Asa Yang Terbenam

Asa Yang Terbenam

Aza Felina

0

TW : Negative Thoughts


"Bang Rizal! Akhirnya aku ketemu juga sama abang setelah pencarian selama 5 tahun ini!" jeritku tak menyangka.


Aku tanpa sadar mengalungkan kedua tanganku di lehernya dan tersenyum lebar. Tak memperdulikan tatapan-tatapan aneh yang orang lontarkan padaku. Ah, hari ini benar-benar luar biasa! Aku bisa mengikuti lomba sampai selesai, dan menemui Bang Rizal?


Ya, memang kebetulan, saat ini di alun-alun kota sedang diadakan lomba melukis. Aku, Natya, adalah salah seorang dari pesertanya. Setelah pengumuman hasil lomba tadi, aku dinyatakan berada dalam posisi juara harapan satu dan diberi hadiah berupa uang sebesar 250 ribu rupiah.


Menakjubkan bukan? Meskipun terbilang sedikit, namun aku tetap mensyukurinya karena setidaknya perjuanganku terbayar dan aku bisa mengikuti lomba tanpa adanya gangguan atau halangan sejauh ini. Dan di sini, aku bertemu dengan Bang Rizal yang sudah bertahun-tahun lamanya kucari keberadaannya? Sumpah, hari ini benar-benar hari yang bersejarah untukku!


"Ehm ... maaf, kamu siapa ya?" tanya Bang Rizal dengan ekspresi bingung.


Eh ...


Apa?


Bang Rizal ... tak mengingatku?


Aku yang terkejut mematung di tempat cukup lama. Sepasang bola mataku menatap Bang Rizal tak percaya. Sial. Apa yang sudah terjadi pada Bang Rizal sampai-sampai ia melupakanku seperti ini?


Tanpa kusadari, aku sudah melepaskan tanganku dari lehernya dan berjalan mundur beberapa langkah. Sialan. Kenapa tubuhku tiba-tiba gemetaran seperti ini? Jangan kambuh sekarang! Kumohon jangan sekarang!


"B–Bang Rizal ... nggak inget aku siapa?" tanyaku sembari menunjuk diriku sendiri. Yang kemudian hanya dijawab olehnya dengan sebuah gelengan kepala.


Aku ingin sekali bisa mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bang Rizal itu dan bertingkah seperti saat aku biasa berbicara dengan Bang Rizal. Aku ingin berpikir bahwa mungkin Bang Rizal hanya bercanda, atau ia hanya sedang mengujiku. Sehingga aku bisa dengan santai mengesampingkan rasa cemas yang entah sejak kapan melemahkanku.


Tapi ... bagaimana jika ia tidak bercanda? Dari sudut pandangku pun aku yakin sekali, kalau orang yang di depanku ini tak mengenali siapa diriku. Aku tahu betul bagaimana tampang orang yang benar-benar tak tahu, dan orang yang hanya melakukannya sebagai candaan belaka.


"Ah, sepertinya saya nggak inget kamu. Apa kamu kenal saya? Orang-orang terdekat saya bilang kalau saya pernah kecelakaan dan hilang ingatan. Mungkin itu yang membuat saya nggak begitu ingat kamu?" tanya lelaki berambut hitam gondrong itu dengan menaikkan sebelah alisnya.


"Hah? K–kecelakaan? Hilang ingatan?" lirihku semakin tak menyangka.


Ah ... begitu rupanya. Ternyata itulah sebabnya ia tak mengingat apapun tentangku dan tak kembali ke rumah pada malam itu. Malam yang membuatku begitu trauma. Malam yang merenggut orang sekaligus hewan peliharaan kesayanganku.


'Ini semua salahmu.'


*DEG!*


Tidak, tidak, tidak! Suara terkutuk ini! Beraninya dia kembali ke dalam pikiranku dan merusak ketenanganku! Jangan! Kumohon pergilah! Mitha sedang tidak ada di sini untuk menenangkanku! Dan ini bukanlah waktu yang tepat untuk membuatku panik!


