Seorang gadis cantik bersurai coklat dengan netra hazelnya yang berpendar lelah, tampak berbaring terlentang dengan tubuh bersimbah keringat. Di sampingnya, terbaring juga seorang pria tampan yang juga terengah dengan bulir-bulir keringat yang membasahi pelipisnya.
"Makasih, Sayang." bisik pria tampan itu dengan suara beratnya.
Gadis cantik itu hanya dapat mengangguk lemah. Tak sanggup rasanya mengeluarkan suaranya karena masih merasa lelah setelah percintaan panasnya bersama sang suami.
"Jangan langsung tidur, Mas." kata gadis itu memperingati suaminya yang hampir terlelap.
"Bersihin dulu tubuh kamu." katanya lagi dengan suaranya yang mulai normal kembali.
Dengan malas pria itu akhirnya menuruti perintah sang istri. Berjalan menuju kamar mandinya dengan keadaan polos tanpa rasa malu.
"Mas Bima kebiasaan deh." gumam gadis itu dengan pipi bersemu.
Dia lalu bangun dengan tubuh yang terasa remuk. Tenggorokannya terasa kering karena lelah mendesah. Sehingga dia memutuskan untuk keluar kamar dan mengambil air minum di dapur.
Gadis cantik itu menyambar gaun malam miliknya yang tergeletak di atas lantai. Tanpa repot mengenakan pakaian dalam, dia akhirnya keluar dari kamarnya.
Dengan bertelanjang kaki, gadis cantik tersebut berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah. Dia mulai bergidik saat merasakan hawa dingin menusuk kulitnya yang tengah memakai pakaian minim.
Saat kakinya menginjak undakan tangga paling ujung, netra hazelnya tanpa sengaja bersitubruk dengan netra kelam milik pria paruh baya yang tengah berdiri di ambang pintu sebuah kamar.
"Papa.." gumam gadis itu dengan wajah canggung. Apalagi menyadari keadaannya yang benar-benar berantakan dan terbuka.
"Runa? Sedang apa malam-malam begini di sini?" tanya pria paruh baya tersebut.
Gadis cantik bernama Runa tersebut tersenyum meringis. Merasa kurang nyaman saat berpenampilan terbuka di depan pria yang merupakan papa mertuanya.
"Em, Runa mau ngambil minum Pah." jawah Runa kikuk.
Pria paruh baya itu tampak mengangguk, sembari memindai tubuh Runa yang tengah berdiri di depannya.
"Papa Bumi butuh sesuatu?" tanya Runa yang dengan sengaja bertanya untuk mengalihkan perhatian papa mertuanya dari tubuhnya. Runa jelas sadar jika Bumi tengah memperhatikan tubuhnya.
Apa yang Runa lakukan sepertinya berhasil. Pria itu tak lagi menatap ke arah tubuhnya.
"Papa sedang ingin mencari udara segar saja." jawab Bumi dengan pembawaan tenang.
"Em, ya udah kalau gitu Runa tinggal dulu ya, Pah. Takut Mas Bima nyariin." kata Runa beralasan.
Bumi tampak mengangguk dan membiarkan Runa meninggalkannya. Namun netra jelaganya tak berhenti menatap tubuh bagian belakang gadis itu dengan tatapan tak terbaca.
"Pah.." panggil sebuah suara yang mengagetkan Bumi.
"Kamu.. Papa pikir siapa." desah pria itu memegangi dadanya.
Pria tampan yang usianya lebih muda dari Bumi tersebut tampak terkekeh. Tubuhnya yang kekar terpampang jelas karena bertelanjang dada.
"Papa liat Runa nggak, Pah?" tanya pria itu yang tak lain adalah Bima, putranya.
"Istrimu ada di dapur." jawab Bumi sembari menunjuk ke arah perginya Runa tadi dengan dagunya.
"Ya udah, Pah. Aku nyusul Runa dulu ke sana." kata Bima melempar senyum ke arah Papanya.
Bumi tampak mengangguk dan menatap kepergian putranya dengan raut muram.
"Kamu terlalu beruntung memiliki istri seperti Runa, Son." gumam pria paruh baya itu sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya. Mengurungkan niatnya yang ingin mencari angin segar di malam hari.
|•|
Cup
"Aku berangkat dulu ya, Sayang." pamit Bima mengecup bibir istrinya dengan mesra.
Runa mengangguk dengan pipi bersemu. Kemudian melambai ke arah perginya Bima. Gadis itu lalu menutup kembali pintu rumahnya dengan senyum cerah yang tak lepas dari wajah cantiknya.
