Ayu Pramusita: Wounded Love

Ayu Pramusita: Wounded Love

Nadya Febriani

0

"Kaum Sudra seperti kita sudah menjadi titik paling rendah buat Noesan-Taera! Apa yang Engkau harapkan, Dik?!"


Ah, persetan!


Apa katanya, tadi? Titik paling rendah?


Arah pandangku membikinnya bungkam. Membelalak, tetapi menahan sisa keberaniannya untuk terus mengawasi delikan tajam. 


"Tidak ada yang paling rendah di luasnya Noesan-Taera, daripada otakmu yang terlampau kecil nan dangkal itu!" 


Mampus, mampus saja sekalian! Aku peduli amat. Apa katanya tadi soal moral yang berlaku di kalangan masyarakat luas? Menjaga lisan untuk tidak melukai perasaan? Seberangasan apapun aku sekarang di matanya, Ardana masih tetap jadi orang bebal nan paling-paling bebal kendati hatinya yang lembek itu tersinggung. 


Namun, rupanya, sayang seribu sayang. Orang bongak tetaplah bongak, mau sepanjang apapun aku bicara, mau sampai mulutku dipenuhi oleh ludah pun dia tetaplah serupa babi tolol yang tinggal di atas lumpur hutan Noesan-Taera nan menjelma serupa manusia bergelambir di sana-sini.


Si empunya yang tersinggung, sekarang merasa pongah sekali. Kuat kelihatan oleh kening sendiri. Aku menarik simpul senyum. Tak lebih dari hal remeh-temeh, dia itu. Ketika kedua kakinya yang peris gumpalan tungkai gajah yang dipahat kini membuka, memberikan jarak yang cukup lebar dari keduanya. Aku mendesah. Ampun... Atraksi apa ini? Gajah berputar-putar? Atau babi duyung berenang sembari melompat keluar-naik laut?


Aku terbahak. Tidak tahan melihat tampang tololnya, sekaligus pikiran konyol yang datang-pergi memenuhi isi kepala.


Ardana bertubuh bongsor, terang saja kawanku yang lain membuat keributan dengan meneriaki namaku supaya mundur.


Memangnya apa yang membedakan Ardana si bodoh dan Ardana si bertubuh raksasa? Dan lagi, mereka pikir aku pengecut? Siapa takut!


Kita lihat, apa yang bisa dikendalikan otaknya dari tubuh yang bertumpuk lemak itu. 


Aku meremas tanah dengan kedua kaki, mengarahkan setiap tenaga, rahangku menegas sepanjang gertakan gigi rasanya terdengar serupa orang menggigil. Padahal cuaca sedang tidak bersuhu rendah. Matahari tengah berdiri di atas kepala, menggagahi si raja cakrawala. Seakan waktu yang pas, kondisi alam pun ikut menyemangati dengan dorongan kemarau kering, panas menyengat, kemarahan. Mendadak keadaan udara saat ini seolah jelmaan dosa buatku.


Bulir-bulir keringat menjatuhi mata. Asalnya dari puncak kening. Sekarang aku mulai menyadari hampir keseluruhan tubuh sudah diselimuti oleh peluh. Belangkon terjatuh di dasar, wdihan yang melilit hilang dijadikan pecut kawanku. Bertelanjang, rasanya dadaku persis mengeluarkan kilat tajam saja. Oh, tapi pantas saja si buntal itu ketakutan!


Tubuh Ardana yang persis membelakangi matahari, membikinku serasa dipayungi oleh tubuh berlemaknya ini. Jika saja dulu dia serupa kacung yang bersedia berdiri di belakangku buat menutupi dari terik matahari, kini berdiri dengan posisi yang masih sama, kendati dia akan jadi lawan yang paling berat kulepaskan. 


Paling berat kulepaskan? Ha! Aku tidak butuh seorang pengkhianat dalam kawanan kami. Lampaui keterbatasan rasa, dengan pikiran. Apabila Ardana menginginkan aku melupakan kisah perkawanan kami yang lalu itu, maka aku turuti. Siapa yang mengkhianati siapa? Semua terang saja salahnya. Pun, semua harus sejalan dengan apa yang kupikirkan pula. 


Ardana memasang kuda-kuda. Membikin kenyitan di dahiku tampak nyata. Untuk masalah berkelahi, aku suka berangasan, tidak punya aturan, dan tidak senang diatur. Rupanya dia mahir dalam silat. Sejak kapan? Guru mana yang bersedia menjadi instrukur orang gempal bodoh ini?


