As Sweet as Blackberry

As Sweet as Blackberry

Sienta Sasika Novel

4.6

“Kak!”

Rama melirik dengan pena di ujung bibirnya, laki-laki itu sedang belajar ketika adiknya masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu.

“Apa?”

Melihat adiknya duduk di lantai sambil melipat kaki, memasang muka memelas, dan kedua tangan yang saling menggenggam, lalu memohon dan mengemis kepada kakaknya.

“Kak Rama… Kakak kan baik hati dan tidak sombong, ramah serta penyayang. Mau yaahhh???” Rayu Sienta, matanya berkedip berkali-kali.

“Kamu kenapa, Dek? Cacingan ya?” tanya Rama. “Kedip-kedip kayak gitu.”

“Ihhhhh, aku lagi ngerayu tau!!” ucap Sienta cemberut dan masih memasang tampang penuh pengharapan.

Rama menaruh telunjuknya di kening Sienta, “Kalau ngerayu Kakak aja kayak gini, pantesan kamu jomblo sampe sekarang! Gak! Pokoknya Kakak bilang gak kah yah gak! Udah sana…hush…hush… Kakak lagi serius belajar nih, mau ada ujian.”

“Kaaaakaaaakkk, kok ngomongnya gitu sih sama adik satu-satunya. Mau dong, Kak! Pleaseee, lagian kan Kakak tuh sibuk banget kuliahnya, jarang di rumah, kan mubazir kamarnya mending tukeran yah sama aku.”

Rama menggelengkan kepala, “No way.”

“Pleaseeee,” bantah Sienta merengek.

Rama masih menggelengkan kepala.

“Kakak….gak sayang sama aku?” tanya Sienta sambil memasang wajah sedih ala komik Jepang, mata bulat dan berkaca-kaca.

“Gak!”

“Kakak! Kok gitu sihhhhhh!!” jerit Sienta kesal, “Ayo dong, Kak...boleh ya?”

“Gak!”

“Boleh!”

“Gak!”

“Boleh....boleh....boleh....boleh”

“Gak!!”

“Boleh dong, Kak, yah? Boleh yah? Tukeran pleaseeeeeee.”

Rama tak menjawab, cuek bebek. Ia sibuk dengan kertas-kertas di atas meja. Besok ada ujian fisiologi manusia dan manusia yang ada di sampingnya saat ini, yang memasang wajah memelas, yang bawel, yang keukeuh sumeukeuh, terus saja menganggunya.

“Kak!” Suara Sienta naik satu oktaf, “Kakak kok gitu sih! Malah diem lagi, mau ya? Yah? Yah? Mau kan, Kak?”

“Enggak!!” jawab Rama tegas, “Terserah kamu mau nangis kek, jerit-jerit kek, jungkir balik kek, nungging kek.” Rama menarik napas sambil mengerakkan pena sebagai tanda kekesalan, “Kakak gak peduli, sekali Kakak bilang enggak ya enggak!!”

“Dasar Kak Rama pelit kopet meregehese.”

“Ihhhh.” Rama beranjak dari tempat duduknya, lalu menarik lengan Sienta dan menggeretnya keluar kamar, “Berisik! Hush sana!! Kakak mau belajar.” Rama lalu menutup pintu kamar dengan keras sampai terdengar bunyi BUG!

“Kakak!” Sienta masih berusaha keras, memutar mutar knop pintu yang sudah terkunci.

“Dasar Kakak jahat! Jahat! Jahat! Jahat!” teriak Sienta sekeras mungkin dan langsung dibalas dengan suara musik yang membuat suara Sienta tak terdengar lagi di telinga Rama.

“Dasar Kakak rese!!” keluh Sienta yang langsung di tanggapi oleh ibunya…

“Kamu nih kenapa sih?” celoteh wanita paruh baya yang membawa beberapa piring kotor. Melihat ibunya lewat, Sienta langsung bergegas mengikuti ibunya turun tangga menuju dapur.

“Bun!”

“Kenapa lagi?”

“Bunda sayang kan sama aku?” tanya Sienta sambil menaruh kedua tangannya di atas meja makan—persis seperti anak balita yang hendak meminta sesuatu—Sienta menatap ibunya yang sedang merapikan dapur dengan penuh pengharapan.

“Sayang dong,” jawab ibunya secepat kilat tanpa melihat gerak-gerik anaknya yang memang sangat mencurigakan.

“Kalau say—“

Belum selesai Sienta bicara, ibunya langsung memotong, “Itu urusan kamu sama kakakmu, Bunda gak mau ikut campur.” Sang ibu kemudian bergerak membawa piring-piring kotor ke tempat cuci piring.

“Bun, kok Bunda gitu sih?” seru Sienta kecewa.

“Gitu gimana maksud kamu?”

“Masa Bunda gak kasian sama aku? Aku tiap hari harus lihat jendela yang menghadap ke rumah hantu itu.”

“Rumah kosong,” koreksi ibunya, “Orang gak ada hantunya juga.”

“Ada, Bun!” bantah Sienta sok yakin.

Ibunya langsung menoleh, “Emang kamu pernah lihat?”

Sienta mengerucutkan bibirnya, “Gak sih!”

“Nah kan! Itu cuma khayalan kamu aja kok. Dah jangan mikirin yang enggak-enggak, jangan berimajinasi yang gak perlu.”

“Tapi, Bun—“

Ibunya menengok dengan sadis, ini sudah kesekian kalinya Sienta merengek minta tukar kamar. Dan ini kesekian kalinya permintaan Sienta tidak digubris. Hampir setiap hari Sienta mencoba mengubah pikiran kedua orangtuanya untuk membujuk kakaknya atau hampir setiap kali bertemu dengan kakaknya Sienta merayu dayu untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun sayang, perjuangannya selalu berakhir dengan penolakan.

