Because of You

Because of You

NURA

0

Seorang pria tengah berdiri di jendela, menatap lamat kearah matahari yang sedikit lagi akan terbenam. Cantik, gradasi warna jingga bercampur dengan langit biru, terlihat mempesona dan siapa saja mungkin akan berdecak kagum melihatnya.

Helaan nafas terdengar berkali-kali sejak ia berdiri. Perasaannya mendadak gelisah, apa karena efek hari ini dirinya akan terbang kembali ke negaranya, meninggalkan negara yang telah memberikan banyak hal termasuk ketenangan kepadanya.

Ia melihat arloji Armani yang melingkar di pergelangan tangannya. Meskipun masih ada waktu beberapa jam lagi, perasaan gelisah itu terus saja merangsek masuk kedalam hatinya, ia bingung. Apa yang ia beratkan memangnya? Teman-teman, atau wanita? Aaahhh selama 6 tahun disini tak pernah sekalipun ia terlibat hubungan asmara dengan wanita berkulit putih susu yang setiap hari dilihatnya itu.

“Rae kamu yakin dengan keputusanmu ini?” ujar seorang wanita paruh baya, yang sedang duduk disampingnya. Rautnya menunjukkan kesedihan dan kekhawatiran. Merasa berat untuk melepas putranya ke negara orang. Pria yang dipanggil Rae itu hanya menatap mamanya dengan senyum, menunjukkan pada mamanya bahwa ia yakin dengan keputusannya.“Rae, bisa nggak sih kamu nggak usah pergi aja!“ lanjut mama dengan sedih.

“Mamaa, kita kan udah pernah bahas ini. Mama juga setuju waktu itu, jangan bikin Rae jadi berat buat ninggalin mama.“ ujarnya lembut, berusaha untuk membuat mamanya tenang.

“Mama Cuma khawatir sama kamu,” Rae tau kalau mamanya itu khawatir, bahkan sejak malam wanita paruh baya itu mengikutinya kemana-mana. Tapi, mamanya sudah mengijinkannya, dan Rae sudah sangat yakin meskipun berat meninggalkan sang mama.

“Mama nggak usah khawatir ya, disana Rae nggak sendirian, ada banyak temennya. Soal makanan, pasti lama-lama bakal terbiasa.” Jelas Rae seolah tau apa yang mamanya itu khawatirkan. Lebih dari itu mama khawatir Rae tidak bisa jaga diri, mama khawatir karena Rae akan jauh darinya.

Rae menarik kursi yang ia duduki lantas mendekatkan kearah sang mama. Pria itu menarik satu tangan sang mama, mengusapnya dengan sangat lembut “Mama kalau khawatir kayak gini gimana Rae nggak berat buat ninggalin rumah, apalagi mama. Maaf Rae bukan bermaksud jadi anak yang durhaka dan nggak tau diri, tapi Rae juga butuh mempersiapkan diri.

“Apa yang ditugaskan untuk Rae bukan perkara mudah, tanggungjawabnya MasyaAllah luar biasa besar mah. Kalau Rae nggak belajar, gimana nanti Rae bisa mengemban semua tanggung jawab itu? Rae butuh banget restu mama, Rae butuh mama ikhlasin Rae menuntut ilmu disana, biar Rae disana juga bisa cari ilmu dengan baik, berkah dan tenang.“

“Mama tau sayang, tapi 5 tahun itu nggak sebentar.” raut sedih itu membuat Rae menghela nafas, “Mama khawatir kalau kamu nggak bisa ketemu lagi sama mama juga kakek.“

“Sshhh, mama ngomong apa sih!” Pria itu merangkul mamanya. "InsyaAllah semua baik-baik saja. Rae berdo’a semoga keluarga Rae dikasih umur panjang sama Allah.“ pria itu mengurai pelukannya, kemudian menatap mamanya. ”Rae masih perlu banyak belajar, ini kesempatan Rae. Mama tau kan ini kesempatan yang Rae tunggu sudah sejak lama.“ Dilla sudah tak bisa berkata apa-apa, satu sisi ia sangat ingin melihat Rae meraih impiannya. Sisi lain, ada yang banyak ia fikirkan untuk masa depan keluarganya.

