Misha menatap pantulan diri sendiri yang berbalutkan gaun putih salju, berenda bunga bertabur permata. Kepalanya sendiri berhiaskan makhota dengan tudung kelambu yang menutupi.
Ia akan mengejutkan sang calon suami dengan tampilannya yang memukau. Meski pada hari biasa Misha tak kalah bersinar, tapi malam ini, ia akan lebih dan lebih dalam membuat pujaan hati terpesona.
"Bagaimana perasaanmu?"
Penata rias yang telah mengubahnya jadi begitu cantik bertanya. Senyum puas tampak di wajahnya begitu melihat hasil karya yang begitu mempesona.
"Haruskah kau menanyakan itu?" Misha menjawab dengan rasa malu, tapi disaat bersamaan benar-benar bahagia. "Sulit mendefinisikannya, itu ... Luar biasa."
Ia telah menantikan moment ini sepanjang waktu, sejak ketika melihat sang paman mempersunting pujaan hati beberapa tahun lalu.
Misha terlalu kecil untuk memahami makna dari pernikahan waktu itu. Namun wajah bahagia seperti mekar bunga yang tampak jelas di wajah kedua mempelai membuatnya tanpa sadar ingin merasakannya juga.
"Aku yakin sang pengantin pria tidak akan bernapas dengan benar begitu melihat anda."
Sang penata rias tidak bermaksud melebih-lebihkan, tapi aura yang di pancarkan sang pengantin perempuan sangat mengagumkan. Misha seperti angsa cantik dari kayangan dengan bulu-bulu putih lembut.
"Anda bisa saja." Tanpa mengurangi senyuman yang terukir, ia terus mengagumi pantulan dirinya sendiri.
Bertanya-tanya apakah itu benar dirinya? Perempuan dalam cermin sangat memukau, sulit di percaya itu manusia, lebih-lebih dirinya sendiri.
"Kuharap aku tidak membuat masalah dengan ekor cantik ini." Ia mencoba berkelakar dengan ujung gaun yang menjuntai hingga ke pintu.
"Anda tidak akan, nona." Sang penata rias menanggapi dengan tawa kecil yang begitu riang. Tampaknya kebahagiaan di wajah sang pengantin telah menular kepadanya.
"Baiklah, saya akan memangil keluarga anda untuk sesi foto."
Melirik dengan senyum antusias, Misha mengangguk riang, menyatukan tangan di depan dada. Ia bisa merasakan banjir keringat di punggungnya yang tertutup kain, tapi bahkan hal remeh itu membuatnya bahagia.
Itu adalah bagian dari perjalanan yang mendebarkan. Senyumnya semakin mengembang melihat para anggota keluarganya masuk.
Wajah-wajah mereka yang dipenuhi rona terkejut hingga beberapa bahkan menganga membuatnya semakin melambung.
Apakah ia pantas mendapatkan reaksi seperti itu?
"Oh, sayangku." Sang Tante dari pihak ibu segera memenuhi dirinya dengan pelukan hangat. "Apa kau benar-benar gadis nakal yang kemarin terus mengganggu dan merengek padaku soal kue kukis?"
Binar matanya menunjukkan kekaguman yang berlebihan dan Misha tak kuasa menahan letupan gelembung bahagia lagi.
"Aku juga tidak percaya Tante, percayalah."
"Bagaimana kalau kau membatalkan dengan bajingan itu dan biarkan aku saja yang mengambilmu sebagai pasangan hidup?"
Sepupunya yang malam ini cantik dengan gaun merah cerah berdada renda bertanya dengan senyum jahil. Ia lantas mendekat, berputar-putar di sekitarnya.
"Itu akan jadi perang dunia ke empat kau tahu." Sang Tante menimpali, berdiri di sisinya saat fotografer muncul.
"Apakah sesi fotonya sudah bisa dimulai?" Pakaiannya sederhana tapi ia juga tak bisa menyembunyikan keterpesonaan atas kecantikan sang calon pengantin.
"Ya, tentu saja. Mari."
Dengan sang Tante dan sepupu yang mengapitnya di kedua sisi. Misha tersenyum lembut ke kamera.
Satu jepretan terdengar dan mereka berganti gaya yang berbeda. Cukup lama sesi itu dilakoninya hingga lagi-lagi ia ditinggalkan sendiri.
