tw // kekerasan, perundungan
"Lo tahu pribahasa apa yang paling gue ingat setelah 11 tahun belajar pelajaran Bahasa Indonesia?"
Suara Orla menggelegar memenuhi seisi ruangan. Bibirnya menyunggingkan senyum licik dan matanya memancarkan aura bahagia yang kontras dengan dinding gudang berlumut, kotor, dan penuh coretan vandalisme.
"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," lanjut Orla. "Pribahasa itu tepat banget buat lo. Lo nggak akan jauh beda dari ayah lo yang seorang penipu pembunuh."
Orla terkekeh. "Tinggal tunggu waktu sampai tuduhan itu terbukti." Orla berjongkok, memandang Fidel penuh cemooh. “Gue selalu percaya kalau dunia itu berputar. Dulu lo boleh aja di atas gue, tapi sekarang gue yang di atas lo.”
Semua orang, bahkan Fidel sendiri tahu kalau ini adalah hal yang sangat ingin dilakukan Orla sejak dulu. Cewek itu selalu ingin menindasnya. Selalu ingin berada di atasnya. Selalu ingin menang atas dirinya. Hanya saja, karena selama ini takdir selalu berpihak kepada Fidel, Orla baru bisa melakukan hal ini sekarang. Waktu yang tepat ketika kehidupan Fidel jungkir balik seratus delapan puluh derajat.
“Karena dunia
Raut wajah Orla berubah murka. Wajah sinisnya semakin muram. Fidel sudah terbiasa melihat ekspresi menyebalkan itu.
“Sialan!” pekik Orla lalu mendorong Fidel.
Fidel terhuyung ke belakang dan segera ditahan dua kacung Orla yang dari tadi memegangi lengannya.
Fidel mendesis
Orla meradang. Dia kembali meraih wajah Fidel dan mempererat tangannya di sana. “Sebelum itu, gue bakal pastiin lo menderita.”
Susah payah Fidel membalas ucapan cewek itu tanpa mau mengalah. “Gu
Orla berteriak histeris. “Brengsek! Pegangi dia lebih erat!” Dia lantas berjalan menuju ransel yang berada di dekat pintu gudang.
Fidel merasa tangannya dipegangi semakin erat. Cewek itu melirik Mina dan Yesi, dua kacung Orla—dengan tatapan super tajam. Sel-sel otaknya tentu ingat jelas siapa mereka. Salah satu dari mereka pernah menghabiskan hampir sebelas tahun bersamanya sementara yang satunya lagi pernah menghabiskan hampir empat tahun bersamanya.
“Gue nggak berlaku kasar ke kalian karena kalian mantan temen gue. Lepasin atau kalian akan babak belur?!” ancamnya pada mereka.
“Jangan lepasin dia!” pekik Orla dari ujung ruangan.
Kedua orang itu lebih suka menuruti perintah Orla dan memegangi tangannya semakin kuat. Fidel mendesis sinis. Ternyata benar. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang dapat dijadikan teman
“Lo tahu sebesar apa kebencian gue sama lo?” Suara Orla kembali
“Lo mau apa?” tanya Fidel penuh antisipasi.
Orla menyeringai jahat. “Menurut lo?”
Fidel memutar bola mata, mencoba tetap tenang. “Setakut itu ya lo sama gue sampai harus pakai benda tajam kayak gitu?”
Orla tertawa. Jenis tawa super kaku yang menyebalkan karena terdengar melengking. “Kenapa gue harus takut sama anak pembunuh. Sampah masyarakat.”
Tubuh Fidel tersentak. Jantungnya seketika bertalu-talu. Ingatan tentang kenyataan itu berhasil menghantam kepalanya dan membuat emosinya mendidih. Perlahan tanpa bisa dicegah, pipinya mulai terasa panas dan napasnya memburu. “Lo-”
Belum sempat Fidel bersuara, Orla sudah terlebih dahulu menerjang, menarik rambutnya dan memangkasnya dengan gerakan kasar. “Sampah. Dasar sampah masyarakat. Rasain lo. Harusnya lo ikut di penjara kayak Papah lo.”
Fidel memekik saat merasakan kepalanya sakit akibat tangan Orla yang menekannya terlalu kuat. Dia berontak, mencoba menjauh dari Orla,
Orla tertawa nyaring saat mendorong Fidel jatuh setelah meraih sejumput rambutnya. Dia mengangkat helaian rambut itu ke atas dengan rasa bangga.
“Harus gue buang ke mana nih sampah dari tubuh lo?”
Fidel terduduk di lantai dengan napas tidak keruan. Emosinya meluap-luap. Ekspresi gadis itu sudah mulai mengeras. Dia menatap Orla garang lalu mengepalkan tangan kuat-kuat. Ketika Orla sedang tertawa sangat senang, Fidel beranjak naik. Dia
Tawa Orla berhenti dan raut mukanya berubah waspada. “Jangan lepasin dia,” perintahnya absolut.
Fidel mendengus lalu menarik napas dalam-dalam. Ini bukan waktu untuknya mengalah. Berani-beraninya Orla! Fidel menyiapkan kuda-kuda dan mengentakan kedua tangannya sampai membuat Mina dan Yesi terdorong jatuh. Dalam hitungan detik dia menerjang Orla. Tangan mungilnya merampas gunting dari tangan cewek itu dan dengan gerakan cepat memangkas rambut Orla lebih pendek dan lebih kasar dari cara cewek itu memangkas rambutnya.
Orla linglung. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia mencoba menyingkirkan Fidel sekuat tenaga,
Mina dan Yesi mundur ke
Ketika selesai dengan aksinya dan puas dengan rambut berantakan Orla, Fidel melempar gunting ke pojok ruangan. Gerakannya kasar, marah dan mengancam. “Cam kan ini baik-baik. Jangan ganggu gue lagi kalau lo nggak mau berakhir lebih parah dari ini.”
Orla mendumal tidak jelas,
Fidel menoleh pada Mina dan Yesi. “Makasih sudah menunjukkan mana teman yang setia dan mana yang enggak.”
Berikutnya
“I-iya.” Mina ikut bersuara.
Fidel tidak menoleh, justru tertawa sumbang. Keningnya berkerut dan sudut bibirnya berdenyut. “Berarti selama ini kalian buta.”
Hening. Hanya suara dumelan Orla yang terdengar di sekeliling ruangan. Fidel berjalan menjauh dengan ekspresi keras. Barulah saat melewati pintu keluar, air mata cewek itu meluruh jatuh. Dia terisak lalu segera menahannya.
“Jangan menangis. Menangis berarti kalah,” katanya pada diri sendiri.
Fidel menyeka air matanya lalu menepuk-nepuk pipi, mencoba menyakinkan diri sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. Setelah mampu mengendalikan ekspresi wajahnya dan merapikan tataan rambutnya, Fidel berbelok menuju kawasan sekolah. Langkahnya kembali berhenti saat melihat seorang cowok urakan sedang memukul cowok culun. Pandangan Fidel terkunci di sana. Dia diam, memperhatikan adegan itu dengan saksama. Mau tidak mau, ingatan masa lalu hadir dalam benaknya. Dia terbuai dengan apa yang disaksikannya sampai cowok urakan itu menoleh dan pandangan mereka bertemu.
Mereka saling tatap dalam diam. Si cowok urakan yang pertama kali mengalihkan pandangan untuk kembali memukul si cowok culun. Fidel tahu jelas siapa cowok itu. Aksal. Cowok yang paling ditakuti di SMA Cendekia.
Dulu Fidel berada di posisi Aksal, tetapi sekarang dia berada di posisi si cowok culun. Dunia memang selucu itu.