Aku masih mematung. Entah kenapa juga, padahal pikiranku semrawut menjawab pertanyaan dari benak yang ini dan yang itu. Berpikir cepat harus berupaya bagaimana agar bisa segera menonjok wajah bergelambir serupa gorila yang tengah berdiri dengan napas tersengal di depanku ini.


Rasanya telah salah langkah, Ardana maju, kedua kakinya masih terbuka dan dia bermanuver dengan canggung. Aku menahan tawa, kala pukulannya yang punya 'aturan' itu tidak sampai pada wajahku. Lengannya pendek, mungkin sebagian lemak tertarik lebih banyak buat memenuhi muka.


Namun tak kuasa untuk menahannya. Perutku geli, kala aku tergelak, terdengar kawanku yang lain ikut tertawa setelahnya. "Jangan pelit-pelit, Ardana. Lemak itu jangan Engkau penuhi di wajah saja, bagilah sedikit untuk lenganmu agar lebih panjang! Anak dara senang wajah tirus, omong-omong!" Gelak tawa semakin keras, kian datang susul-menyusul. 


Wajahnya yang ditimpa sinar matahari semakin memerah, keringat di dahi yang mengerut tidak senang, mendapatkan air muka kemarahan yang tak pernah aku saksikan sebelumnya. Ardana maju selangkah, masih mempertahankan posisi kuda-kuda. Aku? Bukan pengecut, tentu saja. Dan apa-apaan pula dengan kepalan tangannya yang bergetar itu?


Selama Ardana masih belum melepas pukulan, aku meninjunya di pipi. Orang gempal ini mengerang, hanya mundur tubuhnya itu, tidak sampai terjungkal. Aku mendesah main-main, menggoyangkan tangan kanan yang memerah akibat bersinggungan dengan lemak Ardana. 


"Kangmas! Satu lawan tiga itu tidak adil!" 


Sekarang siapa lagi? Serempak aku dan Ardana menoleh untuk si 'Pencari Perhatian'. Bintari, perempuan yang selalu memaksakan diri untuk bergabung dengan kelompokku. Padahal apa untungnya buat dia? Kami semua lelaki, anak dara lain seringkali menyeretnya untuk bermain sondah di bawah pohon beringin kendati dia selalu menolak. Alasannya tak pernah berubah, dan senantiasa sama persis begini; "Hanya aku dara yang berbeda. Aneh, ya? Aku benci sondah... Alih-alih itu, aku senang sekali mendengar obrolan kalian." Ardana, dulu, menyebutnya sebagai perempuan langka. Sedang, perempuan pencari perhatian, menurutku. Apa untungnya menolak untuk jadi perempuan, dan ingin merasa berbeda sendirian?


Tidak kuhiraukan kehadirannya yang mengacau. Aku semakin menajamkan pandangan. Baiklah, kuikuti caranya. Aku memasang kuda-kuda, sukses membikin Ardana membelalak dengan pandangan kurang percaya. Nah, apa? Sudah terkejut melihatku yang lebih tahu 'aturan' kendati aku malas mengikuti arus aturan itu sendiri?


Aku meninju pipi yang lainnya. Kali ini Ardana berhasil terjungkal ke belakang. Bobot tubuhnya yang berat, membikin anak ini tidak kunjung dapat bangkit dengan lebih cepat. Teriakan ngeri Bintari dan seruan semangat dari kawanku yang lain masuk ke dalam rungu. 


Aku tersenyum puas. Memandanginya dengan hina. Ardana pantas mendapatkan itu!


"Kangmas, Kangmas, Kangmas...!" Racauan ditambah pekikkan. Perempuan sekali. Benar-benar resek.


"Katakan pada guru silatmu, Ardana... Jangan lagi mengajarimu yang sudah bebal ini, hanya akan menjadi biang masalah untuk ke depannya. Benar, begitu? Sudahkah Engkau merasa tidak punya tujuan pun tak berguna?" 


Ardana memegangi kedua pipinya, bersimpuh di dasar dengan ringisan yang sesekali kudengar. "Aku tidak ingin melakukan ini, apa boleh buat? Kau sendiri yang memulai... Lebih-lebih menentangku adalah kesalahan. Otakmu yang selama ini aku cairkan dari kutub utara, ingatkah Engkau pada setiap waktu kala aku mengajarimu banyak hal, Ardana?