Dalam kesendirian, Misha banyak berpikir dan menguatkan diri. Kepalanya yang dipenuhi berbagai kekhawatiran akan kemungkinan kesalahan selama prosesi pernikahan, tapi semua segera di dorong ke pergi ke tepi.
Ia sudah menjalani latihan berkali-kali sebelumnya dan semua lancar. Kali ini, ia yakin ia bisa melakukannya dengan lancar.
Kau pasti bisa, Misha tersenyum pada diri sendiri.
Senyumnya semakin lebar saat menangkap seseorang yang ia tunggu sejak tadi. Seseorang yang akan menemaninya berjalan di altar, sang ayah.
"Papa." Ia berbalik hendak bertanya mengenai sang calon suami, tapi ekpresi sang ayah yang jauh dari harapan secara bertahap melunturkan senyumnya.
Ada yang salah. Itulah kesan yang Misha tangkap.
"Ada apa papa? Apa terjadi sesuatu?"
Ia bertanya hati-hati sambil memikirkan berbagai kemungkinan buruk.
"Sayangku," ayahnya meletakkan telapak tangan di bahu dengan lembut, tampak sangat berhati-hati. "Papa ingin kau mendengarkan tanpa merasa panik dulu."
Pria paruh baya yang sebagian rambutnya telah berwarna putih itu, mengambil napas dalam. Ekpresinya sangat hati-hati ketika membuka bibir.
"Sesuatu telah terjadi dan saat ini sedang ditangani."
Wajah yang secerah sinar matahari tadi segera ditaburi debu gelap badai. Senyum Misha pun menghilang seiring pikirannya dibanjiri bayangan buruk.
"Apa maksudmu pa?"
Ia masih bisa mengendalikan diri, mempertahankan wajah normal yang tak begitu berhasil.
Misha mulai menerka berbagai kemungkinan yang ada seperti ; kekasihnya mengalami kecelakaan dan pernikahan harus di tunda atau ada yang tiba-tiba datang merusak acara?
"Sayang ..." Wajah sang ayah dipenuhi guratan gelap yang mana semakin memperburuk pikirannya. "Calon suamimu ... Dia memutuskan untuk tidak datang."
Hening!
Wajahnya masih sama, dalam diam menunggu seseorang akan datang dari pintu lalu berkata ; April mop atau semacamnya.
Itu lelucon buruk tapi jika diniatkan untuk membuat tegang sangat berhasil. Namun ketika beberapa menit ekpresi ayahnya tak kunjung berubah.
Misha mulai menggeleng.
"Papa ..." Suaranya sedikit bergetar tapi senyumnya tidak sepenuhnya menghilang. "Itu tidak mungkin, dialah yang memilih tanggal ini. Bagaimana mungkin ia membatalkannya begitu saja."
Hubungan keduanya baik-baik saja selama ini, nyaris terlalu mulus. Mereka saling mencintai dan telah mengukir banyak memori manis. Jadi bagaimana bisa tiba-tiba batal?
"Tapi itu benar-benar terjadi. Bajingan itu telah membatalkannya."
"Mungkin ia hanya ingin mengerjai, dia akan datang ayah. Kita tunggu sebentar lagi."
Misha percaya pada sang kekasih, pada ketulusan cinta mereka, pada kekuatan ikatan mereka. Tak mungkin putus begitu saja, sangat tidak masuk akal.
"Papa, itu hanya lelucon. Dia memang suka membuat hal semacam ini pada perayaan besar."
Itu adalah sala satu daya tarik sang pujaan hati. Pria itu suka membuat kejutan yang meresahkan tapi ia selalu menepati janji.
"Keluarganya sudah menghubungi dan pria itu tak ada. Mereka sedang mencarinya tapi ... Dia sudah pergi ke luar negeri."
Ke luar negeri? Kekasihnya? Pergi? Misha tak bisa mempercayainya, itu benar-benar tak masuk akal.
Mereka sudah merencanakan ini dengan matang, bagaimana tiba-tiba batal? Lebih-lebih beberapa jam sebelum acara utama?
Tiba-tiba sebuah ingatan beberapa hari lalu melintas. Itu terjadi saat ia sedang memilih gaun pengantin. Kekasihnya memang terlihat gusar dan sibuk, tapi ia pikir itu karena kegugupan semata.
Namun siapa yang mengira bahwa saat itu ia sedang merencanakan pelarian.
"Tidak mungkin ..." Tubuhnya goyah dan nyaris jatuh jika sang ayah tak cukup cepat menahannya.
TBC.