Anakku Bukan Anakku

Anakku Bukan Anakku

Justrenko

0

Cuaca semakin tidak dapat diprediksi, tiba-tiba cerah, tiba-tiba mendung. Lingga pun tidak mendapatkan keberuntungannya hari ini, karena dalam perjalanan pulang dia diguyur hujan lebat. Pakaiannya basah dari atas sampai ke bawah, tidak berbeda dengan kondisi sepatu kerja satu-satunya yang dia miliki.


Nasib dan hujan adalah satu kesatuan yang cocok untuk dilamunkan. Lingga ingin berteriak mengatakan kalau dirinya lelah akan kehidupan yang begitu-begitu terus. Andai saja dia memiliki kendaraan bermotor, pasti pulangnya bisa lebih cepat daripada hujan dan tidak perlu lagi bangun lebih awal demi tidak ketinggalan bus.


Cahaya kilat membuat Lingga langsung terperanjat. Dia segera mematikan televisi yang sebenarnya tidak ditonton juga akibat sibuk memikirkan tentang nasib.


"Ini tidak bagus," gumamnya.


Lingga menoleh ke sudut ruangan, tempat di mana kain jemuran berada. Hari ini seharusnya semua pakaian sudah kering, akan tetapi berkat hujan semua kembali basah. Untung saja besok hari Minggu, dia tidak harus pergi bekerja dengan sepatu lembap.


Tinggal seorang diri menjadi salah satu faktor alasan kenapa pakaian dalam Lingga basah. Harga diri akan dipertaruhkan jika dia meminta bantuan tetangga untuk mengangkat pakaian dalamnya, membayangkan saja sudah menjadi mimpi buruk terbesar.


Kecuali Bara, apa aku harus minta tolong pada pria yang gelagatnya seperti wanita itu? pikir Lingga.


"Mas Lingga, Mas Lingga!"


Panjang umur. Suara bagaikan pejantan tangguh itu telah memanggil namanya. Melihat bagaimana hujan turun begitu deras, pastilah Bara bersuara dengan sangat kencang agar dapat terdengar olehnya. Lantas, Lingga segera pergi membukakan pintu.


"Ada apa, Bara?"


"Ih, Mas Lingga! Sudah berapa kali dibilangin untuk manggil aku Barbara, bukan Bara."


"Ah, iya, maaf. Mas lupa." Lingga terkekeh. "Jadi, kenapa Barbara datang hujan-hujan ke mari? Apa tidak takut disambar petir?"


"Astaga, Mas Lingga! Mulutnya jahat! Barbara juga takut kali disambar petir, tapi demi suatu saat disambar Mas Lingga nggak apa, deh, hujan-hujan bawain makanan dari ibuk," ucap Bara, menyerahkan rantang.


Lingga sibuk bekerja. Dia biasanya selalu membeli masakan jadi pada ibunya Bara yang memang memiliki usaha rumah makan. Kebetulan dia belum sempat mampir karena hujan deras, mungkin itu pula yang mendasari kenapa Bara datang di tengah hujan.


"Terima kasih. Tunggu sebentar. Sebelum pergi, mas ke dalam dulu ambil uangnya."


"Nggak usah, Mas. Ibuk sengaja kasih bonus pelanggan, apalagi yang setia kayak Mas Lingga. Udah dulu, ya. Barbara mau bantu ibuk tutup rumah makan, kalau terlalu lama nanti takut digeprek."


"Sampaikan terima kasihku pada ibumu. Mas suka masakannya, karena selalu enak!"


Bara menyembunyikan senyumannya dengan tangan, terlihat malu-malu. "Jangan lupa dimakan sambil bayangin Barbara cantik, biar makin sedap!"


Lingga menganggukkan kepala. Dia menatap kepergian Bara yang berlenggak-lenggok di bawah payung bermotif beruang kutub. Kalau bukan pria, mungkin dia akan memacari anak bu Sumiarti itu. Terang saja, meskipun aslinya adalah seorang pria, tetapi Bara begitu cantik setelah berdandan.


"Sadar, Lingga! Kalian sama-sama berjakun." Dia berkata sembari mengusap dadanya.


Saat akan memasuki rumah, perhatian Lingga tersita pada kardus yang terletak di samping pot besar. Sepengetahuannya, dia tidak memiliki barang seperti itu dan kemarin juga tidak melihatnya. Siapa gerangan yang menaruh kardus tersebut?


