan-kenangan indah Karin semasa kuliah tercipta. Tiba-tiba saja ia merasakan dadanya sesak. Air matanya luruh. Mungkin terlalu sakit bagi Karin untuk mengenang semua ini. Ada luka yang menyertai. Luka yang sampai sekarang belum pulih benar. Luka yang membuatnya tak bisa berdamai dengan perasaannya walau waktu banyak berlalu.

“Tempat ini....” Karin menyentuh kayu penyangga gazebo yang sudah mulai pudar catnya. “Di gazebo ini, aku....” Karin tak sanggup melanjutkan kata-latanya. Berkali-kali ia menghalau air matanya yang luruh. Rasanya, air matanya akan segera terkuras kalau ia terlalu lama berdiam di taman ini.

Dengan cepat, Karin berlari meninggalkan gazebo tersebut. Ia pun menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan Universitas Wijaya Kusuma. Namun tanpa sadar, ada sosok yang memperhatikannya dari dalam mobil yang terparkir tak jauh dari kampus itu.

Apa yang sedang dia lakukan di tempat ini? tanyanya dalam hati. Apa yang sedang dia sembunyikan? tanyanya lagi. Dan kali ini penuh rasa penasaran.