Be My Boyfriend

Be My Boyfriend

Oepha Im

5

tw // kekerasan, perundungan  

"Lo tahu pribahasa apa yang paling gue ingat setelah 11 tahun belajar pelajaran Bahasa Indonesia?"

Suara Orla menggelegar memenuhi seisi ruangan. Bibirnya menyunggingkan senyum licik dan matanya memancarkan aura bahagia yang kontras dengan dinding gudang berlumut, kotor, dan penuh coretan vandalisme.

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," lanjut Orla. "Pribahasa itu tepat banget buat lo.  Lo nggak akan jauh beda dari ayah lo yang seorang penipu pembunuh."

Fidel yang terduduk di lantai menengadah, menatap kedua manik mata Orla dengan jijik. "Ayah gue belum terbukti sebagai pembunuh!"

Orla terkekeh. "Tinggal tunggu waktu sampai tuduhan itu terbukti." Orla berjongkok, memandang Fidel penuh cemooh. “Gue selalu percaya kalau dunia itu berputar. Dulu lo boleh aja di atas gue, tapi sekarang gue yang di atas lo.”

Semua orang, bahkan Fidel sendiri tahu kalau ini adalah hal yang sangat ingin dilakukan Orla sejak dulu. Cewek itu selalu ingin menindasnya. Selalu ingin berada di atasnya. Selalu ingin menang atas dirinya. Hanya saja, karena selama ini takdir selalu berpihak kepada Fidel, Orla baru bisa melakukan hal ini sekarang. Waktu yang tepat ketika kehidupan Fidel jungkir balik seratus delapan puluh derajat.

Orla meraih rahang Fidel dengan satu tangan. Fidel berontak meski kedua tangan dipegangi oleh dua kacung Orla. Dia berusaha melepaskan diri, tetapi lengan Orla semakin kuat menekan rahangnya. Orla sengaja menancapkan kuku-kuku panjangnya di sana agar Fidel tersiksa dan mengaku kalah. Alih-alih meringis, sudut bibir Fidel terangkat membentuk senyum sinis. Salah jika Orla berpikir bahwa Fidel akan jatuh begitu saja tanpa perlawanan hanya karena dunianya sedang berada di bawah.

“Karena dunia terus berputar, itu artinya gue akan ada di atas lo lagi,” balas Fidel dengan geraman kasar.

Raut wajah Orla berubah murka. Wajah sinisnya semakin muram. Fidel sudah terbiasa melihat ekspresi menyebalkan itu.

“Sialan!” pekik Orla lalu mendorong Fidel.

Fidel terhuyung ke belakang dan segera ditahan dua kacung Orla yang dari tadi memegangi lengannya.

Fidel mendesis dengan tawa mengejek. “Kenapa? Lo takut dunia bakal berputar lagi, ya? Lo takut ada di bawah gue lagi?”

Orla meradang. Dia kembali meraih wajah Fidel dan mempererat tangannya di sana. “Sebelum itu, gue bakal pastiin lo menderita.”

Susah payah Fidel membalas ucapan cewek itu tanpa mau mengalah. “Gu-gue ba-bakal pastiin lo menderita juga.”

Orla berteriak histeris. “Brengsek! Pegangi dia lebih erat!” Dia lantas berjalan menuju ransel yang berada di dekat pintu gudang.

Fidel merasa tangannya dipegangi semakin erat. Cewek itu melirik Mina dan Yesi, dua kacung Orla—dengan tatapan super tajam. Sel-sel otaknya tentu ingat jelas siapa mereka. Salah satu dari mereka pernah menghabiskan hampir sebelas tahun bersamanya sementara yang satunya lagi pernah menghabiskan hampir empat tahun bersamanya.

“Gue nggak berlaku kasar ke kalian karena kalian mantan temen gue. Lepasin atau kalian akan babak belur?!” ancamnya pada mereka.

“Jangan lepasin dia!” pekik Orla dari ujung ruangan.

Kedua orang itu lebih suka menuruti perintah Orla dan memegangi tangannya semakin kuat. Fidel mendesis sinis. Ternyata benar. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang dapat dijadikan teman. Harus Fidel akui kalau mengklaim teman sebagai mantan teman itu sangat lucu sekaligus menggelikan. Lihat saja dirinya sekarang.

“Lo tahu sebesar apa kebencian gue sama lo?” Suara Orla kembali terdengar. Fidel mengernyit saat sadar jika Orla sedang memainkan gunting di tangannya sambil berjalan mendekat.

“Lo mau apa?” tanya Fidel penuh antisipasi.

Orla menyeringai jahat. “Menurut lo?”

Fidel memutar bola mata, mencoba tetap tenang. “Setakut itu ya lo sama gue sampai harus pakai benda tajam kayak gitu?”

Orla tertawa. Jenis tawa super kaku yang menyebalkan karena terdengar melengking. “Kenapa gue harus takut sama anak pembunuh. Sampah masyarakat.”

Tubuh Fidel tersentak. Jantungnya seketika bertalu-talu. Ingatan tentang kenyataan itu berhasil menghantam kepalanya dan membuat emosinya mendidih. Perlahan tanpa bisa dicegah, pipinya mulai terasa panas dan napasnya memburu. “Lo-”

Belum sempat Fidel bersuara, Orla sudah terlebih dahulu menerjang, menarik rambutnya dan memangkasnya dengan gerakan kasar. “Sampah. Dasar sampah masyarakat. Rasain lo. Harusnya lo ikut di penjara kayak Papah lo.”

