ASA MEKAR

ASA MEKAR

Ravenura

0

Ssstt… Aku menyukainya. Haruskah kunyatakan perasaan ini agar hatiku semakin lega daripada mengendap seperti batu sedimen? Aku tidak mau hatiku mengeras sehingga sulit melupakannya.

***

Ratusan siswa berseragam putih kelabu bersimbah keringat. Sebagian berteduh di dalam kantin untuk mengganjal perut. Sebagian lagi duduk di bangku, sedang bercanda satu sama lain. Namun, di dalam kelas XI IPS 1 itu pula, sebagian besar siswa sedang menyalin PR yang sudah diselesaikan Rana. Cewek itu selalu sedia payung sebelum hujan. Lembar soal-soal LKS sudah terpajang kertas jawaban yang ditempel erat oleh selotip. Pada bagian materi, sudah berlabel stabilo  dan catatan warna-warni. Padahal guru Ekonomi belum waktunya mengajar materi berikutnya.

Rana selalu bosan, sehingga waktu luangnya yang banyak digunakan untuk melahap buku dan koran edisi kemarin di perpustakaan. Usai membaca, Rana mengerjakan soal untuk menguji tingkat pemahamannya.

Dia hanya senang belajar dan selalu diliputi dahaga besar atas ilmu. Tangan Rana sering terangkat pada sepuluh menit jam akhir pelajaran, meminta pengulangan materi. Teman sekelas Rana mengeluh. Seharusnya mereka bisa bersantai sejenak dicekoki rumus terus menerus, tetapi guru bersenang hati mengulang penjelasan demi Rana.

"Na, geser dong!" perintah Manda, terburu-buru mendorong Rana dari bangkunya sendiri.

Pemilik bangku menggerutu, kalah fisik sama Manda yang heboh belum mengerjakan PR. Gadis itu berpindah duduk ke bangku lain, sambil menggelengkan kepala atas hari yang berisik.

"Kapan sih, Rek, kalian mau belajar sendiri?" Rana pasrah dan berharap keajaiban jika nanti dirinya yang bisa mencontek tanpa khawatir jawabannya salah. Bukan terjebak simbiosis parasitisme.

"Jangan pelit, Na. Nanti gak dapat pacar!" Samsul menjawab.

Raut wajah Rana makin cemberut diledek teman sekelas. Cengiran dari beberapa orang menambah rasa masam di wajah Rana.

"Eh, Rana jangan boleh pacaran. Masih kecil dia." Manda menggelengkan kepala tegas. Persis emak posesif yang nggak rela anak perawannya dapat laki-laki paling nggak benar.

"Halah, Rana itu ya, kukenalin sama cowok dari MAN 2, malah ngamuk. Dia nggak bakalan mau pacaran," sahut Nova cekikikan. "Rana itu sukanya sama buku."

"Oh, ya? Na, nggak ada gitu cowok yang bikin deg-deg ser?" Tatapan Mata menyelidik penasaran.

"Enggak!" sahut Rana sambil membetulkan lekuk kerudungnya. "Lagian ya, sekolah itu yang bener. Bukan nyari pacar. Masa depan kudu bener dong. HEH, MAIN AMBIL SELOTIPKU AJA!" Rana mengamuk.

"Na, gak usah ngomel. Nanti gak ada cowok yang naksir."

"Bodo amat. Mending ditaksir para guru karena rajin ketimbang gak pinter!"

"Iya, Rana kan pinter dan rajin. Baik lagi sama kita. Disuka semua orang deh." Nova menjilat, agar yang lain tak usah mencari ribut.

Kembali pada kegaduhan kelas paling pojok di sayap timur itu, mereka menyalin seperti domino. Yang paling dekat dengan LKS Rana, harus cepat menyalin, agar teman sebelahnya ikut menyalin. Kalau bukan kena remedial UTS yang anjlok sekelas, mustahil diminta mengerjakan 25 soal pilihan ganda, 10 esai dan lima uraian yang spot jawabannya tidak cukup untuk menjejalkan lima baris penjelasan dalam satu soal.

Rana mengeluh. Dia tidak suka kebiasaan buruk temannya yang tidak mau belajar. Namun, masa SMA identik persahabatan. Kekompakan itu perlu. Kalau ada yang tertinggal karena tidak cerdas harus diseret agar sejajar. Jika tidak setia kawan, wajib ditinggal. Anehnya, Rana paling dirugikan dari contek massal, yang bisa merambat ke dua kelas lainnya.

Di SMA Mandala itu pula, terdapat tiga kubu yang saling bertolak belakang. Urusan cerdas cermat, anak IPA yang berjumlah dua kelas menjadi juara, tapi berseteru satu sama lain. Jurusan Bahasa akrab dengan dunianya sendiri. Ya bagaimana tidak jika cuma tersedia satu kelas? Bahasa sangat eksentrik. Beda sendiri dengan IPS. Ramai karena empat kelas jumlahnya. Kebanyakan semburat tidak karuan. Doyan melipir ke toilet, kantin, dan UKS untuk menumpang bolos. Hampir semua personil IPS saling kenal. Mungkin karena jiwa sosial mereka tinggi, sehingga banyak teman.

