BEHIND THE SWEET AGREEMENT

BEHIND THE SWEET AGREEMENT

sarah fransisca

0

Aku menatap lelaki di depanku dengan kebencian sebesar dunia. Ingin rasanya aku menghabisinya dengan tanganku sendiri. Membedah sel otaknya dan mengeluarkan hatinya. Kurasa, Tuhan melakukan hal yang sia-sia dengan memberi bajingan itu otak dan hati. Toh, lelaki brengsek di hadapanku ini nggak pernah sedikit pun memakai dua pemberian Tuhan itu.

Ahh, andai aku berani melakukannya, aku pasti bisa terbebas dari belenggu yang menyiksaku ini.

"Mana," tagihnya lagi sambil kembali menggerakkan tangan kanannya yang terulur ke arahku.

Aku menghela napas kasar agar dia tahu kalau aku nggak suka dengan perbuatannya. Kukeluarkan sepuluh lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetku, uang yang seharusnya kupakai untuk melunasi sisa sewa kostanku bulan ini.

Brengsek! Makiku dalam hati.

"Nih," kataku sambil menyerahkan dengan kasar uang tadi. "Jangan pernah ganggu adik gue!" ancamku setelahnya.

Bajingan Calvin itu malah tertawa menyebalkan. "Tergantung berapa banyak lo mampu ngasih gue duit," balasnya.

Dengan amarah membara di dada, kukatakan padanya, "demi Tuhan, Vin. Gue nggak bakal tinggal diem kalau lo sampe berani nyentuh Kaluna."

Dia berdecak untuk mengejek ucapanku. "Tuhan yang mana, Git? Tuhan mana yang mau dengerin doa lonte kayak lo gini?" sinisnya.

Hatiku hancur mendengar ucapannya. Bukan sekadar hinaan yang dilontarkan mulut kotor Calvin yang membuat dadaku pilu, tapi kenyataan kalau ucapannya memang benar. Mana mungkin Allah mau mendengar doa manusia kotor dan hina kayak aku gini?

Setelah puas melihat wajah nelangsaku, Calvin pergi begitu saja meninggalkanku. Waktu kuharap dia cepat menghilang dari pandanganku, Calvin justru berbalik dan kembali menghampiriku, "berapa lama lagi lo kuat ngasih duit lo? Gue yakin, uang di tabungan lo udah mulai menipis." Dia menjilati bibir bawahnya sambil melihat ke kiri dan kanan, kemudian berkata lagi, "saran gue, mending lo serahin adik lo. Kita bisa dapet uang banyak dari Syakib."

Darahku mendidih mendengar ucapannya. Dengan sekuat tenaga kuteriakan, "BAJINGAN!!!"

Calvin pergi sambil tertawa puas. Aku bahkan masih bisa mendengarnya berkata, "mending lo pikirin deh, Git."

Aku menangis dengan tubuh lemas. Waktu mobil Calvin pergi meninggalkan halaman Restaurant tempatku bekerja, kakiku sudah nggak kuat menopang tubuh, aku hampir jatuh. Beruntung Mas Kahlil, HDR Manager The Breeze datang entah dari mana dan lngsung menopang tubuhku.

"Kamu nggak apa-apa, Git?" tanyanya cemas.

Segera aku melepaskan pegangannya. Setelah apa yang dilakukan Calvin padaku, aku jadi nggak nyaman kalau ada cowok yang menyentuhku, nggak peduli sengaja atau nggak.

Dengan cepat aku menggelengkan kepala. "Makasih, tapi aku baik-baik aja, Mas." Setelah ngomong begitu, aku menganggukan kepala dan langsung kembali ke ruang kerjaku.

Aku berusaha untuk berkonsentrasi pada rencana pemasaran restaurant di bawah naungan The Breeze LTD. Sia-sia. Mau sekuat apapun aku mencoba, tetap saja gagal. Ucapan Calvin terus terngiang-ngiang. Dia benar. Uangku nggak akan mampu terus menahan keinginan bejatnya. Aku bahkan sudah nggak memiliki tabungan di rekeningku. Aku sendiri nggak tahu bagaimana caranya membayar sewa kostan dan untuk makan besok?

Aku berhenti menggigiti kuku waktu pandanganku menangkap kedatangan lelaki pemilik The Breeze LTD. Dia berjalan tegap dan penuh kharisma seperti biasanya. Aku kembali teringat dengan penawarannya minggu lalu. Ini memang gila dan Kaluna pasti nggak akan setuju, tapi aku nggak punya pilihan. Setidaknya, aku yakin kalau atasanku sudah mati rasa sama cewek. Dia pasti nggak bakal macam-macamin adikku.