Dilla melepas pegangan tangan Rae dan menarik lengan putranya kemudian memeluknya. Sang mama terisak, sambil  mengucapkan beberapa kata dan nasihat untuk putra tercintanya.

Helaan nafas terdengar lagi, seperti baru kemarin ia berpamitan dengan sang mama saat akan pergi, dan sekarang sudah 6 tahun berlalu. Meskipun memberikan banyak hal tetap saja ada saat dimana Rae begitu merindukan keluarganya, termasuk kakek yang menurutnya sangat menyebalkan itu.

Seharusnya ia merasa bahagia bisa pulang, Seharusnya ia bisa bahagia karena bisa dekat dengan keluarganya, ia tak perlu repot harus bolak-balik pulang-pergii hanya untuk bertemu dengan keluarga besar juga dengan para sahabatnya.

Rasanya berat sekali tapi keputusan itu tak bisa lagi ia tolak, sudah cukup ia mengulur waktu hingga hari ini, setelah 6 tahun ia dianggap tidak mau tau dengan urusan keluarganya.

Sekali lagi helaan berat terdengar, memikirkan tentang hal besar yang sudah menantinya dirumah nanti, juga negosiasi yang pernah ia lakukan dengan sang kakek sebelum ia berangkat.

----

7 jam berada dalam pesawat membuatnya lelah, tepat jam 3.50 menit sore ia sampai dibandara. Tidak banyak yang ia bawa, hanya ada 2 koper dan tas ransel yang ia bawa, barang yang lain sudah ia kirimkan beberapa hari yang lalu mungkin saja sudah sampai dirumah.

Duduk di kursi tunggu sambil memainkan ponselnya, lama di negara orang membuat Rae sedikit terbiasa dengan gaya pakaian orang sana. Atau mungkin karena perkembangan fashion sekarang sangat pesat jadi ia sudah terbiasa, toh yang ia pakai hanya kaos casual pendek warna navy dan celana denim warna abu tua.

Rae hanya diam menatap keluar jendela, mengamati bangunan-bangunan megah dijalanan ibukota. Disana, senja tengah menampakkan dirinya. Cahaya yang menerobos kaca jendela itu membuatnya terasa hangat.

Rae tau jika senja hadir hanya sesaat, sebagai pertanda jika sebentar lagi malam akan datang menyapa. Meskipun sesaat, pria itu selalu suka jika senja datang. Segaris senyum ia ulas, kemudian menghela nafasnya. Entah apa yang ia fikirkan.

“Nggak seseneng itu lo pulang kerumah.” suara yang Lebih terdengar seperti pernyataan itu memecah lamunanya, Rae menoleh kearah sampingnya. Jova sahabatnya, yang sedang fokus dengan kemudinya.

Pria itu kembali menatap depan lalu tersenyum, “Nggak tau!“ jawabnya singkat.

“Kok gue jadi ngerasa sia-sia ya jemput lo ke bandara!“

“Kenapa gitu?“

“Lo nggak ikhlas pulang kerumah.“

“Bukan nggak ikhlas.“

“Terus— “

“Gue nggak tau aja mesti ngapain setelah sampai rumah nanti!“ Helaan nafas terdengar dari sampingnya. “Gue kayak ngerasa belum siap aja, meskipun segala sesuatunya sudah diatur sejak lama.“

“Semua udah jelas Rayyan, semua sudah diatur gue yakin lo bisa Rae.“ bukan tanpa pemikiran Jova mengucapkan itu, Jova sudah ada disamping Rae sejak lebih dari 10 tahun. Pria itu tau bagaimana Rae berjuang demi meraih mimpinya, Jova jadi saksi hidup perjalanan Rae. Dari hanya teman kuliah hingga sekarang lebih dari seorang keluarga, dan kini akhirnya Rae harus pulang melepas mimpinya demi keluarga. Jova juga tau bahwa Rae lebih dari mampu, jiwa kepemimpinan itu sudah ada sejak Rae berada di bangku kuliah “Gue tau lo mampu Rae, jangan pesimis begitu.“

“Tau darimana gue mampu, jangan sok tau.“

“Gue nggak sok tau, pengalaman yang ngasih tau.“ Rae mendesah. Jova melirik sebentar kearah sahabatnya, ia tau kalau ini semua pasti berat buat Rae. Tapi sebagai sahabat, Jova hanya bisa memberi semangat. Pria itu lantas menepuk pelan pundak Rae sebelum kemudian ia masuk kesebuah komplek perumahan.

