~ Pernahkah sebuah dongeng mewarnai masa kecilmu?
~ Itu ayahku. Dia membacakannya sampai aku mati bosan.
~ Ehm! Ada lagi?
~ Yah ... bermain pemainan sandiwara bersama teman-temanmu di sekolah. Mengambil undian bola atau sobekan kertas untuk satu peran acak. Menjadi tokoh utama jika beruntung dan jadilah batu jika Dewi Fortuna tidak memihakmu.
~ Bagaimana dengan jalan ceritanya?
~ Putri Tidur, si Cantik dan si Buruk Rupa, Pangeran Kodok, Putri Angsa. Ugh!
~ Ada apa?
~ Sebagian besar adalah kutukan.
~ Pfft! hahaha ... Kau benar. Begitulah aku berpikir diriku menjijikan karena telah menghargai sebuah kutukan yang dibenci sampai mati oleh protagonisnya.
"Karena aku bertemu dengan orang yang dikutuk."
Kota Z, 17 Mei 20xx ....
Kaki langit menampakkan terang. Matahari membuka matanya lebar di atas bibir gunung yang membiru meneteskan hijau. Sudut-sudut Kota Z digetarkan oleh pijakan kaki dan roda.
Pepy membuka pintu. Seabad sudah bangunan lawas itu berdiri. Terkilas siluet tumbuh kembang dirinya di tanah asing. Kurang 15 inci lagi kepalanya menyentuh ventilasi namun belum terbesit kapan menginjakkan kaki di bumi kampung halamannya Ibu Kota A. Mengetahui udara yang dihirupnya sejak lahir adalah kehidupannya lebih dari 15 tahun mendekam di perantauan.
Baru dua jengkal membuka papan jati, alih pandang Pepy terfokus pada seorang pria yang tengah duduk bagus di depan pintu teras toko bunganya. Terlalu pagi untuk seseorang hendak membeli bunga atau sekedar meminta sumbangan. Digelengkan kepalanya mencoba mengabaikan pria tersebut. Biarkan anj*ng tidur berbaring, artinya tinggalkan orang yang menimbulkan masalah di masa depan.
“Bisa kau berikan bunga untukku?” Pria yang sedari tadi menunduk meraih lengan Pepy. Rambutnya terberai menutupi alis tebalnya dengan wajah samar mulai tampak kulit yang putih pucat.
“[Saya tidak tahu jenis bunga kesukaan Anda],” jawab Pepy dengan british language-nya yang selalu dijejalkan setiap menemui orang yang mencurigakan, nyatanya ia tidak mempelajarinya secara mendalam. Pelan tapi pasti Pepy melepaskan genggaman pria aneh tersebut.
“[Well so, saya harus masuk untuk melihatnya].”
“[WHAT? NO! maksudku yes].” Pepy melengos, sekilas menatap sepasang mata biru dan wajahnya langsung dihadapkan dengan rasa malu. Pantas saja. Pepy tidak bisa berkata-kata akhirnya menggunakan bahasa pribumi untuk menyuruhnya mengambil bunga sendiri.
Sebuah ruang kecil dihiasi tampilan warna-warni pita pengikat rangkaian bunga. Lima lembar kaca besar tersusun vertikal membias cahaya redup penggertak bulir debu yang menyatu bersama udara saat dibuka korden bambu penutup jendela. Sosoknya melangkah pelan, menatap erat sebuah keranjang berisikan mawar lesu berwarna coklat yang letaknya sedikit lebih tinggi pada rak barisan keenam.
Jangan-jangan bunga yang .... Lapang pandang Pepy tertuju pada pria tadi meski bola matanya menatap sekeranjang bunga di depannya. Stay cool … pasti salah lihat. Iama Pepy memejamkan mata sampai dimantapkan hatinya melihat dengan jelas. Sempat senyap sejenak pria itu kemudian menjulurkan kedua lengannya mengarah ke atas, mencoba menggapai apa yang diinginkannya.
Pakek kursi! demi Dora dan But rasakan telepatiku, itu tepat di sampingmu. Tidak ... maksudku dia benar-benar akan mengambilnya? bunga itu? Jauh dari tujuan saat batas telunjuk jari tangannya mentok pada rak baris kelima. Membuatnya berusaha lebih keras, meluruskan telapak kaki hingga bertumpu pada ibu jari kakinya. Tidak tahan dihadapkan dengan tingkah konyol yang terlanjur dia saksikan, Pepy pun datang menghampiri. Mengangkat sebuah kursi yang tidak jauh dari tempat pria itu berdiri.
“Biar aku yang naik,” ujar pria itu saat setelah salah satu kaki Pepy mengancang-ancang. Tangannya dikibaskan tanpa memandang sebab sibuk menyisir kuat keinginan. Ujung jarinya memilah rapi hingga kelimanya menjepit erat setangkai mawar coklat dengan mahkota bunga yang masih utuh.
“Yakin?” tanya Pepy sedikit dongkol sementara membereskan bunga-bunga segar.
