Tiga anak kecil sedang bermain di taman. Mereka tengah bermain rumah-rumahan dengan peran sebagai ayah, ibu dan anak laki-laki.
“Kenapa selalu aku yang jadi anak laki-laki? Aku juga ingin jadi ayah,” gerutu Leon tidak terima dengan peran yang ia dapatkan hari ini.
“Sudah jelas ‘kan jawabannya karena Lily lebih suka aku dari pada kamu,” ucap Bima dengan bangganya sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
“Tidak. Lily itu lebih suka sama aku dari pada kamu. Iya ‘kan Lily?” tanya Leon tidak terima dengan ucapan Bima.
Gadis berkuncir dua yang bernama Lily itu hanya terdiam sambil menatap heran ke arah keduanya. Mereka hampir setiap hari memainkan permainan yang sama dan dengan pembagian peran yang sama pula. Ia tidak pernah menyangka jika hal itu akan memicu pertengkaran di antara kedua temannya.
“Iya ‘kan Lily?” tanya Leon lagi dengan penuh harap.
Mata laki-laki itu mulai berkaca-kaca sambil menantikan jawaban dari mulut gadis itu. Ia mulai ragu dengan perkataannya sebelumnya, tapi ia masih ingin berharap.
“Aku suka kalian berdua kok. Nggak ada yang lebih aku sukai di antara kalian berdua. Semua sama, soalnya aku orangnya adil. Aku ‘kan ingin jadi jaksa di masa depan, jadi aku harus adil,” kata gadis itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan memejamkan kedua matanya.
Dua orang yang mendengar jawaban yang diucapkan oleh gadis itu sama-sama kecewa dan tidak puas. Tapi tidak ada seorang pun di antara keduanya yang berani protes dengan jawaban yang telah diucapkan oleh gadis itu. Hanya ada hening di antara ketiganya.
Tik...tik...tik....
Bulir-bulir air mulai turun dari atas langit. Ketiganya menatap ke arah langit begitu bulir-bulir air itu turun dan menyapa permukaan kulit mereka dengan dinginnya.
“Hujan,” kata Lily sambil mengulurkan tangannya menangkap tiap tetes air hujan yang jatuh dari atas langit.
“Ayo pulang! Nanti kamu sakit.”
Leon menggenggam tangan Lily dan membawanya pergi dari taman untuk pulang ke rumah. Bima juga ikut bersama keduanya. Ia tentu tidak ingin berlama-lama berada di bawah guyuran hujan sendirian.
***
Tujuh tahun kemudian...
Leon terus memperhatikan Lily yang tengah menatap Bima saat ini. Bukan hanya sekali dua kali ia mendapati gadis itu tengah menatapi Bima dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Ia juga tidak bodoh untuk tidak mengetahui arti tatapan yang dilemparkan oleh gadis itu pada Bima saat ini.
“Ke kantin, yuk!” ajak Bima.
Lily sempat terkejut dengan ajakan tiba-tiba dari laki-laki itu. Tapi ia sama sekali tidak menolak ajakan dari laki-laki itu. Ia bahkan sempat tersenyum tersipu ketika hendak berdiri.
“Aku ikut,” kata Leon yang muncul tiba-tiba di antara keduanya.
Ia memang tidak buta tentang perasaan Lily terhadap Bima, tapi ia juga masih ingin memperjuangkan perasaannya. Ia sudah memendam rasa sukanya terhadap gadis itu sejak mereka masih duduk di bangku TK.
Leon menatap ke arah langit-langit kelas ketika ia sadar bahwa gadis itu menatapnya dengan perasaan tidak suka. Ia masih ingin mengikuti egonya untuk tidak membiarkan Lily hanya berdua saja dengan Bima. Meskipun ia tahu bahwa gadis itu mungkin tidak akan pernah melihatnya seperti cara ia melihat gadis itu.
Selama gadis itu tidak mengatakan kepadanya untuk mundur, ia tidak akan mundur dengan mudahnya. Sudah sangat lama waktu yang ia lewati dan memendam perasaan itu. Tidak masalah baginya untuk menunggu sedikit lebih lama.
“Mau makan apa?” tanya Bima.
“Aku mau makan seblak,” kata Lily dengan penuh semangat.
“Tidak boleh!” kata Leon dan Bima bersamaan.
Gadis itu terdiam sejenak ketika mendengar larangan dari kedua sahabatnya itu bersamaan. Ia sedikit terkejut karena keduanya tidak pernah melarangnya selama ini.
“Kamu baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Tidak boleh makan yang pedas-pedas dulu!” kata Leon mengomeli gadis itu.
Bima mengangguk-angguk menyetujui apa yang dikatakan oleh laki-laki itu. Keduanya tidak ingin kembali melihat gadis itu masuk ke rumah sakit karena makan makanan pedas secara berlebihan. Bukan sekali dua kali gadis itu sakit karena makan makanan pedas. Tentu keduanya tidak akan membiarkan gadis itu kembali sakit saat ia baru saja sembuh.
“Nggak pedas-pedas amat kok. Ya? Ya?” katanya sambil menatap keduanya dengan tatapan penuh harap.
“Tetap tidak boleh.”
Lily hanya bisa mendesah putus asa sambil memanyunkan bibirnya setelah mendengar larangan dari Bima. Kalau itu adalah Leon, ia akan tetap memohon-mohon pada laki-laki itu karena ia tahu bahwa Leon akan luluh cepat atau lambat dengan permohonannya itu. Berbeda halnya dengan Bima. Di mata laki-laki itu hitam adalah hitam dan putih adalah putih.