Aku mencoba untuk menceritakan kisah ini secara sederhana, karena menurutku kejadian ini sedikit mengganggu bahkan sedikit di luar akal sehat. Aku berharap setelah menceritakan kisah ini kalian akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang kalian sayangi lewat sebuah kejadian yang tidak pernah terbayangkan dan mungkin tidak bisa kalian mimpikan.
Sejak aku kecil yang kutahu ayah memang sama sekali tidak menyukai binatang, apa pun jenisnya, apa pun bentuknya, bagaimanapun lucunya, bagaimanapun imutnya, ayah akan selalu menunjukkan wajah tegangnya, melihat dengan pandangan yang sinis dan dahi yang mengerut seakan sedang melihat sesuatu yang menjijikkan berada didekatnya. Jeritan ayah sering menggema keseluruh bagian rumah ketika melihat seekor kucing berlalu-lalang di sekitar dapur atau sedang terlelap di sofa. Ayah tak segan menendang binatang lucu ini hingga tubuh si kucing terempas ke dinding. Bahkan pernah suatu hari seekor anjing yang mungkin hanya tersesat dan tidak sengaja masuk ke halaman rumah malah menjadi bahan amarah ayah, hingga si anjing akhinya berlari dengan satu kaki yang patah karena terkena lemparan kayu dari ayah.
Ayah tidak ingin melihat satu binatang pun berjalan, merangkak, berterbangan, apalagi membuat sarang di sekitar rumah. Walaupun itu hanyalah sekumpulan semut yang sialnya harus mati karena guyuran racun yang sengaja ayah beli untuk menghancurkan sarang mereka. Sebuah senapan angin bahkan selalu berada di meja kamarnya. Dia membelinya terkhusus untuk memusnahkan beberapa burung yang hanya menumpang hinggap di sekitar pepohonan rumah. Mereka hanya beristirahat, terlalu lelah mengepakkan sayap karena menempuh jarak yang jauh untuk mencari makanan. Namun ayah malah berpikir mereka dapat merusak pohon di sekitar rumah atau bahkan kotoran burung-burung itu dapat mengotori halaman depan rumah, dan akhirnya mereka juga harus mati dengan tembakan tepat dibagian kepala. Ayahku si penembak jitu tahu bagaimana membunuh dengan sekali tembakan, itu yang sering kudengar dari teman-temannya.
Ayah juga benci suara-suara mereka, ketenangannya terusik jika suara-suara itu muncul saat ia tengah beristirahat. Bahkan, suara jangkrik dan katak yang memang sudah menjadi suara alami di tengah malam rela ia kaburkan dengan lagu-lagu romantis favoritnya.
Sikap ayah terhadap binatang berbanding terbalik dengan ibu, ibu memiliki sifat yang sangat berlawanan dengan sifat bengis ayah terhadap binatang. Ibu pernah diam-diam memelihara seekor kelinci di halaman belakang rumah, namun sayangnya harus mati dengan kepala terpenggal karena puncak emosi ayah yang mengetahui perbuatan ibu. Ibu tidak bisa berbuat apa pun, ibu lebih memilih taat daripada harus bertengkar dengan suami hanya karena seekor binatang peliharaan. Ibu adalah seorang istri yang penurut, namun ibu tetaplah seorang penyayang bianatang. Suatu hari ibu menyembunyikan 2 anak kucing yang dididapatinya ketika pulang dari pasar, di dalam gudang. Saat ayah tidak di rumah ibu dengan penuh senyuman bermain dengan kucing kesayangannya itu. Aku mencoba mengingatkan ibu tentang akhir hidup kelincinya yang dahulu, tapi ibu tetap kerasan ingin memelihara kucing-kucing ini dan merasa yakin bahwa ayah tidak akan menemukan mereka di dalam sini. Gudang kami memang sangat jauh letaknya dari rumah kami, jadi ibu merasa 2 anak kucing ini aman jika berada di sini.