“[Tentu. Dan saya tidak harus memberikan kertas mahal].” Pria itu melangkahkan kakinya meninggalkan kedai berpapasan dengan seorang wanita paruh baya yang melambai-lambaikan kedua tangannya sambil berjalan mendekati Pepy.
Sosok pria misterius itu kabur setelah mengambil setangkai bunga mawar kering, meninggalkan kalimat British yang bisa Pepy pahami maknanya setelah satu menit berpikir. Pepy masih menyaring kejadian luar biasa yang baru saja terjadi sampai ia tidak sadar akan kedatangan pihak lain.
“PEPY!” seru wanita itu untuk kedua hingga ketiga kalinya sampai harus mengadukan telapak tangan.
“Lapisan ozonnya mulai tipis nih,” ujarnya selagi berusaha menarik Pepy keluar dari renungan panjang.
Pepy yang mematung oleh lamunan lalu mengedipkan kelopak matanya. “Daku salah dalam berbicara menghadapi seorang pria, sebut saja Mawar. Kemudian daku berikan ia bunga, analisaku saja atau memang nuansa romantisnya terbalik? jadi, tebalnya satu banding dua ribu lah. Soalnya kalau cuma seribu masih bisa dilihat dari lobang pipet,” cibir Pepy memalingkan wajah.
Wanita itu tersenyum karib sambil bergerak menjamah berbagai bunga di dalam ruang tersebut. Ia adalah Igy Tamara, teman lekat ibunya sebagai sesama jurnalis yang bertemu saat setelah pindah agensi. Mereka kerap keluar kota dan mampir dalam selang waktu singkat untuk menyapa.
“Di mana Ajeng Karisa?” tanya Igy sambil menyerahkan bunga pilihannya untuk dirangkai.
“Tahu sendiri sebesar apa cintanya sama yang namanya profesi. Kalau kita katakan sah di depan penghulu, cincin Saturnus dibungkus dah, bawa ke bumi.”
Jemarinya berhenti dilenggak-lenggokkan. Ia lalu memposisikan salah satu tangannya menyajikan selagi yang lainnya menengadah. Diterima empat lembar uang lima ribuan yang kemudian dilipat dan dimasukkan ke dalam kotak peduli bantuan melalui lubang yang ada di tengahnya.
“Berbicara tentang nuansa romantis ...," ucapan Igy belum selesai. Lehernya menjulur hingga wajahnya kini berada tepat di samping telinga Pepy. "Apa kabar? hubunganmu dengan dia,” bisiknya kemudian berjalan meninggalkan toko sembari melambaikan tangan.
“Biasa saja.” Lompat keluar kalimat yang telah lama karam tenggelam di dasar ingatannya sebab terpancing oleh kata: hubungan dan dia.
***
Masih di hari yang sama meski matahari menyeka pagi. Fasih menghunuskan sinar tepat di atas tower putih sampai menciptakan silau yang memantul melalui spion tiap kendaraan yang melintas.
“SHUIBIAN! (001) Masa sih cerita belum ending udah kepotong season protagonis mokad. Ratusan chapter juga sektenya nggak jadi-jadi.” Pepy kecewa dengan manhua yang sudah diikutinya sejak update yang pertama. Kemarahannya diredakan dengan menutup jendela windows tidak mengikuti prosedur umum.
Teman-temannya selalu bilang kalau Pepy itu badannya doang yang adult bak model majalah tapi kelakuannya masih toodler. Hobinya nonton anime sama baca komik genre fantasy. Kalau sudah tenggelam dalam dunia khayal bukan tambah serius, kalimat tokoh yang seharusnya dibaca dalam hati bisa menjadi skenario aksinya sendiri.
Pernah saat istirahat sekolah ia membaca seri manga yang baru dibelinya. Dua orang teman laki-laki bertengkar hebat di kelas tapi Pepy tidak memperdulikan situasi sekelilingnya. Sampai pada akhirnya dia berteriak, “KA/-ME/-HA/-ME/-HA!” Diikuti gerakan legend tokoh utama. Kelas yang dipenuhi ribut mendadak surut. Dua orang yang tadinya saling memegang kerah mulai merapikan seragam masing-masing. Pada akhirnya masalah selesai tanpa solusi. Dan sejak hari itu Pepy dijuluki David Of Mercy, layaknya utusan dewi yang turun memurnikan bumi dengan rapalannya.
"Huff ...." Dihelat nafasnya panjang sembari menempelkan pipi pada kedua lengan yang terlipat di sudut sandaran kursi. Mengarahkan pandang menembus kaca bening sambil sesekali menghitung objek yang bergerak di depan toko bunga miliknya. Ia sadar, bahwa membuka bisnisnya di Kota Z adalah pilihan yang salah. Banyak orang lebih memilih bunga imitasi dibanding bunga segar yang bisa layu dengan mudahnya setelah terkena sengatan matahari.
Tertoleh paras saat didengar ketukan sepatu yang bergerak melewati keset bertuliskan sepatah kata dalam bahasa asing di permukaan kasarnya 'Welcome'. Usaha Pepy pun terpotong dalam pengulangan angka ratusan untuk kesekian kali saat dilontarkan kata selamat datang yang mendadak keluar dari pita suaranya.