Rana adalah murid yang langka. Dia rajin belajar dan senang berpikir. Payah bahwa dia tidak bisa merebut satu kursi di jurusan IPA karena nilai Kimia dan Fisika super jeblok, tapi dia unggul menggasak empat pelajaran bahasa asing yang diajarkan di sekolah. Jepang, Arab, Inggris dan Indonesia, Rana adalah master bahasa.

Sayang seribu sayang, Randy—papanya—melarang Rana masuk jurusan mana pun selain IPA. Apalah nilai, jika akhirnya Rana terdampar di antara anak-anak IPS yang terkenal paling malas. Bukan main jika Rana duduk di kelas XI IPS 1. Kelas itu terkenal paling banyak anak-anak badung. Di antara tujuh kelas seangkatannya, semua pelanggar dijejalkan jadi satu dan itu membuat Rana tersiksa. Dia jadi samsak jawaban setiap ulangan dadakan.

Rana duduk di ujung bangku, menonton pasrah ketika buku LKS-nya berantakan. Bahkan bukunya robek sana-sini akibat kelakuan bar-bar Samsul. Bukunya yang mulus dan selalu dijaga agar tidak terlipat, menjadi seonggok gulungan tidak terbentuk. Selalu saja orang lain dengan mudahnya menghancurkan apa pun yang pemiliknya jaga mati-matian agar tidak rusak.

“Woi, pelan-pelan dong!” Rana mengamuk.

Tidak satu pun ada menggubris peringatan Rana. Hampir semua anak sibuk menyalin. Siapa yang tidak panik dikejar waktu? Usai upacara Senin, dituntut untuk menyelesaikan soal pengganti remedial UTS. Pas Ekonomi menjadi jam pelajaran pertama.

Panik nggak? Panik nggak? Ya panik lah, jika gurunya segalak Pak Mahendra.

Pak Mahendra memang musuh bebuyutan anak-anak yang langganan dipanggil di ruang konseling. Namun, karena Rana anak rajin, tentu saja Pak Mahendra tidak semenakutkan itu.

“Samsul nih, kalo ngebalik ngawur!” protes Manda membalik halaman sebelumnya. Dia belum rampung menyalin.

“Lah, kukumu tuh yang panjang!” kilah Samsul tidak terima.

“Eh, cepetan! Bel bunyi tuh!” sahut Nova. Tulisannya makin tidak beraturan, melenceng turun dari garis. Nova memang ajaib. Tangannya sibuk menulis, tetapi matanya mengarah ke lembar LKS Rana.

Lucu sekali. Di buku Sinar Dunia yang dirobek, nyaris semua tulisan teman-teman Rana mulus tanpa sentuhan tip'ex. Hanya kertas jawaban milik Rana yang panuan. Pak Mahendra sendiri pernah bilang, jika tulisan yang panuan tidak akan ditoleransi, sebab kerapian jadi yang utama. Ah ya, panuan maksudnya adalah bekas tip’ex.

Anak-anak makin gaduh menulis jawaban yang sebenarnya sudah ada di bagian materi, tetapi mereka malas membaca. Rana prihatin, tentu saja pada bukunya sendiri.

Rana khawatir jika bukunya hancur akan mendapat nilai jelek. Di dalam hati, dia berjanji tidak akan memberitahu yang lain jika sudah mengerjakan soal apa pun nanti, agar mereka berusaha menjawab sendiri. Celakanya, prinsip anak XI IPS 1 sangat kuat. Kekompakan nomor satu. Kalau si pintar Rana pelit, dia tersisih dari pergaulan.

Sangat merepotkan sekali.

Kericuhan akibat sepuluh menit istirahat telah lenyap. Seluruh siswa SMA Mandala masuk ke dalam kelas. Sebagian kecil ada yang keluar secara rombongan menuju lab-lab dan perpustakaan. Ada pula yang sudah memakai kaus training biru norak untuk jam olahraga. Bersama itu pula, guru-guru masuk ke kelas sesuai jadwal pelajaran.

Rana kembali ke bangkunya sendiri, di baris terdepan di sisi dalam ketiga dari pintu kelas. Dia merasakan ikatan kuat sejak SD. Duduk di tempat itu selalu membuatnya masuk sepuluh besar. Beda jika bergeser ke baris tengah kedua, pasti nilainya turun semua. Seperti saat kelas IX SMP. Jeblok karena duduk di bangku kedua dari belakang.

Kerumunan yang menyemut di bangkunya telah buyar, berkat suara sepatu sol mengkilap Pak Mahendra. Raut wajah serius itu berhasil mengisap sumber kegaduhan. Semua anak tegang menunggu semprotan sepedas lada kena mata, tetapi guru Ekonomi itu menghela napas lelah.

“Kalian ini goblok apa saya yang tidak becus mengajar? Masa Persamaan Akuntansi pada tidak paham semua!”

