Musik campursarian menemani Adhit dan Anitha minum kopi di halaman samping warung kecilnya di Surabaya.
Kalau kalian sudah membaca Wiloka, kalian pasti paham kan, warung milik Adhit di Surabaya memang imut dengan omset yang jauh dari imut. Penghasilan dari warung ini berkali kali lipat lebih banyak daripada menjadi akunting di perusahaan swasta beken tempat Adhit bekerja sejak lulus kuliah.
Dan halaman kecil yang biasanya dipakai parkir sepeda motor karyawannya ini, malam ini, menjadi saksi betapa Adhit dan Anitha harus menjalani ujian pertama, dalam pernikahan 'kedua' yang baru juga berlangsung sekitar 1 bulanan.
Anitha perlahan menurunkan ponselnya, ditaruh meja dengan tenang, meski sorot matanya jauh dari tenang. Adhit menunggu, berusaha sabar menunggu Anitha bercerita, siapa yang meneleponnya malam ini, dan ada apa, sehingga ekspresinya yang tadinya lumayan ceria, menjadi datar.
"Mas, temanku telepon, bilang aku keterima PTT. Dan 3 hari lagi aku harus ke dinkes propinsi untuk mengurus ini itu, ambil tiket, dan beberapa hal yang harus aku siapkan. Lalu 5 hari lagi, aku harus berangkat."
Ceritanya perlahan, dengan tampang datar. Jadi inget 'Shintya'. Tapi tunggu, Adhit mendadak bingung, ini istilah baru. PTT? Berangkat?
"Gimana? Maaf mas nggak paham."
Anitha sejenak menunduk, lalu kembali mengangkat wajahnya, tapi matanya menghindar dari tatapan Adhit.
"Aku keterima PTT, mas. Di Kalimantan Timur."
Astaga!
"Tapi, maaf, kapan Anitha cerita? Mmm, maksudku, untuk urusan seperti ini, apa nggak lebih enak kita bicarakan dulu?" tanya Adhit hati-hati, meski dalam hati sudah agak-agak gimana gitu.
Anitha meminum kopinya pelan-pelan. Menghirup aromanya sebisa mungkin. Kalimat Adhit barusan sedikit menohoknya.
"Aku daftarnya, sekitar 1 mingguan setelah bubar sama Andi. Itu sekitar 2 mingguan setelah mas anter aku kembali kerumah."
Wah sudah lama, setengah tahunan lalu berarti. Jadi bukan Anitha yang seenaknya memutuskan sesuatu tanpa diskusi dulu dengan suaminya.
Tunggu, tunggu... Jadi hanya seminggu dirumah dan mereka sudah bubar? Sungguh konyol juga, Adhit berlari dari Anitha karena Adhit tahunya mereka masih dalam posisi bertunangan, tapi ternyata mereka bubar hanya seminggu setelah Adhit memulangkannya.
"Apa nggak bisa cancel, Yang?"
Kalau ingat jaman Adhit masih bersama Shintya, bisa-bisa meja pun ketawa ngakak dengar Adhit bilang 'Yang', atau ' Sayang'. Kenapa? Ah kalian baca saja Wiloka, biar tahu seperti apa Adhit dulu.
Anitha menggeleng pelan. "Mana bisa semudah itu mas, ini PTT Pusat. Aku daftarnya di kemenkes. Waktu itu malah sama teman teman langsung ke rasuna said sana."
Baiklah, kemenkes Adhit masih paham, itu kementerian kesehatan. Kalau PTT itu apa?
"Sayang, bisa coba jelaskan pelan-pelan ke mas, apa itu PTT, sama gimana maksudnya. Mas beneran nggak paham, terus kenapa bisa di Kaltim, kenapa tidak di Surabaya gitu."
Anitha menghela napas panjang.
"PTT itu pegawai tidak tetap mas, ini salah satu upaya Kementerian Kesehatan dalam pemenuhan tenaga kesehatan, khususnya di daerah terpencil dan sangat terpencil."
Adhit sudah berusaha sok tenang, tapi mendengar kata terpencil dan sangat terpencil barusan sungguh membuat Adhit, yang baru saja berurusan dengan dunia kesehatan, semakin lemas. Dengan definisi barusan, pantas saja tidak bisa di Surabaya. Adhit ingin menangis dalam hati. Nasib, pengantin baru sudah kudu ditinggal, kalau perjalanan cintanya mulus-mulus saja, mungkin Adhit nggak segininya juga. Tapi, ah sudahlah.
"Berapa lama?"
"Minimal 1 tahun, boleh perpanjang kalau bersedia."
"Diperpendek nggak bisa?"
Anitha meliriknya sewot, Adhit nyengir. Ya, harusnya Adhit siap dengan risiko seperti ini. Dia menikah dengan seorang tenaga kesehatan, plus orangnya agak nyeleneh.
"Kalau terpencil, satu tahun masa pengabdiannya mas, kalau sangat terpencil atau daerah konflik, 6 bulan. Dan aku dulu daftar yang terpencil."
Bagus, satu tahun! Keluh Adhit dalam hati.
Apa saja yang bisa terjadi dalam satu tahun kelak? Adhit harus mulai memitigasi risiko apa saja yang bisa terjadi pada rumah tangga mereka yang amat sangat baru ini bukan?
Note:
Mitigasi risiko adalah serangkaian tindakan yang diambil untuk mengurangi dampak negatif atau kemungkinan terjadinya risiko. Tujuan dari mitigasi risiko adalah untuk melindungi dari kemungkinan kerugian atau gangguan yang dapat terjadi.
Memang, mitigasi risiko tidak bisa sepenuhnya menghilangkan risiko, tetapi dapat mengurangi kemungkinan terjadinya dan/atau dampak yang ditimbulkan oleh risiko tersebut.
Adhit terbiasa bekerja dalam perusahaan swasta yang menuntut "kesempurnaan", juga bisnis yang dia jalankan diluar pekerjaannya sebagai akunting. Sehingga dia terbiasa melakukan analisa risiko terhadap hal-hal yang akan dia jalankan.
Tapi nggak nyangka juga, kebiasaan itu terbawa juga sampai ke rumah tangga. Tapi itupun karena dia khawatir karena harus tinggal dengan jarak yang demikian jauhnya. Surabaya, dan Kutai Barat. Apalagi di tahun-tahun itu, internet belumlah semudah saat ini.