----

“Welcome home!“ ujar Jova ketika kendaraan yang dikemudikannya itu sampai dipelataran rumah Rae. Rae hanya menanggapi ucapan itu dengan satu senyuman. Keduanya, kemudian melepas seatbelt. Lantas turun dari kendaraan yang baru saja Jova parkirkan.

Begitu turun, Rae disambut dengan sang mama yang berdiri didepan pintu, dengan kedua tangan yang terulur kearahnya. Pria itu meletakkan tasnya begitu saja ditanah, dan sedikit berlari menuju sang mama.

“Assalamualaikum, Mama.”

“Waalaikumussalam, Anakku.” ujar mama dengan airmata yang bercucuran, rasanya sakit sekali melihat mamanya seperti ini. Pria itu langsung memeluk mamanya. “Ini Rayyan kan? Kamu beneran pulang kan nak?” Mama menepuk-nepuk punggungnya sambil terisak. ”Kamu nggak bakal ninggalin mama lagi kan?”

“Ini Rayyan mama,” ujarnya dengan suara yang serak, ”Rae udah beneran pulang. Nggak bakal ninggalin mama lagi.” matanya berkaca-kaca, betapa rindunya sang mama terhadapnya, tidak pernah mama tidak menangis saat ngobrol telpon sebelumnya. Mama juga sedikit kurusan, membuat Rae semakin sedih.

“Rae,” lirih mama, membuat Rae semakin mengeratkan pelukannya.

“Maafin Rae ya, Ma.” Akhirnya satu airmata berhasil lolos dari matanya. Betapa ia merindukan wanita yang berada dalam pelukannya ini.

Jova yang berdiri tak jauh dari kedua orang yang sedang melepas rindu itu, ikut terharu. Ia tau betapa mama sangat merindukan Rae. Pria itu kemudian mengedarkan pandangannya, menghalau airmata yang sudah akan menetes itu.

Pun dengan Ghani sang adik, mbak Ima ART, yang sudah berkali-kali menghapus airmatanya karena sedih.

Ghani buru-buru menghapus airmatanya, ia kemudian berjalan kearah abang dan mamanya, “Anyeong Haseo, Oppa.“ sumpah, saapaan itu merusak suasana. Rae menoleh kearah Ghani, adiknya itu tengah tersenyum dengan memamerkan deretan gigi putihnya. “Nadobogo sip-eo. Aku juga mau dong dipeluk.“  lanjutnya.

Rae mengurai pelukannya, kemudian menatap sang adik “Oppa.” ujar Ghani dengan gaya yang dibuat sedih, nada yang dibuat semanja mungkin, membuat Rae menatap adiknya kesal. Ghani sudah membuat ancang-ancang berlari, tau kalau raut wajah abangnya itu menunjukkan kekesalan. Pria itu menghela nafas besar sebelum kemudian berlari hendak menjitak kepala adik kesayangannya itu.

Meskipun sudah duluan berlari, tetap saja langkah lebar Rae mampu mengejar Ghani yang sudah akan membuka pintu kamarnya. Rae menarik lengannya, Ghani yang terkejut sedikit berteriak dan menatap abangnya dengan tertawa dan meminta ampun. Keduanya tertawa, sejurus kemudian Rae menarik tubuh Ghani dan memeluk adik kesayangannya itu.

Ghani membalas pelukan abangnya, ”Aku kangen banget sama abang,” Rae mengecup pucuk kepala adiknya.

“Abang juga kangen banget sama satu-satunya adik abang yang bawel ini,” Rae mencubit kedua pipi Ghani, membuat gadis itu mencebik.

“Lama banget si, pulangnya. Sekalian aja kawin sama orang sana, biar aku punya kakak ipar yang cantik-cantik itu. Dan bisa jalan-jalan kesana.”