"Apa Bima sudah berangkat?" tanya sebuah suara. Disusul dengan kemunculan Bumi secara tiba-tiba.
Runa yang melihat kedatangan papa mertuanya menjadi kikuk. Dia mengangguk dengan wajah meringis.
"Baru aja Mas Bima berangkat, Pah." jawab Runa dengan senyum terpaksa.
Bumi tampak mengangguk dan mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruang tamu. Dia lalu menarik koran yang tergeletak di atas meja untuk dibacanya.
Runa yang melihat papa mertuanya mulai sibuk dengan korannya, memilih untuk kembali ke kamarnya. Dia baru saja selesai memasak untuk sarapan suaminya. Tubuhnya terasa lengket karena keringat. Sehingga dia memutuskan untuk segera membersihkan diri.
Beberapa menit kemudian, gadis cantik itu keluar dengan wajah yang lebih segar. Pakaiannya telah berganti dengan kaos pendek putih yang dipadukan dengan rok hitam mengembang sebatas paha.
Runa berencana untuk bersih-bersih rumah. Tidak mempunyai asisten rumah tangga membuat dirinya harus melakukan apapun sendiri.
Namun Runa tidak pernah mengeluhkan akan hal itu. Sebelum menikah dengan Bima, dia pernah bekerja sebagai pelayan cafe. Runa memang berasal dari keluarga yang sederhana.
Awal pertemuannya dengan Bima terjadi saat Runa tak sengaja menumpahkan minuman ke baju pria itu. Saat itu Runa masih berada di bangku sekolah menengah atas, tepatnya kelas 12.
Runa memutuskan untuk bekerja paruh waktu di sebuah cafe milik keluarga temannya. Tujuannya hanya ingin meringankan beban kedua orang tuanya.
Gadis itu tidak pernah berpikir jika Bima akan menaruh hati padanya. Apalagi ketika itu usia Runa masih 18 tahun.
Singkat cerita, keduanya semakin dekat dan memutuskan untuk menjalin hubungan kekasih. Bima yang sibuk dengan perusahaannya tak jarang meluangkan waktunya untuk mengajak Runa berkencan.
Rentang usia keduanya yang berjarak 10 tahun, membuat orang di sekitar mereka meragukan hubungan keduanya. Namun Bima dengan sungguh-sungguh meyakinkan keluarga Runa untuk menerimanya.
Akhirnya setelah dua tahun masa pacaran, Bima memutuskan untuk melamar Runa. Pernikahan pun digelar secara mewah oleh keluarga Bima. Mereka tak sekalipun mempermasalahkan status sosial Runa.
Kembali ke masa kini, saat ini Runa tengah sibuk mengepel lantai ruang tamu. Tempat dimana papa mertuanya tengah bersantai sembari membaca koran.
Bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipis Runa karena kegiatannya yang melelahkan. Dan tanpa disadarinya, semua itu dilihat oleh Bumi.
Bagaimana gadis itu menyelipkan rambutnya yang terjuntai karena gerakan menunduknya. Juga paha mulusnya yang terekspos saat dirinya membungkuk untuk membersihkan lantai yang kotor di bawa sofa. Semua itu benar-benar membuat Bumi merasa panas dingin.
Diletakkannya koran yang tidak lagi menarik di mata Bumi. Netranya lebih tertarik melihat tubuh molek menantunya yang menggoda iman.
"Maaf karena kamu harus bersusah payah membersihkan rumah ini sendiri, Run." ujar Bumi membuka suara. Tentunya dengan netra jelaga yang tak lepas menatap ke arah gadis itu.
Runa menoleh dengan senyum tipis. Menghentikan kegiatannya untuk menjawab ucapan papa mertuanya.
"Nggak papa kok, Pah. Lagian Runa juga nggak ada kesibukan di rumah." jawabnya sembari menyelipkan anak rambutnya.
Runa tidak menyadari jika gerakannya tersebut telah membuat sesuatu di balik celana pria itu terasa sesak. Apalagi melihat bibir ranumnya yang tampak menggoda.
"Kamu memang menantu yang baik. Bima sangat beruntung menikah dengan kamu, Run." puji Bumi jujur.
Runa yang mendapatkan pujian dari papa mertuanya tentu saja merasa senang. Pipinya merah merona hingga membuat pria yang melihatnya menjadi gemas sendiri.
Gadis itu dengan kikuk kembali melanjutkan kegiatannya mengepel lantai. Masih belum menyadari akan tatapan mesum dari pria yang merupakan papa mertuanya.
"Bagaimana caranya saya bisa memiliki kamu, Runa?" gumam pria itu menatap Runa dengan pandangan yang sulit diartikan.
***