Sienta bukan tidak menyukai kamarnya, kamarnya bahkan jauh lebih luas dan ada kamar mandi di dalam, tapi bukan soal itu. Bukan soal luasnya kamar atau kamar mandi di dalam, ini tentang jendela kamarnya yang tepat menghadap ke rumah kosong yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Ada beberapa yang mengontrak rumah tapi hanya satu dua bulan sudah pindah lagi. Sienta yakin, pasti rumah itu berhantu. Karena hantu di rumah itulah yang membuat orang yang mengontrak di sana tidak pernah betah. Atau mungkin saja rumah itu dikutuk—seperti yang dikatakan Agnes, sahabatnya. Bisa juga bawa sial. Ah pokoknya rumah kosong itu terkesan Kramat, angker, horor, mengerikan, menakutkan, dan pasti berhantu.

Gara-gara rumah hantu itu, Sienta jadi merasa tak nyaman, tak tenang, perasaan resah gelisah selalu menghinggapinya. Bahkan, mau makan saja ingat hantu, mau minum ingat hantu, mau tidur ingat hantu, sampai mau ke toilet pun ingatnya sama hantu. Perasaan yang membuatnya jauh lebih gelisah dan tak menentu dibandingkan dengan perasaanya menjadi jomblo ting-ting selama 16 tahun. Hiiiihhh, hantu lebih horor daripada jomblo.

“Sienta, makan, sayang!”

Suara panggilan itu langsung terdengar oleh Sienta dari dalam kamar.

“Pokoknya kali ini gue harus berhasil. Fighting!” Menarik kedua tangannya.

Sienta menarik napas panjang, seakan-akan sedang menyiapkan jiwa raga, lahir batin, fisik mental untuk mengutarakan keinginannya. Yah, di depan kedua orangtuanya dan juga kakaknya yang super sibuk. Huff, sejak menjadi mahasiswa kedokteran kakaknya seperti makhluk nomaden—kadang pulang kadang gak!

Sienta keluar kamar dengan piyama warna cokelat, ia sudah mandi dan sudah mengerjakan PR. Sienta berjalan menuruni tangga dan dilihatnya seluruh anggota keluarga sudah duduk manis di meja makan.

Sienta menarik kursi mengambil piring dan menyendok nasi dari bakul nasi panas yang disediakan ibunya. Sienta mencoba membaca situasi sambil mengambil ikan goreng, tempe, tahu,  sayur asem, dan juga sambel terasi ke piringnya.

Nah, saat yang tepat nih! Oke…calm down, bismillah, bisik Sienta dalam hati, ia masih akan terus berusaha untuk bisa mencapai misinya.

“Kak Rama...aku...”

“Gak, Dek!!” jawab kakaknya sambil memotong-motong tempe.

“Ih, Kakak, aku kan belum selesai ngomong,” sahut Sienta, cemberut.

“Alah, Kakak udah bisa baca pikiran kamu. Mau tukeran kamar kan?” ucap Rama, menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, lalu menggerakan telunjuknya, “No way!”

“Kakak kok gitu sih sama aku,” bantah Sienta kesal.

Ibunya menggelengkan kepala, “Udah deh, Sayang, tiap hari kamu tuh yang diurusin kamar mulu. Urusin yang lain lah, kamu kan sebentar lagi ujian akhir, terus ujian masuk universitas, emangnya gak mau lulus?” nasihat ibunya yang sudah lelah dengan permintaan Sienta—anaknya memang super keukeuh.

Hu’uh...rese banget, tuh kan Bunda sama Ayah jadi ngomongin ujian, ini gara-gara Kak Rama sih!! Cuma tukeran kamar aja apa susahnya sih? Seru Sienta dalam hati kecilnya, mengerlingkan mata, bete.

“Tuh dengerin Bunda ngomong apa,” sahut Rama menyuapkan potongan tahu yang sudah dicocol sambel terasi super nikmat.

“Tapi—“ Sienta berusaha membantah.

“Emang kenapa sama kamar kamu?” tanya ayah dengan tenang, “Gak suka?”

Sienta menggelengkan kepala, “Bukan gitu, Yah. Ayah tahu gak sih kalau jendela kamar aku itu ngadep ke rumah kosong yang udah lama banget gak diisi, tahu kan, Yah?

“Tahu,” jawab ayah dengan tenang.

“Ayah tahu gak rumah kosong itu kan serem banget, kadang aku suka dengar suara-suara aneh kayak embusan angin tapi bukan, terus anjing tetangga sering ngegong-gong gitu, aneh banget kan?”

Please deh,” potong Rama, “Yang namanya anjing itu di mana-mana ngegong-gong, Neng, kalau anjing depan rumah ngeong-ngeong, itu baru namanya aneh,” ejek Rama lalu menirukan suara kucing setelah mengunyah dan menelan makanannya. Nikmat…masakan ibunya memang selalu luar biasa.

“Ihhh, Kak Rama rese!!” seru Sienta, diiringi tawa kedua orangtuanya.

 “Iya, Sayang, kamu tuh ya, susah kalau dikasih tahu. Jangan nonton film hantu mulu dong, jadinya penakut deh,” nasihat ibunya.

“Bun, aku tuh gak pernah nonton film hantu,” sahut Sienta gemas.

“Udah ah, lagian besok rumah kosong itu bakalan ada yang isi kok,” jawab ibunya sambil merapikan meja makan.

Sienta membuka mulutnya, “Serius, Bun?” Lalu melirik ayahnya, “Yah?”

 “Iya,” jawab singkat kedua orangtuanya.

“Beneran? Beneran ada yang mau pindah?” tanya Sienta gembira seperti menang lotre.

 

***