Setelah yakin Brice masuk ke dalam ruangannya, aku bergegas menyusul. Aku nggak punya banyak waktu. Ancaman Calvin ditambah orang-orang Jayanegara yang mulai mengikutiku, membuatku terdesak. Dengan tangan bergetar, aku mengetuk pintu yang berbahan kaca tebal. Aku menunggu sampai dia mengatakan, "masuk." Baru aku membuka pintu itu.

Perlahan, aku berjalan mendekat ke mejanya. "Duduk!" perintahnya lagi yang langsung kuturuti.

"Saya setuju dengan tawaran Bapak."

Dia langsung menghentikan kegiatannya membaca laporan penjualan. Dia beralih menatapku. Ada rasa nggak percaya dari tatapannya.

Brice menautkan jemarinya, kemudian menopang dagu. "Kamu bilang dia akan menolak mentah-mentah kontrak itu," selidik Brice.

Memang. Aku yakin seribu persen adikku nggak akan mau terlibat kontrak aneh yang Brice tawarkan. Jangankan tunangan, pacaran saja dia nggak pernah. Dia selalu menjaga jarak dari lawan jenis.

Aku mengangguk. "Saya akan mencari cara..." Aku menjeda kalimatku.

Kengerian membayangkan Calvin sewaktu-waktu bisa membawa Kaluna dan menjualnya pada mucikari membuatku bergidik ngeri. Benar. Aku nggak punya pilihan lain. Aku yang membawanya ke Jakarta. Jadi, aku juga yang harus mengambil risiko untuk bertanggung jawab melindunginya. Walau aku tahu dia pasti akan marah besar, nggak apa-apa. Tapi, dengan begitu dia bisa kuliah dan tetap selamat.

"Tolong tepati janji bapak. Pastikan dia tetap selamat sampai lulus kuliah," kataku lagi. Dia mengangguk sebagai tanda setuju.

Setelah menerima berkas kontrak, aku berjalan meninggalkan ruangannya. Sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu ruang kerja Brice, kutegaskan lagi padanya, "jangan sakiti adik saya. Dia nggak sama seperti gadis-gadis di kehidupan bapak."

Wajahnya terlihat tersinggung dengan ucapanku, aku nggak peduli. Aku menyetuju kontrak sialan ini demi menghindari adikku dari keparat kelamin itu. Nggak lucu, kan, kalau Brice malah menghancurkan kehormatan adikku? Cukup aku saja yang menanggung kesalahan karena mengenal Calvin, jangan Kaluna.

Sepanjang jalan kembali ke kost, aku terus berpikir bagaimana cara mengelabui Kaluna. Bagaimana pun caranya, dia harus menandatangani kontrak ini. Harus.

Harusnya aku tahu sejak pertama kali Kaluna tanpa menaruh curiga mau saja kuajak ke hotel di Semarang tempo hari. Dia memang gadis lugu yang nggak pernah menaruh curiga pada orang lain. Hatinya terlalu bersih untuk berpikiran jelek pada orang. Buktinya, dengan mudah dia menandatangani kontrak tunangan pura-pura dengan bossku.

Setelah menutup telepon dari Brice, kutatap nanar wajah polosnya saat tidur setelah kelelahan berbelanja kebutuhan kuliahnya. Dia tampak bersemangat karena akhirnya bisa segera mewujudkan impiannya. Aku mengusap air mataku.

"Kamu harus jadi orang sukses, Lun. Jangan jadi orang goblok yang dimnfaatin cowok kayak aku gini," gumamku sambil mengusap pelan pipi Kaluna.

Dia memang nggak dilahirkan dari rahim yang sama denganku, tapi sejak kecil kami sering bersama. Aku anak tunggal yang sering kesepian. Kaluna putri sulung dari Bulikku, adik ayahku. Sejak kecil, dia selalu ceria dan tulus pada orang lain. Itu membuatku ingin memiliki adik sepertinya. Sayangnya, ayah dan ibu nggak bisa memberikku adik. Jadi, kuanggap saja Kaluna adalah adik kandungku.

Masih jelas kuingat wajah sedihnya ketika ayah menolak menampung Kaluna di rumah. Sebenarnya, bukan kekesalan pada pembangkangan Bulik Sekar, ibu Kaluna yang membuat ayah menolak menyembunyikannya. Tapi, ayah yakin kalau Jayanegara pasti akan menemukan Kaluna di rumah kami, di Semarang. Buktinya, meski tahu aku diam-diam menolong Kaluna dan berniat mengajaknya ke Jakarta, ayah nggak melarangku. Dia memilih bersikap pura-pura nggak tahu, meski aku berani bertaruh kalau ayah tahu soal rencanaku.