Lingga bermaksud untuk membuangnya, akan tetapi dia terkejut ketika mengetahui isinya.


"Astaga! Siapa yang tega melakukan ini pada bayi tidak berdosa?!"


Bayi yang tadinya tersenyum dan tidak bersuara langsung menangis ketika petir menyambar. Lingga dengan cepat menggendong bayi malang, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.


Tangisan tidak kunjung berhenti meski hujan sudah teduh. Lingga belum pernah berinteraksi dengan bayi kecuali saat mengunjungi kerabat atau teman yang melahirkan. Bagaimana proses dalam merawatnya, dia sama sekali tidak tahu.


Hari-hari frustrasi tetap berlanjut hingga keesokannya. Cukup satu malam saja sudah mampu membuat area bawah mata Lingga menggelap. Dia tidak berpikir kalau dirinya bisa beristirahat dengan baik di hari Minggu ini.


"Lingga, Lingga!"


Lingga yang terangguk-angguk karena mengantuk, akan tetapi harus tetap siaga mengawasi sang bayi seketika membuka kedua mata. Dia mendengar suara yang ramai di luar sana memanggil namanya. Dia pun segera bangkit untuk mencari tahu.


Entah apa yang terjadi, para tetangga telah berkumpul di depan rumah dengan raut wajah tidak bersahabat.


"Nih, orangnya muncul," ucap seorang tetangga.


"Ada apa, ya?" tanya Lingga.


"Kami kesulitan tidur tadi malam, karena mendengar suara tangisan bayi yang arahnya berasal dari rumahmu ini."


Saat itu juga suara tangisan bayi yang terdengar secara live seperti menjawab pertanyaan para tetangga. Lingga bergegas masuk ke rumah dan menggendong bayi mungil yang sudah ditenangkannya susah payah. Dia terpaksa membawanya ke hadapan banyak orang agar dapat memberikan jawaban sekaligus.


"Sebelumnya, saya ingin minta maaf telah mengusik waktu istirahat Anda sekalian."


"Bayi siapa itu?"


"Bayi ini tidak sengaja saya temukan di samping pot bunga rumah saya. Jawaban mengenai bayi siapa, saya juga tidak tahu."


Para tetangga yang jumlahnya sudah bertambah pun berkata, "Kau pikir, kami akan percaya dengan kebohongan itu?"


"Saya sama sekali tidak berbohong. Perkataan itu benar adanya, saya menemukan bayi ini di kardus yang diletakkan oleh seseorang dengan sengaja di samping pot bunga."


“Apa kau punya bukti kalau seseorang meletakkannya dengan sengaja? Bahkan, kami tidak melihat ada orang lain mendekati rumahmu kemarin. Bayi itu pasti hasil dari hubungan di luar nikah yang sedang disembunyikan!"


"Saya berani bersumpah tidak pernah melakukan perbuatan tercela itu. Saya jomlo dari lahir. Lagi pula, jika saya benar-benar menyembunyikan bayi ini, pasti saya tidak akan membawanya ke hadapan kalian semua."


"Maling mana ada yang mau ngaku! Katanya pemuda pekerja keras, tapi nyatanya bekerja keras menghasilkan bayi dari hubungan gelap di luar sana."


"Astaga! Saya saja tidak memiliki waktu untuk berkenalan dengan wanita, bagaimana bisa memiliki bayi?"


"Halah, omong kosong! Kami akan membicarakan hal ini pada pak RT. Jika kau tetap di sini, maka hanya akan mencemari nama baik tempat tinggal kami."


Lingga tidak dapat mencegah arus kemarahan para tetangga, kini hanya bisa pasrah dengan keadaan, karena dia sendiri tahu kalau mengatakan kebenaran seperti apa pun, tidak akan ada yang mempercayai.


Orang-orang lebih suka menilai apa yang tampak ketimbang mencari tahu kebenaran itu sendiri, padahal anggapan mereka baru sebatas dugaan tidak berdasar.


Lingga berharap kalau dia dan bayi yang sudah tenang di pelukannya kini akan baik-baik saja. Jika benar-benar diusir, maka dia tidak tahu lagi harus pergi ke mana. Sekarang, apa yang harus dia lakukan untuk mengatasi situasi?