'Tetap saja ini salahmu. Kau yang menyuruh Bang Rizal untuk pergi mencari Miko. Ini semua terjadi karena keegoisanmu. Dan sekarang, lihatlah akibatnya. Bukannya mendapatkan Miko, dia sampai kecelakaan dan lupa akan siapa dirimu. Bahkan mungkin dia juga lupa dengan siapa dirinya sendiri. Sementara Miko masih menghilang tanpa jejak.'


T–tidak ... itu tidak benar.


... iya kan?


Aku sendiri tak tau bagaimana kabar Miko, kucing kampung berwarna hitam kesayanganku. Yang selalu orang dan ibuku bilang hanya akan membawa sial karena warnanya. Yang selalu dibilang hanya akan membuang-buang uang demi kebutuhan kucing itu.


Entah bagaimana orang bisa berpikir demikian. Padahal aku yang telah menyelamatkan nyawa kucing itu dari kerasnya hidup di jalanan. Aku yang menyelamatkannya dari tangan-tangan tak bertanggung jawab yang suka sekali menyiksa, bahkan menghilangkan nyawa hewan kecil yang tak tau apa-apa itu. Aku sudah melakukan hal yang benar!


'Cih. Hal yang benar apa? Kau hanya membuat situasi semakin buruk untuk makhluk itu. Hidup dikelilingi oleh sekelompok manusia yang tak menyayanginya. Kau sendiri tak tahu kan apa saja yang dialami Miko selama kau tak ada di rumah? Dasar bodoh. Egois. Selalu saja—'


Ugh ... berisik. Aku tak mau dibuat merasa bersalah lagi. Situasi akan menjadi buruk kalau aku semakin cemas. Akhirnya, aku menggelengkan kepalaku cepat dan berusaha agar tak terlalu hanyut dalam ingatanku tentang Miko dan malah membuatku semakin sedih.


Aku lantas menatap Bang Rizal dengan tatapan datar dan berusaha tak menghiraukan detak jantung yang saat ini mengusikku.


Atau ... apakah itu hanya yang aku yakini saja?


Karena sebenarnya, mau berusaha sekeras apapun, Bang Rizal masih bisa dengan mudah melihat raut wajah cemas yang terpampang di wajahku. Sementara aku terus berharap-harap agar Bang Rizal mampu mengingatku kembali dalam waktu yang terasa lama berputar.


'Sudah kubilang. Kau hanya akan membuat segala situasinya semakin rumit. Cepat pergi dari sana dan tinggalkan Rizal,' bisik suara itu dengan nada mengancam. Namun aku yang sudah terbiasa dengan itu tak gentar sedikit pun dan berusaha melawannya.


'Tapi aku harus berbicara dengannya! Aku harus–aku harus membuatnya ingat! Ini satu-satunya kesempatan untukku! Kau harus mengerti! Aku melakukan ini demi Bang Rizal!' geramku sembari mencengkram kuat-kuat baju yang kukenakan.


'Bullsh*t! Dia sudah lupa ingatan, bodoh! Akan sulit untuk mengembalikan ingatannya karena kecelakaan itu! Lebih baik kau tinggalkan dia dan biarkan dia pergi untuk menjalani hidup barunya! Jangan egois lagi!' Suara itu tetap memaksa.


*DEG!*


Egois? Aku egois? Aku hanya ingin berbicara dengan kakakku sebentar saja! Salahkah ketika aku ingin melepas rindu pada orang yang selama ini kucari-cari keberadaannya dan mengingatkannya? Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Bang Rizal!


Tapi kalau memang dengan begini juga aku masih saja egois, lantas aku harus apa?


"Hah ... hah ... pusing ...." rintihku ketika merasakan pandanganku mulai memudar.