“Pengennya juga gitu, Dek. Tapi, kakek udah jemput aja!" pria itu berbisik, Ghani langsung menoyor pelan perut abangnya itu, takut mamanya mendengar. "Apa sih! Kan emang iya.” mengabaikan jawaban sang abang, gadis itu menengadahkan kedua tanganya kearah abangnya yang tinggi itu. Dahi Rae berkerut, “Apa?”

“Duit!” Rae menaikkan sebelah alisnya.

“Buat?”

“Jajan.”

“Nggak dikasih sama papa mama, emang?”

“Dikasih.”

“Kenapa masih nyadong sama abang?” Ghani hanya memamerkan cengirannya.

“Ayo dong bang, please!” Rae menghela nafasnya kemudian mengambil dompetnya, mata adiknya itu berbinar ketika melihat isi dompet abangnya, pria itu menambil beberapa lembar uang dan memberi satu yang berwarna merah pada adiknya. Gadis itu berdecak, lalu dengan cepat ia mengambil uang yang ada ditangan abangnya. Kemudian berlalu bergitu saja masuk kedalam kamarnya.

Rae menatap pintu kamar adiknya, tak percaya kalau ia akan dipalak oleh adiknya seperti itu. Kalau tidak salah menghitung, ada 7 lembar uang merah dan satu yang ia kasihkan tadi. Rae hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakukan adiknya yang menyebalkan itu.

Rae melihat mama, Jova dan mbak Ima berjalan kearahnya dan membawa tas dan koper miliknya. “Ma, lihat kan barusan, Ghani baru saja malakin abang loh.” Rae menunjukkan kearah kamar Ghani. Mama hanya tertawa saja, dan kemudian menarik kedua pria itu ke meja makan.

------

Rae menggeliat, membuka selimut dan turun dari tempat tidurnya ketika mendengar suara ketukan dari luar, diluar sana masih gelap dan baru saja terdengar adzan. Artinya ini masih pagi sekali, kenapa sudah mengetuk-etuk pintu kamarnya seperti itu.

“Raeee.“ panggilnya lagi.

“Iya Mama, sebentar.“ ujarnya kemudian membuka pintu kamarnya. Sedetik, Rae melihat sang mama bernafas lega, pria itu mengerutkan keningnya “Mama kenapa sih? Ada apa?”

“Mama fikir kamu pergi lagi,“ Rae tertawa geli, ia tau orang yang paling sedih saat ia pergi adalah sang mama, setakut itu sang mama ditinggal lagi olehnya. Begitu juga orang yang paling bahagia saat ia kembali pulang juga sang mama, Jadi melihat sang mama khawatir seperti ini membbuatnya merasa bersalah.

“Rae udah pulang, tuh barang-barang Rae juga udah dirumah kan. Emang mau kabur kemana lagi? “

“Ya kali kan!“ diliriknya si anak yang menatapnya itu “Yaudah sholat shubuh sana. Ke masjid lebih Afdhol, mumpung udah bangun kan!“ ujarnya kemudian berlalu begitu saja, membuat pria itu menggelengkan kepalanya. Pria itu kemudian menutup kembali kamarnya dan bersiap untuk pergi ke masjid yang berada tak jauh dari rumahnya.

-----

Sudah tersedia beberapa cangkir minuman hangat saat Rae baru saja keluar dari kamarnya. Setelah sholat shubuh berjamaah di masjid tadi ia ketiduran, tubuhnya masih terasa lelah efek perjalanan kemarin. Jadilah ia dengan muka bantalnya duduk di meja makan.

Matanya terlihat masih sangat lelah, rambutnya berantakan khas bangun tidur. Ghani, adik perempuan Rae yang sedang menikmati cokelat hangatnya, hanya berdecak melihat penampilan abangnya itu.

“Tck.“ gadis itu berdecak, “Berantakan banget si.“ ujarnya sambil menyodorkan kopi panas kearah abangnya.

“Ini siapa yang bikin?”