Aku tidak seberani ibu, aku bahkan tidak pernah berniat untuk membawa binatang apa pun kerumah ini. Karena bagaimanapun aku menyukai seekor binatang, jika aku membawanya kerumah ini, itu berarti aku siap melihat binatang-binatang itu tewas di tangan ayah. Namun, suatu hari saat aku berjalan pulang dari sekolah melewati jalan setapak dengan pepohonan besar yang berada disisi kiri dan kanan, aku melihat seekor burung gagak tergeletak di tanah dengan sayap yang terluka bekas tembakan. Saat itu aku sedikit merasa aneh ketika melihat mata sebelah kanan gagak itu berwarna merah menyala, terlihat langka dan unik. Tanpa berpikir panjang aku langsung membawanya pulang ke rumah dan membuatkan sebuah kandang di gudang yang sama dengan kucing peliharaan ibu, lalu mengobatinya hingga ia bisa terbang kembali.
Gagak ini terlihat aneh, tubuhnya hitam legam, dada yang sedikit membusung, mata kanan yang merah dan lebih anehnya dia tidak pernah mengeluarkan suara sedikit pun, dia begitu tenang bahkan saat aku sedang mengobatinya. Awalnya ada rasa takut di hatiku, bila gagak ini berkoak sekali saja ayah pasti mendengarnya dan pasti menemukannya, lalu bisa saja membunuhnya. Tapi keunikan mata gagak ini membuatku sangat ingin memeliharanya.
Kebencian ayah pada binatang bukan muncul begitu saja, ia bukan pembenci sebelumnya, ia bukan seorang pemusnah binatang sebelumnya. Karena saat dia kecil ternyata ayah adalah seorang pecinta anjing. Teman-teman kecilnya bahkan tidak percaya saat aku dan ibuku menceritakan kekejaman ayah pada semua binatang sekecil apa pun atau sejinak apa pun itu. Terlihat sebagian dari mereka mengerutkan dahi, sebagian menggelengkan kepala tidak percaya, juga terdengar suara memencak dari salah satu mulut temannya. Mereka bahkan bercerita bahwa ayah pernah menyelamatkan seekor anjing yang tenggelam di sungai, hingga nyawa ayah juga hampir tidak terselamatkan saat kecil dulu. Aku seakan tidak percaya, membayangkan bagaimana ayah yang sangat tidak menyukai binatang bahkan bisa bertindak kejam bila makhluk itu berada di dekat kakinya ternyata adalah seorang yang berani mati untuk menyelamatkan seekor binatang.
Aku teringat dengan anjing yang tersesat dan hampir mati di tangan ayah kemarin, ia berlari dengan 3 kaki. Ayah bahkan tersenyum saat melakukannya, aku bisa menjulukinya seorang psikopat, kecenderungannya untuk menyiksa hewan itu di luar akal sehat. Aku bisa saja melaporkan ayahku pada komunitas pecinta binatang, tapi dia ayahku, bagaimanapun juga dia yang membesarkanku dan tidak mungkin aku membalas pengorbanannya dengan sebuah kurungan.
Di suatu malam, ayah pulang dengan wajah yang sangat lusuh dan memerah, kemeja yang ia pakai dengan rapi saat pergi bekerja, terlihat berantakan. Aku dan ibu tidak berani bertanya apa pun padanya. Seperti biasa ibu hanya menyiapkan kopi dan makanan untuk ayah lalu kembali berjalan ke dapur, sedangka aku yang duduk di meja makan terus memerhatikan ayah karena khawatir telah terjadi sesuatu padanya. Ayah hanya diam tidak berkata apa pun sampai keesokan paginya ibu masuk ke dalam kamarku dan mengatakan bahwa ayah dipecat dari kantornya. Pantas saja aku melihat ayah hanya terdiam merenung di teras rumah tidak seperti biasanya yang selalu terlihat sibuk untuk pergi bekerja.
Tidak terpengaruh dengan keadaan ayah sekarang, ibu malah berbisik padaku dan mengatakan bahwa ayah percaya bila ada binatang berada di dalam rumah, itu adalah kesialan baginya.
“Jika Ayah menemukan kucing Ibu dan gagakmu berada di dalam gudang, dia pasti membunuh mereka, bahkan bisa saja membunuh kita. Apalagi ayah sedang dalam suasana yang tidak baik, ia pasti akan langsung percaya dengan takhayul tersebut,” kata Ibu dengan wajah yang terlihat sangat khawatir.
