Aroma khas langsung terasa begitu pintu kaca di depannya terbuka. Bibirnya membentuk lengkungan begitu seorang satpam membukakan pintu. Sebenarnya ia sudah berkali-kali melarang pemuda yang beberapa tahun lebih muda daripadanya tersebut. Namun, selama ini yang didapat hanya penolakan. Hingga ia lebih memilih untuk menuruti si satpam keras kepala itu.
“Dokter Abhi!” seru seorang wanita dari arah resepsionis.
Selalu bikin kaget. Rutuk pemuda itu dalam hati. Wajah Abhi kembali menyunggingkan senyum tatkala wanita yang baru saja menyerukan namanya juga tersenyum. Rani, perawat baru yang sudah semenjak setengah tahun bertugas di balik meja resepsionis. Juga adik tingkatnya dulu ketika masih di universitas Indonesia. Setidaknya itu informasi dari Rani sendiri, karena bahkan mereka tidak saling mengenal sebelum ini.
“Ran, dokter Abhi kaget tahu dengar suara cempreng lo,” celetuk salah seorang perawat—kali ini laki-laki—yang menyalaminya seraya tersenyum semringah.
“Masih belum ada yang masuk lagi, Fen?” tanya Abhi setelah menerima laporan dari pemuda bernama Fendi itu.
Ia mendengar cibiran, dan sudah dapat dipastikan itu berasal dari Rani. Gadis itu bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. “Dokter, jadi orang itu jangan terlalu gila kerja. Baru juga tiga jam lalu pulang ke rumah.”
Bukannya kesal mendengar celetukan wanita itu, ia justru tersenyum. Gila kerja sepertinya sudah menjadi nama tengahnya sekarang. Karena bahkan Fendi tidak dapat merespons kecuali mengangguk, menyetujui Rani alih-alih menimpali gadis itu. Selalu kompak untuk urusan mengolok-oloknya.
“Fen, tumben lo setuju sama gue?” Rani menatap rekan semejanya itu dengan kedua alis menukik bebas.
Pemuda itu hanya mengangkat bahu sebagai respons. Mereka hampir saja kembali bertengkar ditemani kekehan Abhi sebelum seorang perawat lain menghampirinya. Wanita dengan masker yang setengah terbuka dan seragam hijau polos. Yang dengan napas tersengal langsung memberikan tablet bermerek terkenal kepadanya.
“Hebat dia masih bisa bertahan sampai sekarang. Bang Arya yang buat?” Tanya Abhi seraya mengamati gambar di layar tablet yang ia perbesar. Tidak memedulikan si perawat yang mengangguk.
“Dokter Arya masih di ruang operasi, dia bilang orang itu klien penting Mahandra dan ingin dokter berada di sana juga,” terang perawat itu seraya mengajak Abhi berjalan.
“Dokter Yan hampir mengubah orang itu jadi pendonor karena lima menit lalu setelah otaknya divonis mati,” ucap dokter itu lagi.
Abhi berhenti sejenak, ada sedikit gentar begitu nama dokter senior di rumah sakit ini muncul. “Apa orang ini pasien Dokter Yan?”
Perawat itu membukakan pintu untuk Abhi seraya tersenyum. “Dulu. Lima menit lalu dia resmi jadi pasien Dokter Arya.”
Tidak ada yang jauh lebih mendebarkan ketimbang berada dalam ruangan ini. Memang bukan kali pertama ia berada di tempat itu. Meskipun belum turun tangan secara langsung. Beberapa kali ia membantu Arya dan dokter lain melakukan operasi.
“Dokter Yan membuat pelurunya mengeras dengan memberikan antimon. Ada kebocoran langsung di tulang belakang otak dan itu makin memperkeruh keadaan.” Arya mulai menjelaskan setelah melihat Abhi berdiri di sebelahnya. Tersenyum singkat dari balik maskernya setelah sempat memperhatikan mata Abhi yang berkilat cemas. Sangat bukan adiknya. Pikir Arya.
“Sistem saraf pusatnya rusak,” Abhi menyambung. “Kita harus cepat.”
Tidak ada yang bersuara di tempat itu. Hanya suara burr hole di tangan Arya saja yang terdengar. Selebihnya, mereka seperti tengah menjalankan misi paling lama diam demi segepok uang atau bahkan lebih. Ya, istilah berlebihan untuk orang yang tengah berjuang demi nyawa orang lain.
