Akad nikah sudah selesai digelar. Pernikahan yang tiba-tiba, tidak seperti pernikahan yang aku mimpikan. Dimana biasanya pernikahan digelar megah dan mewah serta berselimut bahagia dan dipadukan dengan doa restu haru dari para tamu. Dipernikahanku ini lebih bersifat rahasia. Diam-diam.
Pernikahan yang aku laksanakan adalah pernikahan siri dan hanya dihadiri oleh ayah ibuku satu saksi dari pihakku dan satu sahabatku. Begitupun dengan syabda, suamiku. Dia membawa ayah ibunya, adik, satu saksi dan satu sahabatnya. Ayahku berperan sebagai penghulu dan wali nikahku.
Aku yang masih berusia 19 tahun, dipaksa berhenti kuliah sementara demi bisa menikah dengan syabda. Laki-laki yang jauh lebih tua 12 tahun denganku.Entah mendapat wangsit darimana yang mempengaruhi ayah ibuku untuk segera menikahkanku di usia yang belum menyentuh usia ideal menikah bagi wanita.
“ciyaelah, pujanggaku akhirnya menemukan rangkuman dari begitu banyak kata-kata indahnya” seru sahabatku, nayla sembari memelukku dari belakang.
“udah jadi istri orang aja, selamat ya laila” sambung nayla.
“kayak mimpi tau gak sih, nay. Tiba-tiba nikah aja tanpa ada breefing atau apa kek gitu!” aku membalas pelukan nayla “makasih ya, nay”
Di tengah perbincanganku dengan nayla, tiba-tiba ada laki-laki yang menghampiriku. Dia ternyata sahabatnya syabda. “selamat ya, laila. Salam kenal aku dion sahabatnya syabda”.
“salam kenal juga, makasih” sambil aku menyatukan tangan di dada, tanda bahwa aku tidak mau bersalaman dengannya.
Ayah ibu dan adiknya syabda berpamitan pulang terlebih dahulu karena perlu ada yang diurus, katanya. Disusul dengan dion sahabatnya syabda. Aku mengantarkan mereka sampai depan pintu rumah, tidak mungkin aku keluar gerbang rumah dengan pakaian putih khas pengantin ini.
Setelah nayla pulang, aku bergegas ke kamar untuk mengganti baju. Baru akan melepas gamis putih yang barusan aku gunakan menikah, tiba-tiba ibu datang menghampiri.
“Cepat ganti bajumu, laila. Suamimu sudah menunggu!” perintah ibu.
“Hah!” aku terkejut mendengarnya. Aku pikir drama hari ini sudah selesai setelah aku bersalaman dengan syabda sebagai pasangan suami istri dan dia membacakan doa sambil mengusap kepalaku.
“Tidak baik suami istri yang baru menikah berjauhan, laila. Ganti bajumu dan ikut suamimu”
“Ikut kemana bu?” tanyaku penasaran
“Kamu ini jangan seperti anak TK, laila. Ya kamu harus ikut suamimu kerumahnya. Kamu sekarang kan sudah jadi istri. Jangan khawatir, kamu tidak serumah dengan mertuamu. Suamimu ini sudah punya rumah sendiri”. Begitu bersemangat ibu memberi tahuku tentang syabda yang sudah mapan punya rumah sendiri.
Hal-hal diluar dugaanku. Aku terduduk diatas ranjang tempat tidurku sembari memikirkan bagaimana nasib masa depanku yang sudah ku eluh-eluhkan. Satu persatu harapanku akan berguguran. Duduk dibangku kuliah menjadi mahasiswa aktif dan berprestasi, minimal itu dulu yang harus terwujud dalam jangka waktu kedepan. Tapi kenyataannya aku harus menjadi istri dari orang yang tidak aku ketahui latar belakang dan seluk beluknya.
Sejauh ini, aku mengenal syabda sebagai laki-laki baik tanpa tahu detailnya. Syabda adalah anak dari sahabatnya ayahku. Setahu aku, dia baru dua kali main ke rumahku dan aku tidak pernah berbicara dengan syabda. Jangankan berbicara, duduk dalam satu ruang tamu saja tidak pernah. Oh Tuhan!!
Aku tidak tahu kenapa ayah ibuku menikahkanku dengan syabda, bahkan ketika kumpul bersama, mereka tidak pernah bercerita tentang bagaimana syabda. Tidak ada kata ta’aruf atau apapun minimal sebagai kode kalau aku dijodohkan. Tiba-tiba saja syabda datang dengan ayah ibu dan adiknya sembari membawa mahar. Aku tidak bisa menolak perintah ayah ibuku, entah aku terlalu patuh atau aku terlalu bodoh.
Beradu argumen, bernalar kritis bahkan untuk membantah perintah pun aku tidak sanggup. Seketika aku merasa bodoh, hal yang sering aku lakukan selama satu tahun kuliah tidak bisa aku terapkan ketika sudah dihadapkan dengan orang tua. Membela diri sendiri saja tidak bisa apalagi kalau diminta untuk membela negara.
“Eh laila, ayo” ibu menepuk bahuku, seketika aku tersadar dari lamunanku.
“Bu ini laila gak mimpi, kan?” aku bertanya serius kepada ibu. Aku masih berharap kalau aku bermimpi.
“kamu ini jangan mengada-ada, laila. Ayo, gak enak ditunggu suamimu” ibu menjawab sembari menarik tanganku agar aku lekas berdiri.
“Sebentar bu, laila mandi dulu ya. laila gerah” sahutku sambil berjalan santai menuju kamar mandi.
“jangan lama-lama. Ibu akan menyiapkan pakaianmu untuk dibawa”
Kunyalakan shower dan aku biarkan air-air membasahi tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku berdiam di bawah aliran air, untuk menenangkan diri dan menerima keadaan.
“ibu tunggu di luar ya, laila” ibu mengetuk pintu dan teriak dari luar kamar mandi.
Ketika aku keluar kamar mandi, sudah tersedia gamis syar’i warna hijau muda beserta kerudung motif dengan warna senada. Aku kenakan baju yang sudah disiapkan ibu dan sedikit memoleskan make up tipis di wajah supaya terlihat lebih fresh.
Koper sudah tidak ada di kamar, sepertinya sudah dibawa ibu kebawah. Kulihat ke arah bawah tampak ayah ibuku sedang asyik mengobrol dengan syabda. Sepertinya mereka sudah kenal lama, bahkan syabda pun tidak terlihat canggung ketika berbicara dengan ayah ibuku. Sampai di akhir anak tangga paling bawah, seketika syabda menyambutku dengan berdiri lalu berpamitan kepada ayah ibuku.
“Kopermu sudah di mobil, laila” syabda berbicara dengan nada lembut sambil mendekatiku. Dan aku tidak menanggapi apa yang di ucapkan.
Aku pun berpamitan dengan ayah ibuku. Tidak ada raut kesedihan terpancar di wajah orang tuaku. Seolah mereka rela melihat anak bungsunya dibawa pergi kemana saja oleh laki-laki pilihannya.
Syabda mengulurkan tangan, sepertinya ia ingin mengajakku bergandengan, namun tidak aku sambut dengan baik. Aku dan syabda secara bersamaan menguucapkan salam kepada ayah ibuku. Ketika membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar, syabda merangkul pinggulku sampai dia membuka pintu mobil dan mempersilahkanku masuk.
“silahkan masuk, istriku” bisik syabda tepat di telinga kiriku.