Aku yang juga sedikit takut mencoba untuk menenangkan ibu. Aku yakin ayah tidak akan menemukan binatang peliharaan kami, karena gudang itu tidak pernah ayah sentuh selama ini. Jika pun dia membutuhkan sesuatu yang berada di dalam sana, dia hanya akan memanggilku dan memintaku mencarinya. Binatang peliharaan kita juga tidak bersuara, kucing ibu juga masih teralu kecil untuk mengeluarkan suara yang sangat besar hingga terdengar sampai ke dalam rumah, dan gagakku juga tidak pernah mengeluarkan suaranya sedikit pun selama berada di sini.
Namun sialnya, kelegaan kami tidak berlangsung lama, 2 hari kemudian secara mengejutkan gagakku tiba-tiba berkoak dengan sangat kuat sore hari. Aku yang panik langsung berlari menuju gudang karena takut ayah mendengar suaranya. Saat aku mendekati gudang, aku melihat pintunya sudah terbuka, dengan langkah yang pelan dan tak bersuara aku mencoba bersembunyi di balik koper bekas dan kotak-kotak perlengkapan.
Saat tengah bersembunyi, aku terkejut ketika melihat 2 ekor kucing peliharaan ibu mati dengan mulut yang berbusa, bangkai tubuhnya juga tergeletak begitu saja, aku yakin ayah meracuni mereka. Namun yang paling mengejutkan adalah aku melihat ayah sedang mencengkeram sayap gagak peliharaanku dengan wajah penuh amarah. Air matanya pun terlihat menetes, aku juga mendengar gagak itu terus berkoak dengan sangat keras, gagak itu sangat tersiksa. Ayah kemudian melepaskan cengkeraman di sayap gagak itu dan kemudian beralih mencegkeram lehernya.
Suara gagak itu terdengar semakin membesar, dia seakan menjerit kesakitan, aku tersentak saat ayah kemudian mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Dengan perlahan ayah mendekatkan pisau ke wajah gagak itu dan secara mengejutkan mencongkel keluar matanya. Seketika itu aku menjerit, dan menangis sejadi-jadinya. Ayah terkejut dan hanya terdiam kemudian tersenyum. Dengan penuh air mata aku berlari keluar dari gudang dan ayah mencobaa mengejarku. Namun suatu keanehan terjadi, terdengar suara gemuruh dari belakang halaman rumah. Saat aku berbalik, terlihat sebuah ombak raksasa berwarna hitam di atas langit sore dan bergerak mendekati rumah.
Aku sempat berpikir itu adalah sebuah awan badai karena bentuknya yang sangat besar dan menggumpal, tapi lama kelamaan sesuatu yang aneh itu semakin mendekat hingga langit disekeliling rumah kami terlihat seakan mendung dan gelap.
Aku seketika itu sadar sesuatu yang mendekat itu bukanlah sebuah awan badai, karena suara khas muncul dari benda itu. Sekilas aku teringat bahwa gagak yang ayah bunuh tadi bukan berkoak karena kesakitan, tapi dia berkoak dengan begitu keras untuk memanggil teman-temannya. Dan sekarang, aku melihat segerombolan gagak-gagak hitam terbang dengan kecepatan yang sangat tinggi dan mulai menyerang rumah kami.
Gagak-gagak ini seakan siap untuk mati, mereka langsung menyambar pintu dan jendela tanpa memperlambat kecepatan terbangnya sedikit pun. Terlihat seperti kumpulan meteor yang tengah jatuh di bumi dan ingin memusnahkan seluruh manusia. Tidak terhitung banyaknya gagak di atas sana. Dengan wajah panik, ayah menjerit dan memintaku masuk ke dalam kamar, kemudian ayah langsung berlari mengambil senapan angin di dalam kamarnya.