Ayah nggak setega itu, kok, membiarkan keponakannya dinikahi sama lelaki kurang ajar yang nggak bertanggung jawab. Satu bulan lalu, ayah meneleponku. Beliau memberitahu bahwa orang-orang Jayanegara baru saja mengobrak-abrik rumah kami. Ayah memperingatiku agar lebih berhati-hati. Aku tahu maksud ayah yang sebenarnya adalah agar aku nggak membawa Kaluna ke tempat umum. Itu tanda kepedulian Ayah pada kami, pada Kaluna lebih tepatnya.

Seperti dugaanku, setelah Kaluna mengetahui kebenaran isi kotrak yang ia tandatangani, dia langsung angkat kaki dari kostanku, dia juga nggak mau menjawab pesan maupun teleponku. Nggak apa-apa. Aku memang layak, kok, dibegitukan. Dia, kan, nggak tahu apa-apa. Lagi pula, dia jadi nggak perlu melihatku dihajar Calvin habis-habisan tiap kali dia marah.

Pintu kamar kostanku diketuk. Aku masih menyimpan harapan kalau Kaluna akan  datang dan memaafkanku. Sayang, yang kudapati berdiri di depan pintu justru Calvin. Dengan beringas dia mendorongku masuk ke dalam kamar kostan. Dia menutup dan mengunci pintu kamarku. Calvin langsung berjalan dengan penuh amarah ke arahku. Dia menjambak rambutku dan membawaku naik ke tempat tidur. Tanpa ampun, dia menapari kedua pipiku sampai ada denging menyakitkan di telingaku.

"Lonte sialan!" Dia meludah ke wajahku. "Lo bikin gue nggak bisa dapet duit dari Syakib. Anjing lo emang!" Dia meninju wajahku, kepalaku berkunang-kunang.

Ini bukan pertama kalinya Calvin menghajarku. Dulu, Kaluna sempat mengajakku untuk melaporkan perbuatannya ke polisi. Aku mau. Sumpah, aku pengin banget melaporkan perbuatan binatang ini agar dia diganjar hukuman setimpal. Tapi, dia memiliki sesuatu yang membuatku nggak berdaya. Bajingan itu memiliki rantai yang mampu mengekangku tanpa bisa kulawan.

Setelah puas memukuliku, Calvin langsung melucuti pakaiannya. Dengan kasar, dia menarik turun celana pendek rumahan yang kukenakan. Dia menyetubuhiku layaknya aku ini hanya onggokan daging tak bernyawa pemuas nafsunya. Ini bukan kali pertama dia melakukannya padaku. Namun, tetap saja rasanya setiap kali dia melakukan ini selalu membuatku semakin jijik pada diriku sendiri.

Aku hanya mampu memejamkan mata sambil berharap kematian mau menjemputku saat ini juga. 

Aku sudah pernah menolak hingga memohon padanya agar nggak melakukan ini padaku. Percuma, dia nggak pernah mendengarku. Dia bukan manusia, tapi iblis. Aku membencinya setengah mati, sama seperti aku membenci diriku sendiri. Aku pernah mencoba meminum cairan pembunuh serangga untuk mengakhiri hidupku, tapi lelaki bejat ini menghalangiku. 

Dia meninju perutku dan menghajarku dengan kursi. Calvin mengatakan kalau dia tidak akan membiarkanku mati begitu saja, dia nggak ingin kehilangan sumber uangnya. Calvin juga mengancamku kalau aku sampai berani mengakhiri hidup, dia akan menyeret Kaluna sebagai gantinya. Aku nggak ingin itu terjadi.


❤️❤️❤️


Halo! Selamat datang di cerita baruku.

Kisah yang menceritakan perjalanan seseorang yang menjadi kunci dari cerita Sweet Agreement.

Adakah yang belum baca cerita Sweet Agreement? Saranku, kalian harus baca Sweet Agreement dulu baru cerita ini. Soalnya, ceritanya berkaitan banget. Sweet Agreement bisa kalian temukan di google play book.

Cerita ini muncul saat seminggu kemarin aku mesti bedrest. Selama hampir seminggu, aku cuma kebanyakan rebahan. Demi mengusir jenuh, aku banyakin nonton. Terus, baca ulang Ranu, Jingga dan Sweet Agreement. Dari sana muncul ide untuk menuliskan kisah ini. 

Gita Handoyo, karakter yang muncul ketika Kaluna menginjakkan kaki di Semarang. Gita jugalah yang membawa Kaluna bertualang di kota besar.

Kira-kira, rahasia apa lagi yang dipegang sama Gita soal Kaluna?

Masih mau next part atau menyerah aja nih? 😂😂😂


Ketjup Manjah 💋💋💋

Sarah Fransisca