“Aku dong.“ Rae mengernyit menatap adiknya. “Kenapa ngeliatnya gitu! Nggak percaya?” sewotnya. “Tanya aja sama Mama kalo nggak percaya!“

“Abang ada bilang apa si emang?” tanya Rae sambil menyesap kopinya. Jawaban gadis itu hanya decakan membuat Rae tersenyum, sejurus kemudian mengacak kepala adiknya kemudian beranjak setelah kopi di gelasnya tandas. Ghani bernafas lega karena abangnya itu tak meminta kembali uang yang dirampasnya kemarin, gadis itu terkekeh.

----

“Ya Allah, tidur lagi ini orang.“ teriak Ghani, saat sampai dikamar kakaknya, dengan terpaksa Ghani melempar bantal kearah Rae, membuatnya menggeram kesal.

“Abang masih ngantuk. Ghani.“ gerutunya.

“Udah berapa kali tidur sih, ini udah siang. Keterusan tidur tau rasa!“ mendengar ucapan adiknya itu spontan Rae langsung menegakkan tubuhnya, matanya masih terasa berat.

“Kalo ngomong tu—“ ucapannya terpotong. Tangannya memelintir bibir adiknya dan berdecak. Ghani mengaduh dan menatap tajam kearah kakaknya.

“Lagian, dari kemarin pulang Cuma tidur mulu kerjaannnya, tadi pagi udah nggak ikut sarapan. Ngelewatin makan siang sama Nggak sholat dhuhur, ini tu udah jam 4 sore loh bang.“

“Heh—“ Rae langsung melihat jam dindingnya. “Astaghfirullahaladzim.“ tanpa peduli dengan adiknya, Rae langsung berlari kekamar mandi. Ghani hanya memutar bola matanya malas melihat kakaknya.

Entahlah, Rae masih tidak tau apa yang kan ia lakukan setelah sampai dirumah seperti ini. Ia juga tidak tau kapan akan menemui kakeknya. Jadi yang ia lakukan hanya tidur dari ia datang sampai saat ini.

Ia duduk ditepian kasurnya, memikirkan banyak hal dan rencana yang akan ia lakukan nanti. Sampai kemudian sebuah suara membuyarkan lamunannya. Pria itu berjengit kaget karena saat ia menoleh, ia mendapati Jova sudah duduk disampingnya dengan ekspresi yang tidak mengenakkan.

Reflek Rae menoyor pelan lengan Jova, membuat pria itu mengaduh “Lo dari kapan disitu, dasar setan! “ semburnya sambil memegangi dadanya.

“Astaghfirullah Rae, mulut lo itu—“

“Ya lagian, ngagetin gue aja. Masuk kamar orang tu, salam kek, ketok pintu gitu. Asal masuk, kayak maling aja.“

“Gue udah ngetok, udah salam ada sampe seribu kali. Lo nya asyik ngelihatin lantai, sampe gue duduk disamping lo lebih dari 10 menitan, lo masih aja bengong macam orang kesurupan.“ ujar Jova panjang lebar macam emak-emak sedang nawar ikan dipasar.

“Ada gitu orang kesurupan anteng kayak gini.“

Jova berdecak kesal. Pria itu melirik Rae tajam, “Nggak berubah ternyata.“

“Lo mau gue berubah jadi apa emangnya? Power Ranger, teletubies, Jaka Tingkir, Wiro Sableng, Iron Man, Buto Ijo, Thanos atau apa?” Jova hanya mendengus mendengar pertanyaan Rae, percuma menanggapi Rae karena hanya akan membuat Rae semakin senang menggodanya, membuatnya merasa kesal. Untung saja Jova sudah kebal dengan kelakuan Rae. Jadi ia hanya membuang nafas dan berjalan menuju ruang tamu.

“Aduh, capek ngomong sama lo.“ Jova beranjak dari duduknya.

“Lah, belum apa-apa udah capek aja.“ Rae ikut berdiri, berjalan mengikuti Jova yang tingginya hanya 5cm dibawah Rae. Sekilas keduanya nampak sama tingginya, tapi Rae tak suka kalau tingginya dianggap sama dengan Jova, yang nyatanya Rae lebih tinggi dari Jova, walaupun perbedaanya tak terlalu jauh.