Fidel memekik saat merasakan kepalanya sakit akibat tangan Orla yang menekannya terlalu kuat. Dia berontak, mencoba menjauh dari Orla, tetapi tidak berhasil. “Orla! Lo gila! Lepasin gue!”

Orla tertawa nyaring saat mendorong Fidel jatuh setelah meraih sejumput rambutnya. Dia mengangkat helaian rambut itu ke atas dengan rasa bangga.

 “Harus gue buang ke mana nih sampah dari tubuh lo?” ejek Orla.

Fidel terduduk di lantai dengan napas tidak keruan. Emosinya meluap-luap. Ekspresi gadis itu sudah mulai mengeras. Dia menatap Orla garang lalu mengepalkan tangan kuat-kuat. Ketika Orla sedang tertawa sangat senang, Fidel beranjak naik. Dia berusaha berlari mendekati cewek itu, namun segera ditahan Mina dan Yesi. “Lepasin!” teriaknya murka.

Tawa Orla berhenti dan raut mukanya berubah waspada. “Jangan lepasin dia,” perintahnya absolut.

Fidel mendengus lalu menarik napas dalam-dalam. Ini bukan waktu untuknya mengalah. Berani-beraninya Orla! Fidel menyiapkan kuda-kuda dan mengentakan kedua tangannya sampai membuat Mina dan Yesi terdorong jatuh. Dalam hitungan detik dia menerjang Orla. Tangan mungilnya merampas gunting dari tangan cewek itu dan dengan gerakan cepat memangkas rambut Orla lebih pendek dan lebih kasar dari cara cewek itu memangkas rambutnya.

Orla linglung. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia mencoba menyingkirkan Fidel sekuat tenaga, tetapi tidak berhasil. Fidel terlalu kuat. Rasa dingin dari gunting mulai menusuk kulit kepalanya. Telinga mungilnya bisa mendengar suara gunting memotong rambutnya. No! Rambut kesayangan gue! Dasar cewek gila. Lepasin gue!” Sekuat apa pun Orla berteriak dan menghindar, Fidel tetap menang. Orla mungkin lupa, walau diserang oleh banyak perempuan sekali pun, Fidel tetap pandai bela diri.

Mina dan Yesi mundur ke belakang dan menatap kedua orang di depannya takut-takut. Mereka tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi mereka takut rambutnya akan dipangkas pendek oleh Fidel, di sisi lain mereka takut Orla akan memarahi mereka setelah ini.

Ketika selesai dengan aksinya dan puas dengan rambut berantakan Orla, Fidel melempar gunting ke pojok ruangan. Gerakannya kasar, marah dan mengancam. “Cam kan ini baik-baik. Jangan ganggu gue lagi kalau lo nggak mau berakhir lebih parah dari ini.”

Orla mendumal tidak jelas, tapi tidak melawan. Cewek itu merosot di lantai dan menyentuh rambutnya yang tercecer di sana.

Fidel menoleh pada Mina dan Yesi. “Makasih sudah menunjukkan mana teman yang setia dan mana yang enggak.”

Berikutnya, Fidel berjalan pergi, meninggalkan gudang sekolah yang sepi. Namun, suara Yesi berhasil menghentikan langkahnya di dekat pintu keluar. “Lo nggak pernah menganggap kami teman.”

“I-iya.” Mina ikut bersuara.

Fidel tidak menoleh, justru tertawa sumbang. Keningnya berkerut dan sudut bibirnya berdenyut. “Berarti selama ini kalian buta.”

Hening. Hanya suara dumelan Orla yang terdengar di sekeliling ruangan. Fidel berjalan menjauh dengan ekspresi keras. Barulah saat melewati pintu keluar, air mata cewek itu meluruh jatuh. Dia terisak lalu segera menahannya.

“Jangan menangis. Menangis berarti kalah,” katanya pada diri sendiri.

Fidel menyeka air matanya lalu menepuk-nepuk pipi, mencoba menyakinkan diri sendiri kalau semuanya akan baik-baik saja. Setelah mampu mengendalikan ekspresi wajahnya dan merapikan tataan rambutnya, Fidel berbelok menuju kawasan sekolah. Langkahnya kembali berhenti saat melihat seorang cowok urakan sedang memukul cowok culun. Pandangan Fidel terkunci di sana. Dia diam, memperhatikan adegan itu dengan saksama. Mau tidak mau, ingatan masa lalu hadir dalam benaknya. Dia terbuai dengan apa yang disaksikannya sampai cowok urakan itu menoleh dan pandangan mereka bertemu.

Mereka saling tatap dalam diam. Si cowok urakan yang pertama kali mengalihkan pandangan untuk kembali memukul si cowok culun. Fidel tahu jelas siapa cowok itu. Aksal. Cowok yang paling ditakuti di SMA Cendekia.

Dulu Fidel berada di posisi Aksal, tetapi sekarang dia berada di posisi si cowok culun. Dunia memang selucu itu.