Rana menyipitkan mata dengan dahi berkerut dan alis meninggi. Bukan, dia tidak mencoba melawan ucapan guru. Justru Rana berkonsentrasi penuh mendengar dan melihat lebih jelas ucapan Pak Mahendra. Ini salahnya. Pendengarannya buruk. Begitu pula penglihatannya. Jika penglihatannya makin turun, dia tidak bisa membaca gerakan bibir lawan bicaranya. Karena itu, penglihatan tentang objek apa pun harus jelas dan Rana ogah memakai kacamata. Selain itu, alat bantu dengarnya sudah rusak.

“Cepat kumpulkan LKS berdasar baris bangku!”

Siswa yang duduk di belakang kebagian memungut satu persatu LKS, lalu ditukar dengan baris bangku sampingnya.

Metode itu lumayan memudahkan guru untuk mengoreksi secara efektif dan efisien. Demi kejujuran, setiap siswa yang mengoreksi harus membubuhkan nama dan tanda tangan sebagai pertanggungjawaban. Jika ketahuan salah mengoreksi, nilai korektor dipertaruhkan. Bisa dapat nol.

Mata Rana membeliak dengan nama pemilik LKS yang akan dikoreksi. Dia bahagia untuk hal kecil. Kebetulan sekali. Rana tersenyum lebar sambil membuka lembar soal yang diributkan anak sekelas sejak Rana masuk 40 menit sebelum upacara hari Senin.

Dia membalik sampul LKS, memastikan dirinya tidak salah. Benar sekali.

Juan Majid Fikri.

Nama itu telah mengguncang jiwa dan raga Rana sejak hari kedua di kelas X-2. Cowok itulah yang paling sering mengganggu Rana. Entah menarik ujung kerudung belakang sehingga bagian dahi terekspos, atau menyembunyikan kotak pensil Rana. apa pun sumber kejahilan, Rana bakal berteriak menuduh Juan duluan karena memang Juan pelakunya.

Rana melirik ke baris bangku kedua. Juan sedang mencari halaman soal. Cowok itu serius banget membalikkan buku yang tidak kunjung ditemukan. dengan melihat sekilas saja, sukses menggetarkan setiap sudut bangku kayu yang diduduki Rana. Semesta berguncang berkat detak jantung yang terpompa gila-gilaan.

Mampus!

Rana mengerjapkan mata, seolah tidak percaya barusan matanya bersirobok dengan mata Juan. Desiran darah mengalir semakin cepat di sekujur tubuh Rana. Dia menggelengkan kepala sebagai respons kecil dari pertanyaan Juan lewat matanya. Tidak perlu diterjemahkan lagi lewat alis menaik Juan.

“Dapat siapa, Na?” tanya Nova, mengintip LKS yang dipegang Rana.

Buku Juan sangat rapi, bebas dari yang namanya tip’ex, meski robekan kertasnya kasar dan disumpal selotip sembarangan. Juan adalah salah satu dari sekian anak yang selesai menyalin jawaban milik Rana.

Pemuda itu alasan Rana merelakan jawabannya disontek. Dia ingin mendapat perhatian Juan dengan memberikan segalanya, termasuk jawaban apa pun dari semua soal yang sudah dikerjakan.

Terkadang, yang namanya jatuh cinta bisa menggelapkan mata dan hati seseorang, termasuk merugikan dirinya sendiri.

Atas dasar cinta terpendam—bahkan Nova tidak tahu apa yang tersembunyi di balik senyum penuh arti Rana itu—Rana bersedia memberikan segalanya, termasuk nilainya yang merosot, sedangkan yang lainnya unggul. Teman-temannya terkadang bisa mengganti jawaban yang salah jika tahu jawaban Rana salah dan Juan pula, seorang yang lihai menemukan jawaban salah. Dialah saingan berat Rana dalam kompetisi merebutkan beasiswa sekolah tiap semester. Baik semester satu atau dua, Rana dan Juan selama dua tahun tahun terakhir ini silih ganti berada di jajaran dua besar di kelasnya.

Juan, 60.

Rana membubuhkan angka setelah mengoreksi semua jawaban. Nilai tertinggi dari satu kelas adalah milik Juan, sedangkan Rana pasrah mendapat nilai rendah karena masalah tip’ex. Pak Mahendra jelas tidak mentoleransi adanya tip’ex kendati jawabannya sudah benar. Tidak adil memang jawaban Rana memakai bolpoin, sedang yang lain memakai pensil. Dia yang bekerja sendirian, sementara orang lain menikmati hasil dengan mudah tanpa usaha apa pun.

“Rana Dintawari?” sebut Pak Mahendra, sedang mengabsen semua siswa berdasar alfabet.

“60!” sebut Juan cuek.

Jleb!

Mampus kuadrat, nggak sih?

Rana meringis. Malu bukan main jika Juan tahu hasil jawabannya. Seharusnya tidak perlu malu jika semua milik teman sekelas sengaja disebut dengan keras. Tidak ada rahasia soal nilai di kelas ini. Namun, Rana tetap malu, sebab korektor jawabannya adalah Juan.

Apakah ini takdir kalau sekali lagi, keduanya terhubung lewat nilai yang sama dan menjadi korektor satu sama lain?

Ya enggak lah. Buat apa ada takdir kalau Juan yang menyontek persis jawaban Rana.