Jova mendesah “Kesel ngomong sama lo.“ Rae hanya nyengir.

---

Rae berdiri didepan sebuah rumah megah. Pria itu mengamati rumah yang sudah lama tak ia kunjungi. Mendadak hatinya disergap perasaan gelisah, ia tidak tau jika hanya dengan berdiri didepan rumah ini perasaannya menjadi tak karuan seperti ini.

Menghela nafas dengan besar sebelum kemudian ia melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Begitu sampai didalam, ia disuguhi dengan pemandangan yang begitu ia kenal, semua tata letak di ruang tamu itu masih sama. Tidak ada yang berubah. Seingatnya, sudah lama sekali ia tidak berkunjung ke rumah kakeknya, terakhir yang ia ingat saat ia pulang 1 tahun yang lalu.

Rae berdiri tepat didepan 2 figura besar yang dipasang didinding ruang tamu yang luas itu. Potret keluarga besarnya terpajang rapi dan bersih, Rae tersenyum samar melihat pigura itu. Teringat betapa sulitnya mengumpulkan semua orang itu hanya untuk mendapat satu potret yang saat ini didepannya.

Potret keluarga besarnya terpampang di dinding begitu lebarnya, ada kakeknya berada ditengah, disamping kanannya Fadilla—sang mama, kemudian dirinya, Ghani adiknya dan Ghibran Farras sang ayah.

Disamping kirinya ada Vemas anak pertama Bana—sang kakek, dengan Ambar istrinya kemudian ada Randi—putra tunggalnya.

Ia tatap potret itu dengan fokus, mengamati satu-persatu sosok yang tersenyum dipotret itu, sudah lama sekali ia tak bertemu dengan mereka. Hanya dengan melihat potret itu mampu menggugah kenangan yang ia miliki bersama mereka.

Matanya beralih pada figura yang satunya, hanya ada potret dirinya dan satu pria disampingnya. Matanya tertumbuk pada satu sosok yang berada tepat disampingnya. Ia tatap sosok itu dengan lekat, postur tubuhnya tinggi tegap dan gagah, wajahnya tampan dan berkharisma membuat siapapun terpana saat pertama kali melihatnya. Namun siapa sangka, perihal umur tidak ada yang bisa menduga. Kakak sepupunya harus bepulang dulu kepada pemiliknya diusia yang masih sangat muda, karena penyakit ganas yang diidapnya. Dia Randi, kakak sepupunya.

Randi tampak tersenyum bahagia, membuat hatinya terasa sesak. Bagi Rae, Randi adalah idolanya, Randi menjadi panutan untuknya. Kakak terhebat yang pernah ia punya. Kepergian Randi menjadi pukulan terberat untuknya. Hampir seumur hidupnya selalu bersama Randi, tumbuh bersama dilingkungan yang sama membuat keduanya seperti anak kembar walaupun beda jenjang. Rae 3 tahun dibawah Randi, tapi sekolahnya Rae hanya 1 jenjang dibawah Randi.

Mengingat itu semua membuat Rae tersenyum getir, “Allah lebih sayang sama lo bang, semoga kita bisa berkumpul lagi nanti di Surga-Nya.“ lirihnya. 

Suara deheman membuatnya menoleh dan memutar tubuhnya, jantungnya berdetak tiba-tiba hanya dengan melihat kakeknya tengah berdiri menatapnya. Meskipun kadang kesal, tetap saja tak bisa menghilangkan perasaan kagumnya kepada pria baya didepannya ini. Pria baya yang masih tetap terlihat energik diusia yang mencapai kepala 6 itu..

Rae berjalan kearah sang kakek kemudian menyalami dan mancium telapak tangan pria baya itu. “Cucu macam apa yang tega ngabisin uang kakeknya.“ ujarnya sambil melewati Rae, dan duduk di single sofa dibelakang Rae. Tuh kan, belum apa-apa sudah bikin Rae kesal. Seharusnya sebelum kesini tadi Rae minum obat darah tinggi dulu buat jaga-jaga. “Memang kamu nggak punya uang, he?” Kakek menunjuk Rae dengan tongkatnya. Rae hanya diam tak berkomentar, “Kenapa diam saja, kamu nggak capek berdiri disitu, duduk!“ kakek menunjuk sofa panjang yang berada disisi kanan Rae. Rae menuruti perintah kakeknya.

