Kira-kira, berapa tingkat keberhasilan menikah dengan cinta pertama? Delapan puluh persen? Atau mungkin hanya sepuluh persen? Mungkin tidak berhasil sama sekali.
Bebi baru saja menyelesaikan pekerjaannya malam itu. Berulang kali dia sudah menekuk lehernya, memijat kemudian memiringkannya beberapa kali karena merasa pegal setelah lima jam lamanya berkutat pada komputer di depannya.
“Beb, ada surat undangan,” kata Desi, teman satu kos Bebi yang juga teman kantor Bebi.
Kening Bebi mengerut dalam, sudah lima kali dalam sebulan dia mendapatkan undangan pernikahan. Jadi, dia tak akan terkejut jika mendapatkan undangan pernikahan lagi meski dari mantan kekasihnya yang telah berselingkuh darinya beberapa bulan yang lalu.
Namun, kali ini Bebi tertarik membuka undangan yang kertasnya mirip seperti kertas perkamen.
“Undangan reuni?” tanya Bebi pada dirinya sendiri.
Dia melihat undangan reuni SMP Anak Bangsa angkatan 2008.
Bebi langsung membenarkan duduknya, membuka undangan itu dengan penuh kehati-hatian seperti membuka undangan dari presiden. Lalu, dia pun melihat foto kelulusan mereka terlihat di bagian bawah undangan. Hanya saja, ada satu murid yang tidak ada di sana. Yaitu, Ega.
Ega adalah cinta pertama Bebi yang pindah enam bulan sebelum ujian nasional diadakan. Perasaan Bebi waktu itu sangat sedih karena belum sempat menyatakan perasaannya pada lelaki yang hampir lima belas tahun tidak ada kabarnya.
Jangankan nomor kontak, bahkan dia tidak tahu apakah Ega memiliki media sosial atau tidak.
“Kayaknya serius banget lo, Beb.” Desi duduk di kursi yang ada di sebelah, memberikan secangkir kopi pada Bebi yang masih mengamati undangan tersebut.
“Des, menurut lo, nikah sama cinta pertama itu mungkin nggak?” tanya Bebi secara tiba-tiba.
“Ya, tergantung sih. Kalo jodoh juga bakalan nikah, kenapa? Cinta pertama lo dateng ke acara reuni itu?”
Bebi lupa, apakah Ega akan datang atau tidak, perasaannya sudah keburu senang karena dia baru saja mendapatkan undangan reuni SMP.
Namun bukan Bebi namanya kalau dia langsung menyerah begitu saja. Dia menghubungi Putri teman satu kelas saat SMP. Kebetulan dia juga panitia yang mengadakan acara reuni tersebut.
Jadi, setelah pulang bekerja, dia langsung menelpon Putri dan bertanya tanpa basa-basi apakah Ega datang ke acara reuni itu atau tidak.
“Dateng kok, gue udah tanya sama dia. Lagian, gue tiba-tiba ngajak reuni karena itu usul dari Ega,” kata Putri di ujung telepon.
“Eh? Gimana-gimana?”
“Iya Beb, itu usul Ega. Kemarin waktu gue pergi buat nemenin adik gue beli kado, gue nggak sengaja ketemu sama Ega di mall. Dia lagi kerja kayaknya, rapi banget. Terus gue ngobrol sama dia, dan tiba-tiba dia ngajakin reuni. Hebat, kan? Ega si kutu buku tapi ganteng tau-tau ngajakin reuni?”
Bebi mengangguk meski Putri tidak melihatnya. Perasaannya kali ini senang setengah mati. Keinginannya untuk bertanya bagaimana bentuk Ega saat ini pun berhasil dia tahan sekuat tenaga. Karena dia tak mau menjadi bahan ledekan oleh Putri.
“Lo dateng, kan? Udah lama banget nggak ketemu nih!”
“Oh, iya dong!” jawab Bebi dengan canggung, otaknya sudah dipenuhi dengan wajah Ega.
“Ega, dia… sekarang gimana, Put?” tanya Bebi ragu, rupanya dia sudah tidak tahan untuk menanyakan masalah Ega. “Lo nggak punya media sosial dia?”
“Ega masih ganteng kayak dulu, kalo masalah sosial media, lo tau sendiri sejak dulu dia paling anti sama gituan. Dia nggak make cincin pernikahan, Beb. Jangan-jangan masih lajang,” kata Putri yang berniat untuk memancing Bebi untuk bereaksi.
Namun, di dalam hati Bebi dia menjerit kegirangan mengetahui jika Ega masih lajang.
“Kesempatan kedua pasti ada,” gumam Bebi.
“Apanya yang kedua?” tanya Putri yang tidak mendengar jelas apa yang dbilang Bebi barusan.
“Oh, nggak. Gue mau nyiapin pakaian buat reuni nanti,” kata Bebi.
Bebi pun menutup teleponnya dengan perasaan bahagia yang meletu-letup. Bibirnya sudah setengah jam yang lalu nyengir seperti itu tanpa takut jika giginya akan kering karena terlalu lama tersenyum.
Belum tahu bagaimana Ega yang sekarang, pikiran Bebi melayang membayangkan masa-masa SMP waktu dulu. Ketika dia jatuh cinta pada Ega, si cowok pintar yang sulit didekati oleh anak perempuan.