“Bang,” ucap Abhi begitu sang kakak tidak mengindahkan status visualisasi.
“Bhi, percaya sama gue. Kita nggak punya banyak waktu buat dia.”
Tidak ada yang mampu mengimbangi tingkat kepercayaan diri seorang Mahesa Aryasatya Abram. Ia sendiri tidak habis pikir pemuda di sampingnya bisa dengan penuh percaya diri melakukan prosedur yang dianggapnya gila. Ya, setidaknya perseteruan dengan Dokter Yan tidak masuk dalam kategori. Karena itu sudah masuk dalam kategori tinggi menurutnya.
Dokter Adriyan Yustinus merupakan rekan sekaligus sahabat dekat ayah mereka, Bhisma Wijaya Abram. Pimpinan sekaligus pemilik dari Mahandra Medical Centre. Pria yang sebentar lagi genap 60 tahun itu bahkan menyaksikan bagaimana mereka berdua tumbuh. Hubungan mereka sudah seperti keluarga sendiri.
Mata Abhi fokus memperhatikan tangan kakaknya yang tengah berhati-hati berusaha mengeluarkan peluru. Menyaksikan secara langsung melalui monitor bagaimana benda itu bergerak begitu pelan dan seolah tanpa kesalahan. Hingga membuat perutnya kram karena tegang. Beruntung Arya tidak mengetahui hal itu, atau ia akan menjadi bahan tertawaan sang kakak.
“Letnan Sumaryo, masih kerabat dengan Agung Siswoyo. Dia terkena tembak peluru saat berada di kamp pelatihan. Baru sampai di sini tadi pagi dan Dokter Yan langsung memvonis kematian otak,” ucap Arya di sela istirahat mereka. Pemuda itu menyesap air putihnya sedikit.
Mendengar nama tersebut kembali membuat kesadaran Abhi yang serasa masih tertinggal di ruang operasi kini kembali. “Agung Siswoyo menteri itu bukan, Bang?”
Arya mengangguk. Menatap ke luar kantin rumah sakit ini. Menyaksikan beberapa sudut taman yang terlihat. Di sana nampak hilir mudik beberapa orang sepertinya dan Abhi, banyak pula yang berpakaian berbeda. Mereka adalah orang-orang yang mempercayakan nyawa masing-masing kepada Mahandra. Rumah sakit yang baru saja mendapat penghargaan tingkat Asia dalam ajang Hospital Management Asia.
“Lo nanti pulang. Kalau ayah nanya, bilang sama gue sibuk di rumah sakit,” ucap Arya lagi.
Ia hampir saja terbahak mendengar perkataan Arya yang lebih terdengar seperti permohonan. Tampak jelas bagaimana sang kakak mencemaskan respons yang akan diberikan ayah mereka nanti. Ya, bahkan dirinya sudah dapat memprediksikan yang akan terjadi di meja makan malam nanti andai saja Arya hadir.
“Gue juga banyak pasien kali,” timpal Abhi yang langsung dapat melihat perubahan air muka sang kakak. “Lagian lo ada-ada aja, Bang. Pasien Dokter Yan diembat.”
Tampak Arya gelagapan menanggapi ucapannya tadi. Pemuda itu berusaha menutupi dengan kembali meminum air mineralnya. Seperti memudarkan kenangan beberapa menit lalu ketika senyum penuh percaya diri tersungging dari bibir Arya. Memusnahkan asumsi bahwa sang kakak memang tidak mencemaskan nasibnya di tangan sang ayah nanti.
Abhi sempat menyaksikan beberapa orang menatap ke arah mereka berdua. Tak terkecuali Rani yang bahkan mengerling manja ke arahnya sebelum kembali berlalu. Padahal seharusnya mereka sudah tidak asing lagi dengannya, atau pun Arya. Abram bersaudara yang menjaga IGD 24 jam penuh.
“Bang, kalau misal Letnan Sumaryo cuma orang biasa, apa lo masih mau turun tangan?”
Mendengar pertanyaan dari sang adik, Arya hanya tersenyum. “Orang biasa mana ada yang sampai kena peluru sampai di kepala.”
“Bisa jadi, kan. Peluru nyasar misalnya.”