“Kakek harap kedatanganmu kesini membawa kabar baik untuk kakek.“

“Yah, kabarku baik sekali kek.“ Jawabnya asal, Rae sudah tau maksud kakeknya dengan ‘kabar baik’.

Sang kakek berdecih “Kakek nggak tanya kabar kamu, karena sudah pasti kamu baik-baik saja,“

“Darimana kakek tau kalau aku baik-baik saja!“ Tanyanya dengan kurang ajar.

“Buktinya kamu sekarang disini kan,“

“Isshh.“

“Nggak berubah juga, sama aja.“

“Kakek mau rae berubah jadi apa? Jadi Avengers kah atau apa?” ingin Rae mengutarakan kalimat itu, aaah bisa-bisa kakeknya jantungan mendengar ucapan ngelanturnya. Lagian semua orang bilang dirinya sama saja, sebenarnya orang-orang ini ingin ia berubah seperti apa?

“Kakek nggak akan banyak bicara sama kamu, sudah pasti kamu tau apa tujuan kakek sampai memaksa kamu pulang seperti ini. Kakek harap nggak ada acara ngulur-ngulur waktu seperti kemarin-kemarin, Rae!“

“Kakek tidak akan mengungkit berapa uang yang sudah kakek habiskan untuk kamu, karena satu-satunya harapan kakek hanya kamu. Kakeh hanya berharap kamu mau mengerti dengan situasi keluarga kita ini!“

“Sudah cukup kakek bersabar untuk sikap egois kamu, kamu fikir kakek tidak tau alasan apa kamu keluar Negeri? Alih-alih mencari ilmu kamu hanya melarikan diri, membuang waktu dan mengulur waktu!“ Rae menatap sang kakek dengan senyum kecil, ingin sekali Rae marah karena mimpinya dianggap membuang waktu.

Pria itu menghela nafasnya dan menegakkan punggungnya. “Sudah berkali-kali Rae menjelaskan, yah anggaplah memang seperti itu. Tapi tolong jangan anggap Rae egois dan impian Rae hanya membuang waktu!“ Jawabnya tak suka.

“Apalagi? Semua sudah jelas sejak kepergian abangmu semua tanggungjawabnya beralih ke pundakmu Rae. Tapi kamu memilih pergi, selama itu. Membuat semua orang gelisah, apalagi kalau bukan egois dan membuang waktu?”

“Kakek tau, kamu sama sekali tidak tertarik dengan bisnis, dan memilih jalanmu sendiri karena prinsip yang kamu miliki, kakek bangga dengan itu. Kamu juga cerdas, dan itu alasan perusahaanmu ingin tetap mempertahankan kamu disana." Pria tua itu berdecak mengingat banyaknya uang yang harus ia buang untuk memulangkan Rae saat bernegosiasi dengan perusahaan Rae. "Itu prestasi dan kakek bangga sama kamu. Tapi taukah kamu dari itu semua ada sikap egois yang tak kamu sadari karena mementingkan perasaan nyamanmu sendiri daripada keluargamu.

“Keluargamu membutuhkanmu nak, kalau bukan kamu lantas siapa lagi? Ingat, Sejauh apapun kamu pergi tetap pada akhirnya keluarga lah tempatmu pulang.” Rae memandang kakeknya, iya memang benar sejauh apa pun ia pergi keluarganyalah tempatnya pulang, iya memang siapa lagi?

Bana berdiri dari duduknya lantas berjalan kearah Rae, ia menepuk pelan pundak cucunya itu “Kakek fikir kamu sudah dewasa, dan bijaksana untuk memilih keputusan. Ini bukan lagi masalah passion ataupun basic yang selalu kamu ucapkan pada kakek, tapi ini tentang keluarga, keluarga kita akan terpuruk atau lebih dari sekedar aman, semua ada pada keputusanmu.“ ujarnya kemudian berdiri meninggalkan Rae dengan fikirannya sendiri.