Aku melihat ibu memeluk ayah dan coba menenangkannya agar tidak keluar rumah, namun kemarahan ayah pada binatang itu sudah diujung tanduk. Dengan wajah yang mulai memerah, ayah kemudian keluar dari rumah. Saat itu aku seperti tengah menyaksikan seorang manusia sedang melawan sebuah badai besar, manusia yang seakan sedang menunggu kematiannya. Aku menjerit dan memohon kepada ayah untuk kembali ke dalam rumah, tapi ayah tak bergeming. Hingga kemudian terdengar sebuah letusan yang mengejutkanku. Ayah menembaki gagak-gagak itu secara membabi buta, terlihat 4-5 gagak terhempas ke tanah, tapi sialnya kumpulan gagak itu terlalu banyak untuk bisa ayah musnahkan.
Gagak-gagak itu kemudian menjadi sangat buas melebihi kebuasan seekor raja hutan. Mereka mulai menyerang ayah dengan paruh dan cakarnya. Aku menangis dan mencoba keluar untuk menolong ayah, namun ibu berhasil menangkap tanganku kemudian memelukku. Aku melihat ayah tengah panik saat mulai meraba sakunya karena hampir kehabisan peluru, aku kemudian berlari ke tempat penyimpanan untuk mengambil beberapa peluru yang tersisa. Namun sialnya, aku melihat gagak-gagak itu sudah menyelimuti tubuh besar ayah, sebagian dari gagak-gagak itu juga mencoba menyerang kami. Tapi kami beruntung kaca jendela kamar masih terlalu kuat untuk mereka hancurkan.
Dari balik jendela kamar aku sama sekali tidak bisa melihat tubuh ayah, yang terlihat hanyalah kerumunan gagak hitam yang sedang menyerang mangsanya. Aku mendengar tangisan sendu ibu, dia memelukku, tangan kanannya mencoba menutup mataku. Tapi dari sedikit celah jarinya, aku masih dapat melihat kejadian mengerikan itu. Seekor gagak besar dan bermata merah tiba-tiba muncul dan mendekati jendela kamar kami, aku melihat matanya yang berwarna merah menatap tajam ke arahku. Gagak itu terlihat terbang rendah sambil membawa sesuatu diparuhnya, kemudian meletakkanya tepat di depan jendela.
Aku tidak dapat melihat dengan jelas benda apa yang dibawa burung gagak itu. Kulepaskan pelukan ibu dan mulai berjalan ke arah jendela. Saat itu terlihat sebuah benda bulat yang diselimuti cairan berwarna merah, seketika air mataku mulai mengalir, kakiku mulai melemah, dan aku terduduk begitu saja. Aku sadar saat itu yang kulihat adalah sebuah bola mata. Jantungku berdetak tak keruan, air mataku tak habisnya berhenti, tubuhku mulai gemetar, suara tangisku membuat ibu semakin menguatkan pelukannya. Gagak-gagak itu sedang memangsa ayahku, mereka sedang mencabik tubuh ayahku tanpa rasa kasihan, mereka seakan sudah menyimpan dendam lama, dan melampiaskannya saat itu juga.
Hampir 10 menit mereka menyelimuti tubuh ayahku. Saat gagak-gagak itu mulai berhamburan dan menjauh, aku merasa waktu seakan melambat, ibu berlari keluar rumah dengan wajah yang basah karena air mata lalu menjerit memintaku mencari bantuan. Aku yang tengah dalam keadaan syok mencoba bangkit dengan tubuh yang lemah dan bergetar. Sekilas aku memandang tubuh ayah yang sudah tak berbentuk, tak ada lagi kulit yang menyelimuti tubuhnya yang kekar, hanya tulang dan daging yang terlihat dari pandangan mataku. Wajahnya tak dapat kukenali, gagak-gagak itu meninggalkan ayahku seperti bangkai setelah dengan buas mencabiknya.
Tubuhku semakin terasa dingin, telapak tanganku memucat. Kemudian terdengar suara keributan dari luar rumah, semua warga telah berkumpul, sedangkan aku tak sanggup bergerak dan jatuh tak berdaya.