Gerak sama saat kebiasaan yang diimbuhkan senyum ramah dan kata terima kasih pada titik puncak tergeser oleh kalimat yang sejak tadi menyumbat pikirannya. Diambil sebuah ponsel dari dalam kantung celana. Hampir dua menit berlangsung ia membuka kontak nomor, ketika pergerakan jarinya hanya diusapkan naik turun pada jejeran huruf J. Tidak lama suaranya diatur dengan batuk yang dibuat-buat.
“Halo, Pepy,” suara bas seorang pria menyambutnya.
“Jun, minggu depan ada waktu buat kencan?” pinta Pepy datar sambil menatap kalender yang menempel di dinding.
“Iya, Ap ... APA?”
Suaranya pihak lain sedikit melengking mengejutkan Pepy hingga ditutup panggilannya secara spontan. Pepy gelagapan menangkap kembali pikiran yang terombang-ambing dalam ruang vakum kesadarannya. “God, kerasukan arwah leluhur mana aku barusan?”
Kuku telunjuk mengetuk meja seirama dengan detak jantungnya. Pepy tahu mereka berteman sejak kecil. Tidak banyak yang diingat, sering muncul pertengkaran yang telah direncanakannya jauh sebelum tidur. Jun yang setahun lebih tua tampak kecil dan naif sehingga mudah dirisak.
Begitulah Pepy bersandiwara sebagai saudara bawang putih yang selalu membulinya agar kebal akan bulian orang lain. Meski harus berakhir dengan tangisan keras dari Jun, beberapa nominal yang telah ia sisihkan dapat merealisasikan happy ending (kisah yang ia ciptakan sendiri). Sebuah makanan kecil yang diberikan bidadari cantik karena sudah menjadi anak yang baik sedangkan saudara tirinya harus merelakan perutnya yang mulai menggerutu.
***
Telah larut malam namun telunjuknya belum berhenti mengetuk di atas meja kamarnya meski sekarang partiturnya sedikit lebih lambat mengikuti detik jarum jam. Spontan ia gapai ponselnya setelah didengar dering nada Coconut setingan standard sound system.
Dengan logat ala cewek SIM-card bahkan tanpa melihat layar ponsel Pepy menjawab, “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah hubungi beberapa saat lagi. Sorry, the number you’re calling is not answering, please ....”
“Dimatiin beneran nih?”
Beberapa detik kosong setelah mendengar suara yang tak asing di telinga. Pepy berbinar, Jasmine yang menelpon. Sahabat tiga serangkai bersama Jun sejak kecil. Mereka jarang bertemu setelah memasuki bangku SMA, saat Jasmine pindah ke rumah pribadinya yang berada di Kota S.
Setelah lulus Jasmine menghabiskan masa liburnya beradu mulut dengan kedua orang tuanya agar bisa balik ke Kota Z melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Pada hakekatnya, Pepy lah yang menghasut Jasmine kuliah bareng biar bisa nyontek lagi. Pasalnya semenjak Jasmin pindah, Pepy harus menambal sembilan tahunnya dalam semalam karena semenjak SD ke SMP Pepy bisa lulus tanpa harus belajar sebagai cheater.
“Min, gitu aja manyun, kayak koi slayer kejebur air laut tau gak. Lanjutannya masih ada nih, please jangan dimatiin karena saya gak mau recall.”
“I ... de de, siapa yang manyun?”
“Nah, itu barusan?”
“Tau nggak betapa antiknya pulsa telepon di jaman android ini? Khusus nomor setia, lima menit bicara unlimited.”
“Makasih, sekarang gratis pas ketemu goceng.”
“Lagian awet bener, tuh ponsel dari jaman perang dunia pertama ga ganti-ganti.”
“Sudah terlanjur lulus semedi merasakan letak sembilan tombol suci. Harusnya sebelum nelpon ritual dulu pakai pinang kapur.”
“Grand Master Cultivation-nya kambuh.”
“Kurang greget, soalnya udah Sage.”
“Apapun itu, dari tadi cuma mau bilang kalo sehari sebelum daftar ulang, numpang nginap ke toko, ya. Malas ke kostan, sepi penghuni.”
“Oh tentu, tapi masalah makan sumpelin.”
“Yoi, pintu depan buka lebar. Beber karpet merah sekalian. Soalnya makanan impor dari kutub, gudangnya kapal Titanic.”
“SIPP! ntar kujejerin marching band sama cenayang. Jaga tempat biar sakral.”
Setelah tertutup panggilan telepon, Pepy berjingkrak-jingkrak tanpa haluan di atas kasurnya yang tampak bobrok, lelah menahan beban setiap kali badai bahagia menghampiri Pepy. Sudah lama sejak mereka berpisah lingkungan, sebentar lagi sahabatnya itu akan bermalam dengannya.
Diingat satu kasus yang sejak tadi siang memeras habis kelenjar adrenalinnya. Dengan tenang ia mengelus dada. Diraih pena merah melingkari kalender tujuh hari bulan Mei.
001: 隨便 Suíbiàn (terserah, dalam Cina tradisional