Arya menyandarkan punggungnya. Kembali menatap ke luar jendela alih-alih memperhatikan Abhi yang masih menunggu jawab. “Gue pernah lihat kasus peluru nyasar di Sorong. Dan lo mau tahu apa yang dilakukan ‘orang biasa’ itu? Mereka lebih percaya roh nenek moyang daripada kami.”
“Maksud lo?”
“Maksudnya, kalaupun ada kasus seperti itu banyak yang lebih memilih percaya sama takdir, nasib kalau orang bilang. Tinggal nunggu mati tanpa mau berbuat apa pun.”
Kepalanya mengangguk paham. Sekaligus merasa bersalah karena kembali membawa kenangan lama sang kakak ketika bertugas di Sorong. Sebenarnya bukan bertugas dalam artian resmi, Arya hanya menjalankan misi dari ayah mereka untuk berada di tempat-tempat terpencil dan jauh. Belajar melihat dunia luar dan dekat dengan masyarakat. Bersama beberapa dokter muda Mahandra pula saat itu.
“Sorry, gue udah bikin lo ... ingat.” Abhi merendahkan suaranya begitu raut wajah Arya berubah.
Arya tersenyum setelah itu. Memilih untuk bangkit tak lama setelah itu. Meninggalkan Abhi yang betah menatap punggungnya menjauh. Sebelum terkecoh dengan kehadiran seorang batita dengan mata jernih tengah menatapnya dari balik kaca tebal itu. Memiringkan kepalanya begitu ia melambai.
***
Malam itu, ia benar-benar kembali. Dan Demi Tuhan, Arya benar-benar memilih berada di ruangannya alih-alih kembali dan menjelaskan kepada sang ayah. Walaupun ia sendiri akan memilih hal serupa atau mungkin lebih buruk lagi. Sosok Bhisma yang bersorot mata dingin memang tidak mungkin dilawan. Menguarkan karisma yang langsung membuat setiap orang bertekuk lutut tanpa diminta.
Jarak Mahandra dengan rumahnya cukup memakan waktu. Bangunan itu bergaya kolonial dengan sedikit sentuhan Jawa yang didominasi warna putih dan pastel. Berdiri megah di atas bukit buatan, warisan dari sang kakek. Tepat berada di ujung jalanan yang sekelilingnya ditanami pepohonan cemara. Menjulang tinggi menantang langit.
Sempat ia disambut ramah oleh beberapa orang berseragam. Lengkap dengan senyum semringah yang setiap hari menyambut, tentu saja jika ia sempat kembali. Jujur saja, waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah sakit selama tiga tahun ini. Jarang sekali ia dapat membaui aroma kamarnya sendiri. Yang setiap hari dibersihkan sang ibu alih-alih pembantu rumah ini.
Ada air mancur berukuran besar sebelum jalanan itu terputus oleh bangunan yang selesai direnovasi 15 tahun lalu. Jika dilihat dari kejauhan air mancur tersebut tampak seperti pemisah dua pilar besar yang menyangga rumah berlantai tiga tersebut.
Range Rover putih itu berhenti persis di sebelah air mancur yang merupakan poros dari jalan melingkar. Abhi keluar dan mulai menapaki undak-undakan dari marmer putih polos. Menyambut gagang pintu jati berdaun ganda yang didatangkan langsung dari Jepara. Bagian kecil dari obsesi pemilik rumah ini.
“Lho, Arya mana? Kok kamu sendiri?”
Itu adalah suara sang ibu. Wanita dengan rambut tergelung dan baju rumahnya yang bermotif mawar. Entah sudah sejak lama ia luput. Namun, ibunya tampak lebih cantik setiap saat. Ia sendiri bingung, mengapa wanita yang akrab dipanggil Ranita—selain Bu Bhisma tentu saja—bersedia menikah dengan sang ayah 35 tahun silam.
“Abang lagi sibuk, Bun,” timpal Abhi seraya bergelayut manja di lengan Ranita. Membuat wanita itu terkekeh.
“Bilang abangmu, jangan suka bermain dengan Mas Yan lagi.” Kali ini giliran Bhisma yang muncul dengan kemeja bergaris dari tangga. Pria itu langsung duduk dan ia pun melakukan hal serupa.
“Bang Arya nggak sepenuhnya salah, Yah. Letnan Sumaryo memang masih bisa diselamatkan.”