***
TEMAN AYAH,
“Dulu ayahmu adalah seorang pecinta binatang, tidak peduli apa pun binatang yang dia jumpai di tengah jalan saat pulang sekolah, dia akan membawanya pulang ke rumah. Seekor gagak, anjing, kucing, katak, kelinci, apa pun itu dia akan tersenyum saat melihatnya, bahkan dia pernah membawa pulang seekor kucing peliharaan orang lain hingga dituduh mencuri. Namun Kakekmu sama sifatnya dengan ayahmu yang sekarang. Dia sangat membenci saat putranya membawa binatang pulang ke rumah. Dia juga tidak segan melempar binatang-binatang itu keluar jika melihatnya berkeliaran di dalam rumah.”
“Ada alasan kenapa kakekmu membenci mereka. Karena dia orang tua yang sedang sakit-sakitan dan butuh istirahat serta ketenangan. Suara-suara bising dari hewan-hewan itu membuatnya kesal, apalagi hewan itu terkadang masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kotoran dengan bau yang sangat menyengat. Kakekmu dan ayahmu hanya tinggal berdua di rumah itu karena nenekmu sudah meninggal saat ayahmu masih duduk di Sekolah Menengah Pertama.
“Jadi saat ayahmu berbuat kesalahan hanya kakekmu yang bisa mengatasinya. Kadang kala aku menawarkan diri untuk menampung hewan peliharaan ayahmu di halaman belakang rumahku, tapi dia tetap bersikeras membuat kandang untuk peliharaannya di belakang rumahnya sendiri. Tidak terhitung berapa banyak hewan yang dia bawa ke rumah, bahkan dia tidak terlalu peduli saat hewan-hewan itu saling memangsa satu sama lain. Jika salah satu hewan mati dia hanya akan menguburnya dan mencari lagi di luar sana. Saat itu aku sadar ayahmu punya kecenderungan, jika ia menyukai sesuatu dia akan tergila-gila dengan hal itu dan jika ia membenci sesuatu dia mungkin akan memusnahkannya. “
“Suatu hari kakekmu yang penyakitnya semakin parah harus rela ditinggalkan oleh ayahmu untuk mencari pekerjaan keluar kota setelah lulus SMA, dan dia juga harus meninggalkan hewan peliharaannya bersama kakekmu di rumah. Setelah hampir 2 minggu meninggalkan rumah, ayahmu pulang dengan bahagia karena telah diterima oleh salah satu perusahaan besar di luar kota.”
“Namun sialnya sesuatu terjadi saat ayahmu baru menginjakkan kaki ke dalam rumah. Dia mencium bau busuk yang entah dari mana asalnya, sempat terpikir olehnya semua binatang peliharaan mati karena tidak diberi makan atau malah mungkin dibunuh oleh kakekmu. Dengan panik dia berlari menuju halaman belakang rumah, ia terkejut melihat semua anjing dan kucing peliharaanya menghilang dan kedua kandangnya telah terbuka. Kemudian dia langsung berlari mencari kakekmu ke dalam kamar, di sinilah awal mula kebencian itu muncul, betapa terkejutnya dia melihat hal yang sangat mengerikan di sana.”
“Dia melihat semua binatang peliharaannya sedang mengerumuni seonggok tubuh yang tergeletak di lantai kamar. Bau busuk menyengat keluar dari tubuh itu, dan gempuran lalat-lalat hijau mengelilinginya. Tubuh itu robek seperti dimangsa binatang buas, tulang belulang dan daging yang telah busuk juga terlihat oleh kedua matanya yang mulai basah. Dia secara perlahan melihat wajah si mayat berharap pemilik tubuh itu adalah seseorang yang tidak dia kenal. Tapi wajah itu sudah tidak terbentuk lagi, dan tidak lagi terlihat seperti wajah seseorang.”
“Seketika dia menangis sangat keras ketika melihat seekor gagak kesayangannya mematuk perut kakekmu dengan sangat buas, gagak itu dengan mudahnya merobek isi perut kakekmu. Namun yang juga sangat menyakitinya adalah dia melihat anjing dan kucing peliharaannya juga muncul dengan bulu dan tubuh penuh darah. Seekor anjing terlihat sedang menjilati seonggok tangan yang masih terpasang jam analog milik kakekmu, lalu menggunakan gigi tajamnya membawa sisa tulang dari tangan itu menuju ke samping kaki ayahmu.”
***