Kenapa rasanya sulit untuk menenangkan diriku? Dan kenapa rasanya waktu semakin melambat? Satu menit terasa seperti satu jam? Situasi seperti ini tak bisa kukendalikan. Berdiri di sini entah kenapa membuatku mual dan semakin cemas tak karuan.


Memori tentangku, maupun tentang kehidupan kami di rumah dulu, sudah terhapus akibat kecelakaan yang aku sendiri tak tahu bagaimana kronologisnya. Aku adalah adik yang buruk. Kenapa aku selalu saja egois? Kenapa aku selalu merugikan orang lain? Ibu benar. Aku adalah sampah yang hanya akan menjadi momok bagi orang lain.


"Woah, woah, woah! Hei, kamu nggak apa-apa?" panggilnya yang langsung menahan tubuhku.


Pertanyaan Bang Rizal membuatku seketika lupa dengan rasa cemas tak karuan yang dari tadi menggangguku. Aku yang sedikit terkejut lantas berusaha menyeimbangkan kembali tubuhku yang nyaris ambruk dan mencoba mengabaikan perkataan buruk yang dikeluarkan oleh suara itu.


"Ah ... i–iya. Nggak papa kok. Saya cuma—"


Belum selesai aku mengungkapkan kalimatku, tiba-tiba sebuah suara dering smartphone yang ada di saku baju memecahkan suasana canggung di antara kami.


Ugh. Sial. Kenapa setiap kali aku ingin melakukan hal yang berharga, selalu saja ada hal lain yang mengganggu?


Aku langsung menempelkan gawai itu di telinga yang tertutup kerudung hitam segitiga. Tangan kananku menggenggam handphone itu begitu keras sampai-sampai aku yakin Bang Rizal yang saat ini ada di depanku khawatir kalau smartphone ini akan hancur karena kuatnya genggamanku.


"Halo! Assalamu'alaikum?" balasku yang terus berusaha mengontrol diri agar tak meneriaki siapapun orang yang menelponku saat ini.


"Wa'alaikumussalam ..." ujar sang penelepon dari seberang sana dengan suara bergetar. Suara itu seperti sedang menahan tangis.


Aku mengerutkan dahi.


'Rasanya aku kenal sama suara in—Tunggu! Bukannya ini Tante Fitra? Tapi ... kenapa dia kayak lagi nahan nangis?' batinku keheranan.


Tadinya aku sudah akan berbicara untuk menanyakan apa yang terjadi, namun sepertinya Tante Fitra akan menjelaskan soal itu sendiri, karena sebelum membuka mulut pun, aku sudah didahului oleh Tante Fitra.


"Natya, nak ... habis ini boleh tolong temani tante di rumah sakit nggak?" tanya Tante Fitra–ibu dari Mitha–yang masih berusaha sekuat tenaga agar suaranya tak terdengar kacau.


Oh, sial. Pertahanan beliau runtuh. Wanita itu sudah tak kuasa menahan air yang sedari tadi memaksa keluar dari matanya. Suara tangisannya yang awalnya kecil, semakin lama semakin terdengar di telingaku. Sialan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa dalam satu hari saja sudah ada banyak hal yang aku lewatkan?


Meskipun rasa keingintahuanku meningkat hingga begitu tinggi dan muncul dorongan yang kuat untuk bertanya lebih lanjut mengenai situasi apa yang sebenarnya akan dihadapkan padaku, aku memilih untuk memendam semua itu dan mengunci mulut rapat-rapat.


Tante Fitra sedang bersedih. Tidak seharusnya aku menanyakan mengenai hal-hal yang berpotensi membuatnya semakin tak bisa mengontrol emosinya. Aku rasa itu sudah termasuk dalam adab yang patut diterapkan oleh semua orang.


"M-Mitha ... d-dia ... kondisinya kritis hiks"


*DEG!*


'Hah? M–Mitha ... kritis?'


.

.

.

.

.


Bersambung...