"Ah, tetapi... Rupanya, malah aku serupa melemparkan seutas tali biru ke lautan, dan menyelam hendak mencarinya lagi---mustahil, dan sia-sia... Kau memang pengecut, sudah begitu pengkhianat. Orang sepertimu tidak pantas bertindak layak kesatria yang Engkau idam-idamkan itu, telan saja segala aturan yang gurumu berikan. Berangasan bukan Engkau sekali, dasar lemah!"


Aku tidak paham di mana salahku. Sampai-sampai orang lain berani sekali ikut campur dengan urusan kami berdua. Tonjokkannya di pipi membuatku terjatuh di dasar, meringkuk, dan setelah menemukan kewarasan penuh, aku berdiri seraya memegangi pipi sebelah kanan yang rasanya panas sekali. Kuhempaskan cengkeraman lengan Bintari yang bersikap sok menjadi penolong.


"Sialan! Siapa---"


"Engkau kira dengan bersikap berangasan tanpa aturan adalah sikap kepahlawanan? Begitu cara pikirmu, rupanya, Arnawama?"


Mustahil! Guru Agung Shi...? 


Caranya yang merangkul Ardana itu....


"Anak kurang ajar tidak pantas menjadi muridku, Engkau tahu jawabannya untuk pertanyaanmu tempo lalu. Aku menolak, namun suatu saat nanti, Engkau yang akan berdiri dan menandingi Ardana! Di depan mataku sendiri."


Aku termangu. Pikiranku yang dipenuhi banyaknya gerakan untuk menyakiti Ardana, seketika meraib dalam sekejap. Kosong, persis piring kotor yang dibilas oleh air dalam satu sapuan tangan.


Guru Shi membantu Ardana bangkit, tubuhnya yang gempal masih dapat dipapah oleh Guru Shi yang terlihat ringkih. Mereka berdua memunggungiku, berjalan dan berbaur menuju keramaian dengan lalu-lalangnya orang di pasar kota.


Sejenak, kembali kutarik sisa kewarasan. Kedua tanganku mengepal kuat. Ardana... Bisa-bisanya dia mengkhianatiku pula dalam mengejar target untuk menjadi murid di Pendopo Guru Agung? Sialan, sialan, sialan, sialan! Bagaimana orang payah itu dapat mencuri kesempatanku?


"Kangmas! Tadi itu bukan Engkau sekali! Ya, ampun... Lihat aku! Pipimu memerah---"


"Minggir!" Bintari terperanjat mundur. Detik kemudian, anak dara itu terduduk jatuh di dasar tanah, jariknya kotor ketika aku tak sengaja menubruk bahunya dengan kekuatan sama besar kala masih berhadapan dengan Ardana.


"Lari dan nangis saja sana ke ibumu, Bintari!" Asani berteriak, dibubuhi dengan kikikkan geli. Aku menerima wdihan yang dimainkan olehnya, mengelap dahiku yang dipenuhi peluh sebelum ikut berbalik badan, memandangi punggung Bintari yang berlari sembari menangis, menerobos keramaian manusia sebelum tubuhnya benar-benar lenyap dimakan jauhnya pandangan. 


Aku benci perasaanku sendiri. Rasa bersalah itu nyata adanya. Agak mustahil, lebih-lebih dalam diriku? Bersalah? Ha! Seharusnya orang macam Ardana yang merasakan itu sebab telah mengkhianati kawanan kami. Apa artinya dua belas purnama menghabiskan waktu bersama-sama baginya? Seenak kening saja minggat sesudah berkhianat.


Kosong melanda. Namun mendadak rasanya berbeda. Dadaku kembang kempis dengan tempo cepat. Napasku sudah kembali seperti semula, tidak menggebu tidak pula terganggu. Jantungku serasa mencelos sekian detik setelahnya. Bayangan bahwa Ardana dan Bintari tidak akan menemui kami lagi di markas seperti hari-hari biasa, sekonyong-konyong menghantui.


Rasa bersalah itu... Haruskah kuakui bersamaan dengan perasaanku yang naksir dara tersebut? Bintari yang kubenci, namun tak kunjung pula aku tega mengusirnya selama kami membicarakan perihal rencana selama ini. []