Back to December

Back to December

Yuniar Christy

4.3

Aku mengingatnya sebagai laki-laki yang gemar bercerita. Meski di pertemuan pertama kami, dia terkesan sulit untuk didekati.


Kami bertemu ketika aku mendatangi bazaar buku akhir tahun di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu musim hujan dengan hiasan kerlap kerlip lampu natal di beberapa sudut jalan. Hari-hariku suram sama seperti matahari yang selalu malu menampakkan dirinya di sepanjang akhir tahun. Kecuali hari itu, hari ketika aku melihatnya duduk sendirian di gerai kopi di dekat lokasi bazaar buku. Hari ketika kisah ini dimulai.


Laki-laki itu menekuri iPad di hadapannya dengan serius. Earphone berwarna putih terpasang di kedua telinganya, pertanda dia tak ingin diganggu. Sesekali tangannya menggoreskan garisan-garisan yang tak ku mengerti maknanya menggunakan stylus. Di sela-sela aktivitas tersebut, dia mengistirahatkan kepalanya dengan bertumpu pada satu tangan. Mungkin di dalam kepalanya sedang berkecamuk berbagai macam ide yang mendesak ingin keluar, atau mungkin justru ide itu sedang dalam usaha untuk diperah. Aku sangat memahami perasaan itu.


Seketika aku lupa tujuanku datang ke bazaar buku. Karena sejak kedua mataku menangkap sosok laki-laki asing itu, aku tak bisa lepas memandanginya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku tergerak untuk menghampirinya, menyapanya, menanyakan apa yang sedang mengganggu pikirannya, mengapa ia sendirian di tempat seramai ini, dan mengapa ia menyukai matcha latte. Informasi terakhir aku ketahui dari segelas matche latte yang tak tersentuh selama laki-laki itu sibuk berkutat dengan karyanya.


Namun pada akhirnya aku mengurungkan niat itu. Laki-laki yang memakai kaos berwarna putih dengan logo sebuah brand ternama di bagian dada sebelah kiri itu, tampak begitu asyik dengan dunianya sendiri. Ada gelembung tak kasat mata yang memisahkannya dari dunia sekelilingnya. Aku takut memecahkan gelembung itu, karena aku tahu persis bagaimana rasanya berada dalam zona nyaman tersendiri tanpa ada keharusan berinteraksi dengan manusia lain. Aku sangat memahami perasaan itu. Aku akhirnya paham keputusan laki-laki itu untuk menyendiri hanya dengan berteman gadget dan segelas matcha latte.


Maka aku pun memutuskan untuk kembali melanjutkan kesibukanku. Membeli serial Hunger Games terbaru. Tenggelam dalam petualangan fiksi yang membantuku untuk melupakan sejenak dunia nyata beserta beragam peran yang harus aku jalankan. Membaca buku adalah caraku menciptakan gelembung tak kasat mata di sekelilingku. Sama seperti laki-laki berkaos putih itu.


Namun, saat aku membayar buku di kasir dan ingin memandangi laki-laki itu lagi, dia sudah menghilang. Gelas matcha latte masih ada di meja, menyisakan setengah dari isinya semula. Aku bertanya-tanya ke mana perginya laki-laki itu. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba aku mempedulikan keberadaan orang asing yang bahkan tidak ku ketahui nama atau asal-usulnya. Entah karena alasan apa aku merasa kehilangan. Seharusnya tadi aku menghampirinya. Menyapanya dan bertanya bolehkah aku berkenalan. Seharusnya aku memberanikan diri menerobos gelembung tak kasat mata itu, meski aku yakin laki-laki itu tak akan sudi membiarkanku masuk ke dalam dunianya.


Aku meninggalkan area bazaar setelah selesai dengan urusan pembayaran. Saat itulah kedua mata kami bertemu. Laki-laki itu berdiri di dekat pintu keluar. iPad putihnya tergenggam dengan mantap di tangan kirinya. Ada sesuatu di dalam tatapan itu yang menyihirku untuk segera menghampirinya. Tapi kakiku memilih untuk diam di tempat. Aku tahu mungkin ini terdengar konyol, tapi aku yakin jika laki-laki itu memiliki hasrat yang sama, dia akan bisa membaca pikiranku.