“Tapi, tidak dengan membuat Mas Yan keluar dari meja operasi, Abhi. Kamu tahu sendiri siapa dia.” Bhisma menyesap teh melati yang tersedia di depannya dengan tenang. Mengabaikan raut wajah putra bungsunya yang tampak gusar. Dari ekor matanya saja ia dapat melihat, Abhi tengah berusaha memohon kepada Ranita.
Hanya tiga kursi yang tersisa di meja makan dengan kapasitas sepuluh orang itu. Bhisma duduk di antara Abhi dan Ranita yang masih berkonsentrasi ke piring masing-masing. Membuat suasana semakin sepi malam ini. Hanya sesekali terdengar suara sendok yang bersentuhan dengan piring karena mereka.
“Kapan kamu mau ambil spesialis, Bhi?” tanya Bhisma memecah hening. Ia tampak memperhatikan putranya yang masih sibuk mengunyah.
“Nggak tahu, Yah.”
“Kamu tahu Profesor Anthony?”
Abhi terpaksa memperhatikan sang ayah begitu nama pria itu muncul. “Mana mungkin Abhi lupa dengan orang yang sudah membawa abang ke Sorong.”
“Dan waktu itu kamu mogok makan tiga hari karena nggak rela Arya ke sana.” Ranita terkekeh geli yang langsung mendapat tatapan berbeda ekspresi dari kedua pria di depannya. Hingga berakhir dengan dirinya yang meminta maaf.
Bhisma benar-benar menaruh sendoknya sekarang. Diikuti oleh Abhi yang bahkan mengabaikan udang tempura kesukannya. “Kamu bahkan punya peluang lebih daripada Arya, Bhi. Waktu tiga tahun terlalu lama buat kamu menunggu.”
Kelu sudah. Abhi terdiam seraya menunduk. Memandangi udang tempuranya yang masih utuh. Berusaha bernapas dengan bebas di saat udara di sekelilingnya terasa menipis. Hal yang sangat tidak ingin kembali muncul akhirnya keluar dari mulut sang ayah malam ini.
Jika saja Ranita tidak segera menyelamatkannya, mungkin semalaman ini Abhi akan duduk di depan Bhisma. Menjawab segala permasalahan yang selama tiga tahun ini selalu menghantuinya. Beruntung sang itu cukup tanggap melihatnya seperti tertekan. Karena memang pertanyaan itu yang berhasil membuat seorang Abhimanyu gentar.
“Maaf, Yah,” bisik Abhi dalam hening malam di kamarnya yang lengang.
Ia memilih duduk di pinggir tempat tidurnya. Memandangi kakinya yang sudah telanjang. Meresapi dingin lantai marmer bercorak abu. Sembari berusaha menghalau pertanyaan yang diharapkan sudah tidak akan muncul esok hari.
“Abhi, apa kamu sudah tidur?”
Pemuda itu terlonjak begitu mendengar suara ketukan pintu. Sudut bibirnya terangkat begitu wajah ibunya yang muncul. Wanita itu membawakannya buah apel yang sudah terpotong. Juga, segelas susu cokelat. Semua makanan kesukannya yang akan muncul begitu menjelang tidur.
“Bun, Abhi bukan anak SD lagi,” elaknya ketika tangan Ranita sudah bergerak untuk menyuapinya.
Ranita menggeleng kuat. “Bagi Bunda, tentu saja nggak,” timpalnya seraya tetap berusaha menyuapi potongan apel itu ke mulut Abhi. Tersenyum begitu putranya menerima.
Abhi merasakan kehangatan tangan Ranita tengah mengelus kepalanya pelan di saat ia sibuk mengunyah apel. Ada ketenangan yang sulit terukur begitu tangan kurus itu menyentuhnya seperti ini. Hingga berakhir dengan dirinya yang lebih memilih bergelayut manja daripada menghabiskan apel itu.
“Katanya udah bukan anak SD lagi.” Ranita menepuk-nepuk punggung Abhi yang membuatnya heran semenjak kapan putra bungsunya sudah sebesar ini. “Bilang sama Bunda, kenapa kamu menolak tawaran Prof. Anthony?”
“Apa Ayah yang nyuruh Bunda?”
“Sama sekali tidak, hanya saja aneh saja ada seseorang yang menolak tawaran menarik itu.”
Abhi mengembuskan napas panjang. “Sepertinya belum saatnya Abhi pergi, Bun. Masih seperti ditahan oleh sesuatu yang entah apa itu.”
***