APPARENT DEATH

APPARENT DEATH

Muliani

0

Aneh tapi nyata.

Tidak ada satu orang pun di toilet ini, hanya ada cewek bernama Saara Seravati Sanjaya.

Gadis berusia depalan belas tahun itu masih ingat sebelum dia masuk ke bilik toilet, seorang gadis kecil masih mengenakan seragam TK berdiri di belakangnya. Saara sempat menyapa ramah gadis berkuncir dua itu. Namun, ketika keluar dari bilik itu, gadis kecil itu tidak ada di tempat terakhir Saara melihatnya. Seharusnya gadis kecil menunggu Saara keluar bilik, bergantian masuk dengan Saara.

Bukan hanya gadis kecil yang belum sempat Saara tanyai nama itu hilang, tapi lima perempuan lain yang sedang menunggu giliran masuk ke dalam bilik.

Saara ingat di belakang gadis kecil itu ada seorang wanita paruh baya, yang merupakan nenek dari si gadis kecil itu. Yang terseyum ramah, senang cucunya diajak ngobrol oleh Saara. Ada juga wanita berusia awal dua puluhan berseragam ofice girl yang seharusnya selalu menetap, tak beranjak dari toilet.

Ke mana pergi mereka semua? Apa yang terjadi, kenapa mereka meninggalkan Saara seorang diri?

Lorong restroom hening dan sepi. Saara tidak menemukan satu pun manusia. Bulu kuduk Saara meremang, bertanda bahwa ada yang tidak beres.

Kedua alis Saara hampir menyatu, mata almond itu menemukan dua kantong plastik berlogo toko buku terbesar di Indonesia itu  tergeletak di ujung lorong menuju luar. Ketika Saara menghampiri dan melihat judul-judul buku dalam dua kantong plastik itu dipastikan milik Saara. Seharusnya dua kantong plastik itu digenggam oleh Edgar, bodyguard kesayangannya.

Pertanyaannya, di mana pria berparas Indo-Australia itu?

Sayup-sayup telinga Saara menangkap suara dentuman-dentuman keras. Seperti ada seseorang yang sedang memukul sesuatu. Suara itu berasal dari lantai dasar.

Kapan sih mereka biarin gue hidup tenang dan normal? Dengusan kasar keluar dari hidung mancung gadis itu. Raut wajah jelita itu menyimpan amarah. Dua tangan Saara meremas kencang.

Saara bersandar sejenak di tembok abu-abu gelap lorong. Gumpalan cairan bening muncul dari pelupuk mata. Dada sesak. Membenci kehidupannya. Membenci berada dalam tubuhnya sendiri.

Sesekali, dia berkhayal berada di dalam tubuh manusia lain. Tidak, Saara sangat ingin menjadi air dalam kolam renang rumahnya. Tenang dan damai se-la-ma-nya.

  Anehnya, gadis-gadis satu Indonesia Raya sangat ingin berada dalam tubuhnya. Memiliki apa yang Saara genggam. Tak tahu jika semua tidak seindah apa yang Saara pajang di media sosialnya.

DUAR!!!

Lamuan Saara buyar. Jantung berdegup kencang, tersadar dia berada ada di mana dan apa yang harus gadis itu lakukan.



Selang setengah jam kemudia…

DUAAGH!!

Tubuh Saara terlempar ke salah satu outlet di lantai dasar Central Park. Punggung menabrak kaca etalase hingga retak. Pecahan kaca mengguyur tubuh Saara. Seragam merah muda hancur seperti baru dicakar binatang buas. Darah dan luka menghiasai tubuh, dari ujung kepala hingga kaki.

Saara terbatuk-batuk, mulutnya mengeluarkan cairan merah yang kental dan amis.

Pandangan mata meredup, samar-samar dia melihat sosok wanita berjalan mendekatinya. Wanita itulah yang membuat keadaannya seperti sekarang ini.

Sedetik kemudian mata Saara merapat, tak dapat dibuka walaupun gadis berusaha untuk tetap terjaga dan kembali bertarung.

Dia benci kekalahan, walaupun benci berada di medan pertarungan. Tapi, menyerah bukan pilihannya.

Apa daya, gadis itu sudah tak sanggup lagi bertarung, membuka mata saja adalah pekara mustahil untuk dia lakukan. Beberapa detik kemudian, gadis menghembuskan nafas … terakhir.