Aku mengirimkan telepati kepadanya. Aku ingin dia datang menghampiriku, dan mengajakku berkenalan. Atau apapun itu agar kami bisa bertukar cerita.


Aku nyaris terperanjat saat laki-laki itu mulai menggerakkan kakinya. Tidak mungkin dia benar-benar bisa membaca pikiranku. Ini pasti kebetulan belaka.


Namun tubuhnya yang tinggi, yang hanya berjarak lima centimeter dariku, dengan aroma seperti kayu hutan itu begitu nyata. Dalam sekejap saja laki-laki itu telah berdiri di hadapanku. Sorot matanya begitu mengintimidasi sekaligus membuatku terjerat. Aku gugup tapi juga tidak bisa memalingkan wajah darinya.


"Apakah kita saling mengenal?" tanya laki-laki itu. Kini sorot intimidasi itu berganti dengan tatapan bertanya. Aku terpana. Laki-laki itu berbeda dengan semua orang lain yang pernah aku kenal sebelumnya. Orang lain akan memberiku sapaan sesuai waktu dan pertanyaan klise yang sangat malas untuk aku jawab.


"Tidak. Aku baru melihatmu hari ini, di sini, saat ini," jawabku singkat. Begitu kontras dengan kata-kata yang telah tersusun rapi di dalam otak. Untuk pertama kalinya, aku tergugu di hadapan manusia lain.


"Lalu mengapa kamu sedari tadi memandangiku?"


Saat itulah aku tahu bahwa laki-laki itu tidak suka privasinya diusik. Dalam hati aku mensyukuri keputusanku untuk tak mendekatinya dan memecahkan gelembung tak kasat mata itu. Keyakinanku terbukti bahwa dia tak akan sudi membiarkanku masuk ke dalam dunianya.


"Maaf. Aku memang suka memperhatikan orang-orang di sekitarku tanpa ada maksud apa-apa. Aku tidak tahu kalau itu membuatmu risih."


Setelah mengutarakan permintaan maafku, aku beranjak pergi. Meski dia sempat membuatku terpana oleh caranya membuka pembicaraan, namun dia tak lebih seperti manusia lain yang harus segera aku lupakan sesaat setelah berjumpa atau berinteraksi dengannya. Obrolan hari ini cukuplah untuk hari ini. Besok aku harus melupakannya karena aku tidak mau lagi melibatkan manusia lain di dalam kehidupanku, betatapun kesepiannya aku.


Belum jauh aku melangkah, namun suara itu kembali terdengar. Seharusnya aku terus melangkah. Seharusnya aku mengabaikannya sebelum aku menyesalinya. Namun, hatiku memilih untuk berhenti saat laki-laki itu menyebutkan namanya.


"Namaku Sean, siapa tahu kamu penasaran."


Laki-laki itu.... benar-benar unik. Seketika aku berbalik dan tersenyum miring. Laki-laki bernama Sean itu juga tersenyum balik.


"Terima kasih atas informasinya, Sean. Meski sebenarnya aku tidak sepenasaran itu untuk tahu siapa nama kamu."


Sean tergelak. Aku kembali berbalik dan melanjutkan langkahku. Hatiku lega seolah aku baru saja memakan es krim terenak di dunia dan itu benar-benar membuatku bahagia. Aku selalu merasa seperti sedang melayang ketika sedang bahagia. Sean mengikuti dari belakang dengan senyum yang masih sama. Hari itu kami mampir di gerai es krim di lantai dua pusat perbelanjaan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menerima kehadiran manusia lain di hidupku. Tidak hanya untuk hari itu, tapi juga untuk hari-hari selanjutnya.


Aku mengingatnya sebagai laki-laki yang gemar bercerita, dan dia selalu memiliki cerita yang seru untuk didengar. Namun hatiku terlalu penuh hingga tak menyadari saat dia juga bercerita tentang cinta.